Sepekan terakhir, berita metropolitan Jakarta di sejumlah media didominasi pembahasan Rancangan APBD 2018 dan besaran mata anggarannya. Nominal, manfaat, dan kegunaannya banyak disorot. Tajam.
Fantastis. Barangkali itulah kata yang mewakili suara, terutama jika kaitannya hanya pada angka. Gelondongan total RAPBD 2018 sebesar Rp 77,1 triliun, sedangkan APBD 2017 setelah perubahan "hanya" Rp 71,8 triliun.
Lonjakan anggaran lebih dari Rp 6 triliun itu salah satu yang terbesar dalam sejarah anggaran di Ibu Kota. Itu baru gelondongannya. Rinciannya tak kalah "seru".
Beberapa yang "terpanas" ialah anggaran Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Lagi-lagi, lonjakannya gede, dari Rp 2,3 miliar jadi Rp 28,5 miliar. Penyebabnya, ada rencana menambah anggota yang totalnya disebut-sebut jadi 73 orang.
Gubernur DKI Anies Baswedan meminta agar sorotan publik bukan difokuskan pada besaran dan jumlah anggota tim. Namun, pada transparansi dan kejelasan status tim yang akan diangkat dengan surat keputusan sehingga jelas.
Sebenarnya, sorotan bukanlah semata pada angka. Namun, efektivitas anggaran dan manfaatnya bagi Ibu Kota secara keseluruhan. Dari sisi jumlah, bahkan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono menyebut, cukup lima orang.
Belum lagi soal TGUPP usai, anggaran kunjungan kerja komisi-komisi DPRD DKI juga dipertanyakan publik. Nilainya Rp 107,8 miliar. Pada APBD Perubahan 2017, sekitar Rp 30 miliar.
Baik eksekutif maupun legislatif punya andil besar pada penyusunan APBD. Besar kecilnya anggaran sebenarnya sangatlah relatif. Apalagi untuk Kota Jakarta yang kaya raya.
Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dari kinerja birokrasi dengan anggaran sebesar itu? Menjadi seperti apa kota dan masyarakatnya nanti? Di sanalah sejatinya tolak ukurnya. Berpikir memulai dari akhir, begitu jika merujuk salah satu bahasan motivator dunia Stephen Covey.
Tak hanya institusi media yang menyoroti penyusunan RAPBD 2018. Sosial media pun riuh dengan komentar pro-kontra terkait mata anggaran yang berseliweran. Bahkan, sampai detail pembelian AC yang dipatok hingga Rp 7 juta per unit.
Verifikasi atas informasi yang beredar mutlak adanya. Namun, jika berpikir positif, itulah kontribusi publik demi kota yang maju dan bahagia warganya. Bukan sebagian warga tentu saja.
Bersyukur. Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno tak lagi kaget dan terluka atas sorotan media ataupun sosial media yang "garang-garang" itu. Setidaknya, itu mereka sampaikan terbuka di hadapan sekitar 50 wakil media massa yang diundang khusus, dua pekan lalu.
"Sekarang, seperti dilempar tusuk gigi saja. Geli-geli gimana, gitu," kata Anies, yang disambut tawa hadirin. Ia merespons sorotan publik atas kinerjanya. Adapun Sandiaga menilai, jika ada bullying atas pernyataannya justru akan membuat tenar isu. Hari-hari pertama di Balai Kota, komentarnya jadi bahasan publik, seperti soal jalur bus transjakarta dan kemacetan.
Sebulan lewat keduanya memimpin Jakarta, sejumlah sorotan kritis dan tajam masih akan ada. Anggaplah itu "tusuk gigi-tusuk gigi" demi Jakarta yang lebih baik, secara ekonomi ataupun sosial.