Keluh Kesah Pekerja Media di Era Ekonomi Digital
Ekonomi digital telah membawa perubahan besar dalam dunia media di Indonesia. Keadaan ini membawa dampak bagi jurnalis yang berhubungan langsung dengan dinamika bisnis media, teknologi, dan kebijakan buruh di Indonesia.
Judul buku: Yang Tidak Banyak Dikatakan soal Pekerja Media: Kondisi, Posisi, dan Strategi Buruh Digital Muda di Indonesia
Pengarang: Citra Maudy Mahanani
Penerbit: Litani
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xi + 164 halaman
ISBN: 978-623-99478-0-4
Seorang jurnalis dari media Politico bernama Mike Elk memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya pada tahun 2015. Sesaat sebelum ia keluar, Mike Elk sempat menginisiasi pendirian serikat pekerja di Politico. Dalam wawacaranya dengan The Washington Post, Mike mengatakan bahwa keberadaan serikat pekerja akan memberi perlindungan atas dinamika pekerjaan di Politico.
Cerita inilah yang menjadi pembuka dari buku berjudul Yang Tidak Banyak Dikatakan soal Pekerja Media: Kondisi, Posisi, dan Strategi Buruh Digital Muda di Indonesia (Litani, 2022). Citra Maudy Mahanani, penulis buku ini, menempatkan serikat pekerja media menjadi pembahasan pokok di tengah kondisi para jurnalis yang berjuang di era dunia digital.
Penulis melihat beberapa jurnalis muda saat ini menghadapi eksploitasi dalam bekerja. Para buruh tulis pun dihadapkan pada sistem bisnis yang semakin liberal serta undang-undang buruh yang dianggap kurang berpihak. Citra Maudy Mahanani mencoba menelusurinya dengan cara mewawancarai sejumlah jurnalis untuk mengetahui sejauh mana serikat pekerja media berdampak bagi mereka.
Tenaga kerja fleksibel
Nicole S Cohen, profesor dari Universitas Toronto, dalam tulisannya yang berjudul ”At Work in the Digital Newsroom” memaparkan pengalaman bekerja jurnalis digital. Pemaparannya menyatakan bahwa para jurnalis mengalami peningkatan kecepatan untuk melakukan tugas dan dituntut menambah keahlian yang beragam.
Kondisi ini justru mengakibatkan banyak jurnalis mengalami kelelahan fisik, bahkan stres, karena terlalu banyaknya pekerjaan. Selain itu, mereka juga mengalami jam kerja fleksibel, status temporal atau sementara, ketidakamanan dalam bekerja, dan berbagai macam ketidakpastian lain. Sistem ini menunjukkan pengusaha cenderung memprioritaskan hasil pekerjaan daripada menjamin hak-hak para pekerja.
Terlebih, sistem kerja kontrak atau alih daya (outsourcing) saat ini menjadi pilihan perusahaan media kontemporer. Bahkan, sistem tenaga kerja model ini merupakan kunci dari pasar tenaga kerja fleksibel yang menjadi tren dalam ekonomi digital. Para pengusaha dapat merekrut pekerja dalam jangka waktu tertentu untuk dapat dipekerjakan kembali atau diberhentikan sewaktu-waktu. Mereka juga dibebaskan dari kewajiban memberikan jaminan sosial, tunjangan hari tua, dan insentif lain kepada pekerja.
Padahal, mereka juga dituntut mempunyai banyak keahlian dalam mengerjakan tugas. Keadaan ini dinilai berpengaruh pada pembuatan berita yang tidak lagi menuntut jurnalis menulis sesuai dengan bidangnya. Jurnalis bebas menulis soal bidang apa pun asalkan dapat mengemas informasi dengan baik.
Sistem tenaga kerja fleksibel juga berkembang akibat tingginya jumlah tenaga kerja di Indonesia. Surplus tenaga kerja ini didominasi oleh generasi milenial dan generasi Z. Bagi mereka, lebih baik menerima sistem tenaga kerja fleksibel dibandingkan harus menjadi penganggur.
Mengetahui kebutuhan pembaca
Perekonomian digital membuat beberapa perusahaan media mulai merekrut calon-calon jurnalis yang tidak hanya memiliki keterampilan menulis dan analisis. Mereka kini lebih menyukai calon jurnalis yang juga terampil dalam data, analytics, and platform-oriented (DAP). Hal ini membuat para jurnalis tidak hanya bisa menulis berita, tetapi juga mampu mengetahui keinginan pembaca dalam memilih berita yang disukai.
Para jurnalis kemudian lebih mengutamakan seberapa banyak jumlah pembaca yang membaca beritanya. Pendekatan sistem analitik membuat para jurnalis dapat dievaluasi. Evaluasi dapat dilakukan dengan melihat seberapa banyak pageviews dari tulisan yang diunggah. Maka, tidak heran pula seorang jurnalis juga diharuskan menguasai search engine optimization(SEO) sehingga dapat mudah dicari melalui mesin pencarian di internet.
Analisis dari perilaku pembaca ini juga berdampak bagi perusahaan media digital. Mereka dapat menganalisis artikel atau topik apa saja yang disukai pembacanya. Tujuannya, agar berita dapat dibaca orang banyak dan harapannya dapat disebarluaskan. Kemudian, redaksi mulai membentuk berita mulai dari panjangnya tulisan, topik, bahasa, kelengkapan artistik, dan lain sebagainya.
Beban berat, gaji rendah
Pola liputan pun kemudian berubah, yaitu kebanyakan jurnalis lebih fokus pada pemenuhan jumlah berita yang disetor kepada redaksi. Kondisi tersebut menuntut jurnalis mengerjakan pekerjaan lebih cepat. Akibatnya, tidak jarang para jurnalis saling membagikan topik atau kejadian yang ditulis dengan sesama jurnalis dari media lain.
Pola bekerja tersebut diterapkan baik pada pekerja tetap maupun pekerja kontrak atau alih daya. Beberapa dari mereka yang masih kontrak ataupun dalam masa percobaan diberikan target kuota berita, jam kerja, dan keterlibatan reportase yang sama dengan pekerja tetap. Padahal, pekerja kontrak hanya menerima upah pokok sebesar atau di bawah upah minimum. Ketentuan kontraknya pun sering kali tidak sesuai dengan peraturan.
Akibatnya, jurnalis mengeluhkan upah kerja yang terlalu murah di tengah target pekerjaan yang cukup berat. Keadaan ini tidak hanya dialami pekerja kontrak, tetapi juga pekerja tetap. Buku ini menyebut data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada tahun 2020 yang menunjukkan masih ada jurnalis yang mendapatkan upah di bawah upah minimum provinsi. Bahkan, masih ada beberapa perusahaan media yang terlambat ataupun mencicil untuk membayar upah para jurnalisnya.
Sayangnya, keluhan jurnalis dihadapkan juga pada kondisi perusahaan media. Perusahaan media mengalami masa-masa yang sulit di era digital. Beberapa perusahaan media mengalami fluktuasi pendapatan dari iklan. Bahkan, pada tahun 2020, pendapatan iklan bagi perusahaan media turun secara drastis akibat pandemi Covid-19. Keadaan ini membuat pengusaha media harus menyesuaikan beberapa biaya agar usahanya tetap berjalan.
Serikat pekerja
Berbagai macam keadaan yang dialami jurnalis digital ini membuat mereka didera ketidakpastian dalam bekerja. Bahkan, para jurnalis yang diwawancarai penulis buku ini mengungkapkan bahwa mereka sangat jarang membicarakan permasalahan tersebut dalam rapat redaksi. Kondisi ini terjadi karena jurnalis disibukkan dengan melakukan reportase dan mengejar target penulisan informasi yang harus diunggah. Di sinilah sebetulnya serikat pekerja media dibutuhkan.
Ketiadaan serikat pekerja media di dalam perusahaan membuat posisi pekerja media tidak terlindungi. Data menunjukkan, pada tahun 2019, Ketua Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen Sasmito Madrim menyebutkan, dari 210 perusahaan media di Jakarta, hanya ada 12 serikat pekerja media.
Penelitian FSPM Independen bersama dengan AJI tahun 2015 menyebutkan bahwa dari sekitar 2.000 perusahaan media di Indonesia, hanya ada 40 serikat pekerja yang dibentuk. Bahkan, setelah diverifikasi lebih lanjut, dari 40 serikat pekerja media hanya 24 serikat yang aktif. Beberapa yang aktif pun rata-rata belum berjalan sesuai dengan fungsinya.
Kehadiran serikat pekerja media ternyata masih belum disadari oleh sejumlah jurnalis digital. Beberapa dari mereka tidak mengetahui adanya serikat pekerja atau ada juga yang enggan untuk bergabung. Alasannya pun sama, waktu mereka habis di lapangan demi pemenuhan target kerja.
Buku Citra Maudy Mahanani hendak menunjukkan bahwa kehadiran serikat pekerja tidak membawa dampak negatif bagi dinamika bisnis di media. Namun, serikat pekerja menjadi salah satu jembatan antara jurnalis dan pemilik media demi adanya keadilan dalam bekerja. (DNG/LITBANG KOMPAS)