Bagian dari Teluk Jakarta di Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (10/11). Terlihat pengerjaan proyek tanggul laut yang dibangun dalam program Pengembangan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (PTPIN atau NCICD).
Kebijakan di Teluk Jakarta yang dikenal dengan singkatan asingnya NCICD, diklaim pemerintah sebagai obat kedaruratan untuk atasi penurunan muka tanah, kenaikan muka laut, dan banjir. Namun, sejauh mana kepastian jaminan bahwa NCICD itu obat tepat bagi penyakit kronis Jakarta? Belum ada satu penelitian pun yang bisa tegas menjawabnya.
Terlebih pertanyaan berikutnya. Saat reklamasi dalam rangkaian NCICD telanjur dilakukan meskipun tak sebanyak rencana awal, sejauh mana dampak baik dan buruk dari kehadiran sedikitnya empat pulau baru itu di Teluk Jakarta bisa diantisipasi? Sekali lagi, hingga akhir tahun ini, belum ada penelitian ilmiah yang bisa menjawab kegusaran ini.
Peneliti oseanografi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Widodo S Pranowo, bersemangat saat berdiskusi soal NCICD dan reklamasi ini dengan Kompas di kantor Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan KKP di Ancol, Jakarta Utara, Senin (27/11).
Ia menekankan, sebagai bagian dari pemerintah, Balitbang KP KKP tidak dalam posisi pro dan kontra NCICD, tetapi sudah merupakan tugas para peneliti untuk memaparkan data ilmiah soal untung dan rugi kebijakan yang diambil. NCICD digadang-gadang untuk memulihkan tubuh Ibu Kota yang sedang digerogoti penyakit penurunan muka tanah dan kenaikan muka laut. Akibat dari penyakit itu adalah meningkatnya kerentanan banjir menuju tenggelamnya kota berusia 490 tahun ini.
NCICD terdiri dari tanggul pesisir atau tanggul tahap A serta tanggul lepas pantai bagian barat (tahap B) dan bagian timur (tahap C). Reklamasi 17 pulau bukan bagian dari NCICD, tapi akhirnya disinergikan karena lokasinya berdekatan.
Proyek semacam ini diragukan bisa jadi solusi. Sebab, pembangunan 17 pulau reklamasi tak punya fungsi menurunkan tingkat penurunan muka tanah dan banjir. Pada sisi lain, tanggul lepas pantai yang juga disebut Giant Sea Wall pun punya risiko lingkungan yang tidak kecil.
Taslim Arifin, peneliti pengelolaan sumber daya pesisir KKP, membuat model simulasi arus laut di Teluk Jakarta ketika 17 pulau reklamasi dan tanggul laut raksasa lepas pantai sudah terbangun. Potensi dampaknya, arus laut di luar tanggul semakin kuat dan bisa merontokkan pulau di dekatnya. Padahal, di sana terdapat kawasan cagar budaya, yakni Pulau Onrust, Pulau Cipir, dan Pulau Kelor. Pulau-pulau kecil itu terancam hilang.
Sementara itu, arus di dalam tanggul menjadi lebih lemah, tetapi juga mengandung risiko. Polutan dari 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta bisa semakin sulit tercuci secara alamiah. Perairan dalam tanggul bakal jadi kubangan raksasa.
Alasan kenaikan muka laut sebagai landasan pelaksanaan NCICD juga dipertanyakan. ”Kenaikan muka air laut lebih lambat dan lebih kecil ketimbang penurunan muka tanah pesisir Jakarta,” kata Widodo.
Permukaan tanah di Jakarta turun sekitar 7 sentimeter per tahun. Ahli kelautan Institut Pertanian Bogor, Alan Koropitan, pada Maret 2016 menuturkan, kenaikan muka laut secara global akibat perubahan iklim hanya 2-3 milimeter per tahun dan di Laut Jawa sekitar 7 mm per tahun. Artinya, yang darurat saat ini hanya penurunan muka tanah. Kenaikan muka laut masih lumayan jauh untuk dibahas.
Menggunakan alasan penurunan muka tanah di Jakarta pun tidak bisa hanya dengan menyajikan data ”permukaan”. Ahli teknik sumber daya air Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Prof Indratmo Soekarno, berpendapat, data primer soal penurunan tanah di DKI masih amat minim dan belum layak dijadikan kesimpulan terkait antisipasi dalam proyek NCICD. Kajian soal berapa banyak struktur tanah lunak pemicu penurunan tanah di Jakarta, distribusi, serta kedalamannya masih dibutuhkan. Kajian soal apakah dasar laut menurun, juga penting (Kompas, 25/10).
Tanggul pesisir penting
Meski demikian, tanggul pesisir (tahap A) menurut Indratmo dalam NCICD tetap penting. Widodo menambahkan, solusi yang juga mesti mendapat prioritas adalah pengurangan beban pembangunan di pesisir serta menekan pengambilan air tanah yang masif.
Soal air tanah, selama air perpipaan di Jakarta masih memprihatinkan, jangan harap upaya menekan pengambilan air tanah bisa mudah. Berdasarkan data Jakarta dalam Angka 2010-2016 dari Badan Pusat Statistik yang diolah Amrta Institute, lebih dari 60 persen kebutuhan air Jakarta dipenuhi dari air tanah.
Data terakhir pada 2015, penduduk dan pelaju di Ibu Kota mencapai 12,72 juta jiwa dan total kebutuhan air 1,2 miliar meter kubik. Air tanah memenuhi 63 persen kebutuhan air, atau sebanyak 761 juta meter kubik.
Selain itu, DKI juga menghadapi masalah konsumsi air tanah secara ilegal.
Pada sisi lain, masalah banjir di DKI erat berkaitan dengan daerah-daerah yang dilalui sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta. Pemerintah sadar soal itu, salah satunya dengan penerbitan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.
Sungai Ciliwung, misalnya, melewati Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Depok, dan Jakarta. Sungai tersebut saat ini hanya bisa menampung air maksimal 220 meter kubik per detik, padahal debit normalnya mencapai 570 meter kubik per detik. ”Jika semua pemerintah daerah bisa bersatu, mungkin Gubernur Anies Baswedan bisa menyatukan dan mengajak pemda-pemda lain membuat resapan-resapan air,” ujar Widodo.
Resapan air di daerah sekitar berfungsi menangkap sebagian debit air sungai yang menggelontor ke hilir sehingga bisa menurunkan risiko banjir di Jakarta. Namun, Taslim mengingatkan, pemda-pemda di sekitar Jakarta juga mengejar pendapatan asli daerah. Menyediakan lahan resapan air berarti mengurangi jatah lahan yang bisa digunakan untuk kegiatan produktif penghasil PAD secara cepat.
Sikap nakhoda baru Jakarta yang lebih jelas soal kelanjutan NCICD ditunggu. Jumat (1/12) dalam sebuah acara di Ancol, Jakarta Utara, ditanya tentang langkahnya, Anies menjawab, ”Jangan doorstop, nanti kami umumin lengkap,” ucap Anies.
Dan publik pun menaruh harapan di pundaknya. (HLN/PIN)