Penduduk Naik, Pemakaian Turun
JAKARTA, KOMPAS — Volume pemakaian air tanah terdaftar di Jakarta menurun dalam periode 2008-2016. Penurunan ini kontras dengan jumlah penduduk yang terus bertambah.
Volume pemakaian air tanah terdaftar itu berasal dari ribuan sumur dalam di Jakarta.
Nila Ardhianie dari Amrta Institute for Water Literacy, Senin (29/1), mengatakan, sumur dengan kedalaman lebih dari 40 meter itu ada yang terletak di wilayah permukiman dan ada yang di area industri.
Pada 2008, volume pemakaian air tercatat 22,62 juta meter kubik. Sementara pada 2016, jumlah pemakaian turun menjadi 6,88 juta meter kubik. Pemakaian air tanah terdaftar tersebut belum termasuk pemakaian air tanah yang selama ini cenderung liar.
Adapun jumlah penduduk, warga dengan KTP Jakarta dan para pelaju pada 2008, tercatat 11,41 juta jiwa. Pada 2016, jumlah penduduk ini bertambah menjadi 13,36 juta jiwa.
Sanitation Business Development Consultant, Budi Darmawan, pada hari yang sama, mengatakan, penurunan pemakaian air tanah terdaftar diduga disebabkan oleh pengetatan aturan panyedotan air tanah.
Selain itu, diduga pula terjadi praktik penyedotan yang cenderung semakin meluas dan peningkatan konsumsi air yang dipasok sejumlah pengusaha lewat tangki.
”Kalau dari sisi swasta, (produksi) air (dalam) tangki memang meningkat pada periode itu, tetapi belum dihitung besarannya dan korelasinya (dengan penurunan pemakaian air tanah terdaftar),” papar Budi.
Air perpipaan
Di sisi lain, jumlah pasokan air lewat jalur distribusi pipa PAM Jaya relatif tidak naik secara drastis selama periode itu.
Total kebutuhan air pada 2008 sebanyak 1,082 miliar meter kubik. Dari jumlah tersebut, 64 persen berasal dari air tanah dan sisanya sebanyak 387,01 juta meter kubik dipasok dari distribusi air perpipaan PAM Jaya.
Pada 2016, total kebutuhan air sebanyak 1,267 miliar meter kubik yang 65 persennya dipenuhi dari air tanah dan pasokan air dari PAM Jaya sebanyak 448,76 juta meter kubik memenuhi sisanya.
Data tersebut diolah Amrta Institute dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Kesehatan, Suku Dinas Tata Air, dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah.
Selain itu, Nila juga mencatat, tingkat kenaikan kebutuhan air per tahun dari 2000 hingga 2015 berada pada kisaran 1 persen hingga 1,3 persen. Lonjakan tertinggi terjadi pada 2010 dengan besaran 3,8 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal tersebut terjadi karena terdapat kenaikan jumlah penduduk yang cukup besar pada 2010. Lebih dari 60 persennya dipenuhi dari pemanfaatan air tanah.
Pajak hilang
Nila menambahkan, sepanjang 2008-2016 terdapat pertumbuhan nilai pajak berdasarkan jumlah sumur yang digunakan. Akan tetapi, ada potensi kehilangan pajak yang relatif besar menyusul masih banyaknya penggunaan air tanah dan sumur-sumur yang belum terdaftar.
Pada 2008 hanya terdapat pajak Rp 56,2 miliar yang berasal dari 4.299 sumur. Pada 2016, jumlah sumur menjadi 4.720 unit dengan pajak Rp 104 miliar.
Nila mengatakan, jika diasumsikan kebutuhan standar air per hari setiap orang ialah 175 liter, potensi kerugian penerimaan pajak pada 2016 sebesar Rp 1,14 triliun.
Adapun jika menggunakan standar kebutuhan 200 liter per hari, potensi kerugian mencapai Rp 2,1 triliun. (INK)