DEPOK, KOMPAS — Kampung-kampung di Jakarta cenderung mengalami pergeseran makna seiring pertambahan penduduk. Dibutuhkan penataan partisipatif dan kolaboratif lebih luas bersama warga daripada sekadar pembenahan fisik semata.
Pengajar Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Herlily, Selasa (30/1), mengatakan, saat ini kesan umum publik adalah soal kekumuhan dan kawasan permukiman ilegal. ”(Padahal) kampung ini tipe permukiman. Bukan soal kumuh ataupun kondisi ilegal atau tidak,” ujarnya.
Sejarahnya, kata Herlily, sebagian kampung di Jakarta dibentuk pemerintah kolonial untuk mengelompokkan masyarakat, misalnya Kampung Arab, Kampung Bali, Kampung China, dan Kampung Makassar.
Penamaan kampung juga berdasar kaidah toponimi terkait asal-usul, tipologi, bentuk, dan makna tempat, misalnya kampung yang sebagian diawali kata ”kebon”, seperti Kebon Pisang dan Kebon Jeruk.
Herlily menambahkan, menyusul bertambahnya kepadatan penduduk, definisi kampung saat ini cenderung bercampur warga yang belum punya rumah dan tinggal di lahan-lahan sisa dalam kota, di pinggir rel kereta api atau pinggir kali.
”Sekarang, makin ke sini makin bergeser maknanya. Karena makin padat, lalu dianggap jadi kumuh. Padahal, definisi kumuh juga beda-beda standar,” ujar Herlily, pegiat gerakan kemanusiaan Forum Kampung Kota.
Sebelumnya, anggota Dewan Riset Daerah DKI, Jan Sopaheluwakan, mengatakan, pergeseran makna secara luas terkait pemahaman spasial itu terjadi saat memahami konsep maritim dan kontinental. Bangsa Indonesia punya semangat dan nurani maritim yang berpikir terbuka, luas, menghargai pluralitas, dan cinta damai. Selanjutnya, terkontaminasi praktik-praktik kontinental dengan semangat menguasai wilayah yang sebagian dipengaruhi bangsa-bangsa yang datang dan ingin menguasai Nusantara.
”Jadi kita ini konflik identitas. Nurani cinta maritim yang (menghargai) pluralitas dan cinta damai. Pada saat bersamaan kita harus menguasai,” ujar Jan yang kini Presiden Indonesia International Institute for Urban Resilience and Infrastructure.
Di Jakarta, pembangunan sebagian perumahan pun cenderung segregatif. Selain dibatasi bagi kelompok tertentu, sebagian menciptakan batasan fisik pagar tinggi menandai wilayah kekuasaan. (INK)