Sejak beberapa waktu lalu, kawasan tujuan kuliner di Jalan Melawai 13, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ada yang berbeda. Pengguna kendaraan pribadi yang memarkir kendaraan di jalanan kini mendapat perlakuan berbeda.
Tukang parkir akan menghampiri pemilik mobil. ”Punya kartu elektronik, Pak? Tolong ditempel dulu di mesin parkir,” kata seorang tukang parkir.
Ya, sejak beberapa waktu lalu, di kawasan yang selalu ramai itu disediakan mesin parkir. Pengunjung harus menempelkan uang elektroniknya di mesin itu. Tukang parkir akan menanyakan, akan berapa lama parkir. ”Bayar Rp 5.000 untuk mobil setiap jamnya,” kata si tukang parkir.
Jika pengguna kendaraan tidak memiliki uang elektronik, dia masih bisa membayar uang tunai kepada tukang parkir. Tukang parkir lantas membayar ke mesin parkir itu dengan menggunakan kartu uang elektronik miliknya. Namun, tidak jarang tiket parkir tidak diberikan kepada pengemudi.
Sebenarnya, petunjuk di mesin parkir elektronik itu sudah jelas. Pengguna tinggal memencet tombol-tombol yang tersedia, mulai dari jenis kendaraan, nomor polisi kendaraan, hingga durasi parkir. Pemilik kendaraan bisa memperkirakan akan berapa lama mereka memarkir kendaraannya. Jika makan ayam kalasan, parkir satu jam cukuplah!
Namun, mungkin, dalam rangka ”sosialisasi”, tukang parkir masih memberikan ”penyuluhan” kepada pemarkir. Mungkin juga, tukang parkir ini sekadar setor muka dan mengenalkan diri sebagai penjaga parkir di situ.
Menurut seorang tukang parkir, penerapan mesin parkir elektronik relatif tidak mengurangi penghasilannya. Sebab, mereka mendapat gaji tetap setiap bulan di atas upah minimum Provinsi Jakarta yang saat ini Rp 3,35 juta per bulan.
”Namun, alhamdulillah, Pak, walaupun udah pada bayar pake kartu, banyak juga yang masih kasih tip ke kita,” ujar tukang parkir di Melawai.
Selain di kawasan Jalan Melawai, sistem elektronik pembayaran tarif parkir sudah diterapkan antara lain di Jalan Agus Salim, Sabang; Jalan Faletehan; atau di kawasan Kelapa Gading.
Lahan menggiurkan
Telah menjadi cerita lama di Ibu Kota jika area parkir pinggir jalan (on street) merupakan lahan basah. Kawasan on street itu bahkan dikuasai sejumlah oknum atau kelompok masyarakat. Uang retribusi parkir yang seharusnya masuk ke kas Pemprov pun bocor sana-sini. Salah satu penyebabnya, pembayaran tunai. Konon, tukang parkir mesti setor sana-sini.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, beberapa waktu lalu, mengungkapkan, potensi retribusi parkir tepi jalan mencapai hampir Rp 2 triliun. Namun, duit yang diperoleh dari 400 lokasi parkir on street hanya Rp 7,8 miliar. Kebocoran dari retribusi parkir diperkirakan sekitar Rp 400 miliar.
Kehadiran mesin parkir diharapkan menekan kebocoran uang retribusi parkir. Terbukti, retribusi parkir di Jalan Sabang melejit dari Rp 500.000-an menjadi Rp 12 juta per hari. Namun, sistem ini perlu disempurnakan agar kebocoran benar-benar sudah ditambal.