Kekerasan pada Anak Kian Kompleks
Kasus ini membuka mata betapa ancaman kekerasan terhadap anak tidak semakin berakhir, tetapi justru semakin mengerikan. Pada kasus ini, anak tidak hanya mengalami kekerasan seksual, tetapi juga kejahatan lain secara bertubi-tubi, yaitu pemublikasian kejahatan yang mereka alami tersebut di dunia maya.
Jejak digital yang ditinggalkan akan dengan mudah diakses korban ataupun orang lain, kini dan di masa mendatang.
Kekerasan seksual yang mengakibatkan dampak psikologis dan sosial pada korban, terutama anak-anak, akan meninggalkan dampak yang jauh lebih berat. Selain itu, perlindungan kepada anak kini harus dilakukan dengan lebih ketat.
Jika biasanya korban kekerasan seksual identik dengan anak perempuan, kini anak laki-laki pun memiliki kemungkinan sama besarnya menjadi korban kekerasan seksual. Anak-anak juga bahkan ditemukan menjadi pelaku.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada 2017, menerima laporan 3.849 kasus. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan pengaduan yang diterima pada 2016, yakni 4.216 kasus.
Meski secara kuantitas berkurang, Ketua KPAI Susanto mengatakan, kualitas dan kompleksitas kekerasan terhadap anak semakin meningkat. Pada kasus video pornografi, misalnya, korbannya lebih dari 750.000 anak. Belum lagi kasus-kasus perundungan yang banyak terjadi di sekolah sepanjang 2017.
Selain itu, kini anak memiliki kemungkinan yang hampir sama untuk menjadi korban ataupun pelaku kekerasan.
Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, jumlah pelaku dan korban yang berusia anak mencapai 28.284 orang.
Pada 2017, tercatat 1.234 (54 persen) anak laki-laki menjadi korban atau pelaku serta 1.064 (46 persen) anak perempuan sebagai korban dan pelaku. Data ini menunjukkan kerentanan yang sama antara anak laki-laki dan perempuan, baik sebagai korban maupun pelaku kekerasan.
Di era digital, kasus pornografi dan kejahatan seksual terhadap anak di dunia maya merupakan masalah serius. Satu kasus yang terungkap, jumlah korbannya bisa mencapai ratusan, bahkan ribuan orang. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya maksimal untuk melakukan identifikasi korban kekerasan seksual terhadap anak di dunia maya agar mereka mendapat
rehabilitasi yang optimal.
Rehabilitasi
Susanto menyebutkan, di wilayah Jabodetabek, kasus demi kasus terungkap dan ditangani dengan baik secara hukum. Demikian juga ada banyak lembaga pengaduan dan penanganan korban kekerasan di setiap kota atau kabupaten. Namun, upaya rehabilitasi untuk korban kekerasan diakui masih belum maksimal.
Susanto mengatakan, hal itu disebabkan banyak faktor, seperti kualitas sumber daya manusia yang tidak memadai, minimnya fasilitas, dan porsi anggaran yang belum berpihak terhadap upaya perlindungan anak. Akibatnya, banyak korban kekerasan tidak mendapat upaya rehabilitasi, terutama secara psikologis yang maksimal.
Tidak maksimalnya upaya rehabilitasi secara psikologis ini ke depan bisa mengakibatkan anak yang menjadi korban akan menjadi pelaku di kemudian hari.
Lingkungan terdekat
Selain kasus digital yang menonjol, kasus-kasus kekerasan dengan cara konvensional juga masih terus terjadi. Anak-anak masih terancam di lingkungan yang terlihat paling aman sekalipun, termasuk di rumah. Pelakunya pun orang-orang terdekat di sekitar mereka.
Seorang anak, A (13), ditemukan tewas di Kampung Permata, Kedaung, Cengkareng, setelah diperkosa dan dibunuh oleh teman ayahnya yang menumpang tinggal di rumah mereka.
IN (17) di Serpong, Kota Tangerang Selatan, bahkan mengalami kekerasan seksual berkali-kali oleh ayahnya sendiri hingga ia melahirkan dua anak.
Kasus terakhir yang ditangani LBH Apik Jakarta, tiga anak SD mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru mereka. Bahkan, di sebuah sekolah luar biasa di Depok, seorang anak penyandang disabilitas mengalami kekerasan seksual oleh gurunya hingga mengandung dan melahirkan. Hal ini menunjukkan, institusi pendidikan pun bisa menjadi tempat yang tidak aman bagi anak.
Tahun 2017, LBH Apik menangani 31 kasus kekerasan pada anak dengan 29 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual dan sisanya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Jumlah ini meningkat ketimbang 2016 dengan 23 laporan kasus yang semuanya adalah kekerasan seksual.
Kasus demi kasus terus terungkap. Di sini lain, KPAI melihat kesadaran semua pihak untuk melindungi anak semakin tinggi.
Karena itu, keberadaan sekolah ramah anak, puskesmas ramah anak, dan kelurahan/kecamatan/kota ramah anak didorong terus ada. Saat ini tercatat baru ada 2.800 sekolah ramah anak di seluruh Indonesia dari sekitar 260.000 sekolah yang ada. Ke depan, diharapkan orang dewasa semakin waspada dan peka terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak.
Selain itu, di era digital, tantangan orangtua semakin besar untuk melindungi anak mereka. Anak-anak harus diberi edukasi bagaimana memanfaatkan internet dengan bijak untuk mengakses hal-hal positif, selain melakukan pengawasan optimal.
(Amanda Putri Nugrahanti)