JAKARTA, KOMPAS Pengamat tata kota Yayat Supriatna, Selasa (16/1), mengatakan, pengaturan zonasi becak mesti ditetapkan terlebih dulu. Zonasi yang dimaksud adalah lokasi tempat becak bisa beroperasi, apakah untuk transportasi lingkungan atau transportasi wisata. Lokasi mangkal juga perlu dipersiapkan karena becak yang mangkal sembarangan bisa menyebabkan hambatan transportasi.
”Tetapkan dulu daerah tempat becak bisa beroperasi dan tetapkan batasnya. Tetapkan dalam aturan dulu di perkampungan mana saja bisa beroperasi. Zonasi ini perlu dibuat bersifat khusus, dibuat dalam peraturan gubernur,” katanya.
Penetapan zonasi ini vital supaya tak menimbulkan masalah baru, dari lalu lintas Jakarta yang kian semrawut hingga timbulnya konflik dengan moda transportasi lain akibat persaingan. Dengan banyaknya moda transportasi sekarang saja, DKI Jakarta sudah banyak potensi konflik antarmoda transportasi, semisal ojek daring versus ojek pangkalan maupun angkutan perkotaan dan ojek.
Pemerintah Provinsi DKI juga perlu menengok saat becak kembali diundang masuk ke DKI Jakarta di zaman Gubernur Sutiyoso. Kebijakan saat itu dimaksudkan untuk mengatasi krisis ekonomi. Namun, tanpa organisasi yang mengawasi dan mengelola, becak justru menjadi celah untuk urbanisasi baru.
Hal ini terjadi karena pengawasan terhadap becak saat itu lemah. ”Becak datang dari Cirebon dan Indramayu. Yang membawa para juragan, dan tukangnya dicari dari orang-orang luar DKI Jakarta,” ujar Yayat.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, becak diperuntukkan mendukung pariwisata. Ia optimistis becak tidak mengganggu.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko mengemukakan, legalisasi becak masih dalam kajian. Belum ada mekanisme pengoperasian becak.
Dalam konsep sementara, becak bisa dikembangkan untuk kepentingan pariwisata di 16 kampung yang diusulkan Jaringan Rakyat Miskin Kota. Sebagian besar kampung ada di Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kampung-kampung itu adalah Rawa Barat, Rawa Timur, Kali Apuran, Kerang Ijo, Blok Empang, Tembok Bolong, Gedong Pompa, Elektro, Marlina, Aquarium, Krapu, Tongkol, Lodan, Kampung Muka, Kunir, dan Prumpung.
Regulasi
Yayat menambahkan, saat ini ada dua aturan yang perlu direvisi untuk bisa mengoperasikan becak di DKI Jakarta. Peraturan pertama adalah Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 yang menyatakan becak bukan jenis transportasi di DKI Jakarta. Akibatnya, saat ini tidak ada lembaga pengayomnya ataupun organisasi yang bertanggung jawab mengelola dan mengawasi becak.
Perda lainnya adalah Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum yang melarang becak.
Sementara itu, Ketua Forum Warga Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan mendukung dihidupkannya kembali becak di Jakarta, disertai regulasi dan konsistensi dalam mengawasi. ”Becak itu manusiawi dan ramah lingkungan, juga menghidupkan transportasi tanpa motor seperti sepeda,” katanya.
Menurut Tigor, becak masih bisa dijadikan alat transportasi jarak pendek di permukiman dan transportasi wisata.
Masih ada
Sigit Wijatmoko mengatakan, pihaknya sudah memverifikasi ada lebih kurang 200 becak di Jakarta.
Becak antara lain masih ditemukan di depan Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jakarta, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Biasanya, ada tiga becak yang mangkal di depan kampus ini. Namun, pada Selasa (16/1), hanya satu becak yang mangkal di lokasi itu.
Lasono (55) mengaku sudah 10 tahun menjadi pengayuh becak di kawasan ini. Ia mengetahui becak dilarang beroperasi di Jakarta sejak tahun 1985. Makanya, ia tak pernah beroperasi di sekitar Pasar Pondok Labu atau Jalan RS Fatmawati. Ia hanya beroperasi di sekitar lingkungan Jalan Pangkalan Jati.
Jumlah pelanggannya pun terus menurun. ”Biasanya ibu-ibu, pulang kantor, atau mahasiswa saat mereka kehujanan,” ujar pria asal Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, itu.
Lasono mengatakan, meskipun beroperasi diam-diam, becak di Pondok Labu jarang dirazia asalkan beroperasi di jalan lingkungan. Saat ini, pesaing becak sudah banyak, di antaranya ojek. Dalam sehari, Lasono mengumpulkan Rp 30.000-Rp 40.000.
Menurut Lasono, 10 tahun lalu masih ada sekitar 10 becak di Pondok Labu. Pengayuh becak juga banyak yang sudah tua. Becak kemudian dijual, antara lain ke tempat rongsokan. (IRE/DEA/HLN)