Kesohoran Tuan Tanah Terkaya di Gandaria
Pusara Haji Nawi bisa ditemukan di sisi barat Masjid Jami’ Nurul Huda yang beralamat di Jalan Haji Nawi Nomor 21, Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan. Pada batu nisan marmer berwarna hitam itu tertulis nama Haji Nawi bin Ta’min. Ia lahir di Jakarta pada 1877 dan wafat 1934. Artinya, Haji Nawi meninggal di usia yang belum terlalu lanjut, yaitu 57 tahun.
”Nama Jalan Haji Nawi diambil dari rute beliau dari rumahnya di Fatmawati untuk shalat berjemaah di Masjid Jami’ Nurul Huda. Biasanya dia berangkat ke sini menggunakan delman atau sado,” tutur Muhammad Zein Rusdy (69), cicit Haji Nawi, 18 Desember lalu.
Zein adalah cicit Haji Nawi dari anaknya yang bernama Haji Zainudin. Haji Zainudin memiliki anak yang bernama Hajah Maesaroh. Zein termasuk generasi ketiga keturunan Haji Nawi. Ia sering mendengar kisah kakek buyutnya itu dari ibunya dan kakeknya. Sayang, tidak ada dokumen foto atau lukisan sosok Haji Nawi. Haji Nawi wafat dan meninggalkan nama masyhur serta kesan mendalam di antara masyarakat sekitar Gandaria.
Lurah Gandaria Selatan Muhammad Zen mengakui, meski sudah lama meninggal, nama sohor Haji Nawi masih dikenal masyarakat hingga sekarang. Zen juga lahir dan besar di Gandaria Selatan. Ia tinggal di wilayah itu sejak 1963.
Di mata Zen, nama Haji Nawi identik dengan tuan tanah, dermawan, dan tokoh masyarakat yang berpengaruh pada masanya. Sebagian besar tanah di kawasan Gandaria Utara, Gandaria Selatan, hingga Fatmawati adalah milik Haji Nawi. Setelah diwariskan ke anak-cucunya, sebagian tanah itu kemudian dijual.
”Pada 1963, nama Jalan Haji Nawi sudah ada. Kami juga kurang tahu persis sejak kapan nama itu digunakan. Yang jelas, Haji Nawi itu status sosialnya tinggi dan pengaruhnya secara agama dan ketokohan sangat besar,” ujar Zen.
Berdarah Cirebon
Cicit Haji Nawi yang lain, Ahmad Yani, menceritakan, Haji Nawi adalah keturunan keempat dari Bek Jahran. Bek adalah sebutan untuk kepala desa pada zaman penjajahan Belanda.
Bek Jahran berasal dari Cirebon dan dikenal sebagai pelopor di kawasan Gandaria, Cipete, serta Pondok Pinang. Bek Jahran datang dari Cirebon dan membuka tanah di kawasan Gandaria, sebelum ada penduduk lain di kawasan itu.
”Di keluarga kami, Haji Nawi dikenal sebagai keturunan orang ternama dari Cirebon. Dia memang lahir dan besar di Jakarta, tetapi memiliki darah Cirebon,” tutur Ahmad Yani, 19 Desember lalu.
Riwayat kekayaan Haji Nawi juga diperoleh dari kakeknya, Bek Jahran, yang memiliki tanah luas. Maklum, Bek Jahran adalah pelopor di kawasan itu. Keturunan Bek Jahran secara turun-temurun juga menjadi tuan tanah dan pamong masyarakat yang disegani.
Haji Nawi mempunyai empat istri dan dikaruniai sembilan anak. Anak-anaknya pun masih disegani dan terpandang di mata masyarakat. Nama-nama anaknya pun tak luput diabadikan menjadi nama jalan, yaitu Haji Raya, Haji Zainudin, Haji Pentul, Haji Syaip, Haji Saleh, Hajah Hasanah, dan Hajah Fatimah.
”Menurut penuturan keluarga dan warga di sekitar sini, Haji Nawi dulu terkenal suka berkeliling menggunakan kuda putih. Dia suka memantau wilayah dengan menunggang kuda putih itu,” ujar Yani.
Selain karena harta bendanya, Haji Nawi juga dikenal cukup berpengaruh di lingkungan Gandaria karena sifatnya yang dermawan. Menurut Yani, Haji Nawi dikenal tak segan menolong orang-orang yang kesusahan. Namun, Haji Nawi segan jika diminta membantu warga yang akan menikahkan anaknya. Mendiang Haji Nawi berpendapat, orang yang ingin menikahkan anaknya wajib memiliki kemampuan keuangan.
Haji Nawi hidup semasa penjajahan Belanda. Karena ketokohannya, Belanda konon tidak berani masuk ke kawasan Gandaria. Wilayah Gandaria terkenal aman dan menjadi tempat berlindung orang-orang dari kebengisan penjajah Belanda.
Kini, 83 tahun setelah Haji Nawi meninggal, anak-cucunya masih sangat bangga dengan nama masyhur leluhurnya. Hingga kini, keturunan Haji Nawi masih terpandang di kalangan masyarakat. Apalagi, anak-cucu Haji Nawi juga masih banyak yang tinggal di sekitar Gandaria.
Ahmad Yani, misalnya, kini mendirikan sebuah pesantren, yatim Assa’adah di Radio Dalam. Setiap menjelang hari raya, para keturunan Haji Nawi juga berkumpul untuk ziarah makam leluhur di Masjid Jami’ Nurul Huda. Mereka juga masih kerap mengadakan pertemuan keluarga.
”Sekarang, keluarga sudah mencar ke mana-mana, ada yang di Banten, Jawa Timur, dan luar Jawa juga. Tapi, hubungan kami masih sangat baik dan sering berkumpul, terutama saat Idul Fitri,” ujar Yani.
Koes Plus
Selain kesohoran asal nama jalan, Jalan Haji Nawi juga terkenal karena ada Kompleks Koes Bersaudara di Jalan Haji Nawi Nomor 71. Sejak 1970, Koes Bersaudara, yaitu Nomo Koeswoyo, Tonny Koeswoyo, Yon Koeswoyo, dan Yok Koeswoyo, tinggal di kompleks itu. Nomo Koeswoyo (78) mengenang, kawasan Haji Nawi dulu masih sepi dengan jalan tanah yang becek. Ia pernah beberapa kali terpeleset saat mengendarai sepeda motor bersama istrinya. Rumahnya di kompleks itu juga menjadi saksi bisu diciptakannya lagu anak-anak yang sangat terkenal, ”Heli Guk Guk Guk”, yang dipopulerkan oleh anaknya, Chicha Koeswoyo.
”Bisa dibilang ini rumah bibit kawin, jadi tak boleh dijual. Dulu, kami membeli tanah di sini karena harganya masih murah,” ujar Nomo sambil tersenyum.
Selain menjadi rumah bersejarah untuk menggali inspirasi dan lagu, kompleks Koes Bersaudara di Jalan Haji Nawi ini juga menjadi titik kumpul fans Koes Bersaudara dan Koes Plus. Nomo menyebutkan, puncak kejayaan fans Koes Bersaudara sekitar 1976. Banyak surat dan fans datang langsung ke rumah itu untuk menunjukkan dukungannya kepada band legendaris Indonesia itu.
Mantan penyanyi cilik, Chicha Koeswoyo, pun masih mengenang memori saat ia berumur lima tahunan. Ia kerap menonton pertandingan badminton dari layar televisi kecil bersama tetangganya di Jalan Haji Nawi. Maklum, saat itu televisi masih barang langka dan mewah. Chicha tinggal di rumah Haji Nawi sejak kecil hingga berusia 28 tahun.
”Saat saya masih jadi penyanyi cilik, setiap hari ada bus besar datang untuk ketemu Chicha Koeswoyo. Omah Nawi ini jadi destination trip para fans saya, ha-ha-ha,” seloroh Chicha. (Dian Dewi Purnamasari)