JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 10.000 bibit mangrove ditanam secara bertahap di pesisir Muara Angke, Jakarta Utara, di atas area yang sebelumnya jadi tempat bertumpuknya sampah rumah tangga. Namun, bibit-bibit mangrove tersebut terancam hanyut atau rusak akibat terempas gelombang laut jika angin kencang kembali berembus, karena belum ada perlindungan memadai.
PT Pembangkitan Jawa Bali Unit Pembangkitan Muara Karang (PT PJB UP Muara Karang) menyumbangkan 10.000 bibit mangrove berjenis bakau menggunakan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Komunitas Mangrove Muara Angke (Komma) mengkoordinasikan penanaman bibit, mengingat Komma adalah pengelola kawasan hutan mangrove Ecomarine Muara Angke sejak 2008. Bibit yang baru saja ditanam tersebut bakal menambah luasan area Ecomarine Muara Angke yang ditumbuhi mangrove.
“Bibit-bibit tersebut baru bisa mandiri dua tahun dari sekarang, karena jenis bakau baru mengeluarkan akar tunjang dua tahun setelah ditanam,” ucap Ketua Komma, Risnandar, di sela acara penanaman 10.000 bibit pohon mangrove di Ecomarine Muara Angke. Acara juga dihadiri Wakil Wali Kota Jakarta Utara Junaedi, Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Kepulauan Seribu Yusen Hardiman, Camat Penjaringan Muhammad Andri, dan General Manager PT PJB UP Muara Karang Rahmat Azwin.
Risnandar berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memasang pemecah ombak di laut, di depan kawasan Ecomarine Muara Angke. Dengan demikian, jika angin kencang berembus nanti, gelombang laut tidak langsung menghantam bibit-bibit mangrove yang masih rapuh sebelum dua tahun tadi.
Junaedi mengatakan, Pemerintah Kota Jakarta Utara akan mengoordinasikan permintaan pemecah ombak tersebut dengan Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta. “Memang bagian dari tupoksi (tugas pokok dan fungsi( beliau (Dinas SDA) untuk pembangunan pemecah ombak. Nanti saya koordinasikan,” ujar dia.
Junaedi mengapresiasi penanaman bibit mangrove tersebut karena itu bagian dari upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Risiko bencana terhadap masyarakat pesisir akibat terjadinya rob, angin kencang, dan gelombang tinggi bisa dikendalikan dengan “benteng” mangrove di tepi laut.
Saat ini, di laut di depan area yang ditanami bibit mangrove, cerucuk-cerucuk dari bambu tertancap berjajar seperti pagar, yang difungsikan Komma sebagai pemecah ombak sementara. Namun, cerucuk-cerucuk itu terbukti tidak bisa diandalkan menangkal empasan gelombang. Buktinya, pada Desember 2017, sekitar 4.000 bibit mangrove yang sudah tertanam selama empat bulan rusak dan hanyut karena gelombang laut menjebol cerucuk.
“Biasanya, dari yang ditanam, hanya lima persen yang mati. Itu karena kering, akar putus, atau usia terlalu muda. Namun, 4.000 bibit yang kemarin itu berkondisi tumbuh subur karena daun sudah mulai ke atas,” kata Risnandar.
Sebenarnya, lanjut Risnandar, angin kencang yang biasa disebut angin baratan tersebut biasa terjadi setiap tahun. Angin baratan atau angin muson barat merupakan penanda berlangsungnya musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, angin baratan musim hujan periode 2017-2018 kali ini adalah yang memberikan dampak paling parah.
Selain merusak pohon mangrove muda, angin baratan tahun ini mengakibatkan penumpukan sampah di pesisir Ecomarine Muara Angke. Angin yang kencang membuat gelombang laut membawa sampah rumah tangga, kebanyakan berupa bungkus plastik, terbawa dari arah barat ke sana.
Pemprov DKI pun mengoordinasikan pembersihan sampah anorganik di area tersebut selama sepekan, dengan hasil mengangkut 133 ton sampah anorganik. Sedimen lumpur di bawah tumpukan sampah dibiarkan karena bermanfaat untuk penanaman mangrove. “Saat ini sudah terbukti, yang tadinya sampah dibuat untuk tanam mangrove,” kata Junaedi.
Kawasan Ecomarine Muara Angke sebelumnya juga berupa lumpur dan tumpukan sampah. Saat ini, total 27.000 pohon mangrove hidup di sana, tumbuh di atas lahan seluas 1,5 hektar.
General Manager PT PJB UP Muara Karang Rahmat Azwin mengatakan, selain ikut berkontribusi pada penambahan pohon mangrove, pihaknya juga mendampingi pemberdayaan masyarakat agar mendapat manfaat ekonomi dari kawasan mangrove.
Salah satunya pemanfaatan buah pidada yang memiliki cita rasa masam untuk digunakan kaum ibu Muara Angke membuat dodol, jus, dan selai. Pidada adalah salah satu jenis mangrove yang tumbuh di Ecomarine Muara Angke, selain jenis bakau, api-api, dan nipah.
PT PJB Muara Karang juga mendampingi pengembangan silvofishery, yaitu tambak budidaya ikan di lahan mangrove. Saat ini, terdapat empat tambak di kawasan mangrove tersebut untuk budidaya nila merah dan hitam. Masing-masing tambak dikelola lima keluarga.