Banyak “Pakar” Hepatitis Akut di Media Sosial
Internet mengubah semua orang jadi ahli secara instan, begitu tulis Tom Nichols dalam “The Death of Expertise (2017)”. Kini, pola serupa ditemukan dalam isu hepatitis akut.
Mirip dengan awal kemunculan virus Covid-19, banyak “pakar” yang tiba-tiba muncul dan berbicara soal hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya. Warganet saat ini hanya dapat menduga-duga sembari mengikuti derasnya informasi di media sosial.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hepatitis akut menjadi perhatian serius sejak 5 April 2022 ketika ditemukannya 10 kasus pada anak-anak di sekitar Skotlandia. Kemudian, 8 April 2022 sebanyak 74 kasus ditemukan tersebar di Inggris.
Dari hasil penyelidikan saat itu, gejala klinis pada kasus yang teridentifikasi adalah hepatitis akut dengan peningkatan peradangan hati, disertai penyakit kuning, terkadang didahului oleh gejala gastrointestinal (gangguan pada sistem pencernaan), dan terjadi pada anak-anak sampai usia 10 tahun.
Pada 23 April 2022, WHO mengeluarkan rilis tentang wabah hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya (acute hepatitis of unknown etiology). Sebelumnya pada 21 April 2022, ditemukan setidaknya 169 kasus hepatitis akut ini telah melanda di sekitar Eropa dan Amerika. Hingga kini, WHO bekerja sama dengan lembaga-lembaga kesehatan di masing-masing negara untuk melakukan investigasi dan penelitian lebih lanjut terkait kasus hepatitis akut ini.
Laporan per 13 Mei 2022, laman Kementerian Kesehatan memberitakan temuan 18 kasus yang bergejala hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya. Dari 18 kasus tersebut, sembilan kasus masuk status pending classification, tujuh discarded, satu dalam proses verifikasi, dan satu probable atau konfirmasi dengan gejala. Mengikuti istilah dalam pengawasan Covid-19, kasus discarded berarti penderita suspek dengan hasil negatif seturut proses pengobatan dan pengawasan.
Tujuh kasus discarded terdiri dari satu orang positif Hepatitis A, satu orang positif Hepatitis B, satu orang positif Tifoid, dua orang demam berdarah dengue, dua lainnya berusia lebih dari 16 tahun. Temuan kasus terbanyak DKI Jakarta menjadi provinsi yang paling banyak dengan jumlah temuan 12 kasus. Sejauh ini, hasil investigasi kontak menyatakan tidak ditemukan adanya penularan langsung dari manusia ke manusia.
Akan tetapi, berbagai spekulasi telah muncul di tataran masyarakat, khususnya di media sosial. Berdasarkan pantauan Litbang Kompas di media sosial dan pemberitaan media digital melalui aplikasi Talkwalker selama sepekan (8-14 Mei 2022), ditemukan 232,3 ribu percakapan warganet terkait “hepatitis”. Isu ini juga berhasil memperoleh 1,2 juta interaksi pengguna media sosial di seluruh dunia.
Terpantau dari lini masa percakapan, isu hepatitis ini cenderung konsisten volume pembicaraannya. Hal tersebut mengindikasikan isu ini dibahas secara alami atau organik oleh warganet. Volume percakapan mencapai titik tertinggi pada 13 dan 14 Mei 2022.
Puncak percakapan terjadi pada 14 Mei 2022 pukul 19.00-20.00 WIB. Tingginya angka percakapan ini dipicu oleh cuitan Satoshi Akima (@ToshiAkima) di Twitter yang menyatakan adanya temuan dugaan Omicron sebagai penyebab hepatitis pada anak yang belakangan mewabah. Dokter spesialis ginjal asal Jepang tersebut mengutip temuan sementara dari Universitas Kyoto dan Tokyo dan menambahkan bahwa investigasi masih berlanjut karena dugaan karena Omicron hanya berdasarkan bukti tidak langsung.
Penelitian tersebut mencurigai Adenovirus tipe F41 sebagai penyebab hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya berdasarkan studi mikrobiologi klinis dari Badan Keamanan Kesehatan Inggris (UKHSA). Sementara itu, uji klinis cepat dari Skotlandia menunjukkan bahwa ada sejumlah faktor gabungan yang berhubungan dengan wabah ini. Sindrom pernapasan akut parah (Covid-19) hanya ditemukan di 20 pasien dari 169 pasien yang menderita hepatitis akut.
“Pakar” dadakan
Selain Satoshi Akima, ada juga pakar lain bernama James E. Olsson yang paling banyak mendapat perhatian warganet terkait cuitannya di Twitter. Akun ahli rekayasa genetika dari John Hopkins tersebut (@DrJamesOlsson) telah disebut (mention) sebanyak 1,4 ribu kali oleh warganet. Di platform itulah Olsson terus memberikan cuitan terbaru terkait perkembangan temuan atas kasus hepatitis akut yang umumnya menyerang anak-anak.
Namun, Satoshi dan Olsson bukanlah satu-satunya pakar yang banyak memberikan cuitan dan dirujuk oleh warganet. Banyak akun yang tiba-tiba muncul dan membicarakan isu hepatitis akut meskipun bukan berprofesi sebagai peneliti, tenaga medis, apalagi perwakilan lembaga kesehatan resmi. Misalnya, akun @greg_travis yang berada di urutan kedua setelah @DrJamesOlsson yang paling banyak disebut warganet, sebanyak 7,5 ribu kali.
Akun tersebut dimiliki oleh Gregory Travis, seorang yang mengaku sebagai pakar teknologi, bisnis, kesehatan, penerbangan, dan media. Di Twitter, ia dikenal sebagai influencer yang percaya bahwa hepatitis akut disebabkan oleh virus Covid-19 maupun vaksin Covid-19. Dalam cuitannya, ia selalu mengkritik Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) dan banyak pengikutnya (followers) yang setuju dengannya.
Di media sosial, Travis bukanlah satu-satunya “pakar” dadakan yang bicara soal hepatitis akut. Hal tersebut dapat dilihat dari temuan sentimen negatif di pantauan selama sepekan ini. Dalam analisis media sosial, sentimen negatif dapat mewakili konten yang berisi emosi negatif warganet seperti takut, cemas, dan marah.
Jika ditelusuri, ada yang menarik soal sentimen marah atau ketidaksetujuan dari sejumlah warganet. Sentimen ini ditemukan di Twitter dari cuitan para influencers, khususnya dari kelompok anti-vaksin Covid-19 yang tersebar di berbagai negara. Mereka masih saja mengkritik saran pemerintah setempat untuk vaksin Covid-19 pada anak sebagai upaya penguatan antibodi dan pencegahan terpapar hepatitis akut. Bahkan, sebagian menuding bahwa vaksin Covid-19 justru menjadi penyebab wabah ini.
Fenomena munculnya banyak “pakar” dadakan sebelumnya juga terjadi ketika Covid-19 mulai merebak di Eropa hingga kemudian menyebar ke seluruh dunia. Hal ini tidak mengherankan, sebab lima tahun yang lalu, Tom Nichols melalui bukunya The Death of Expertise, telah memperingatkan soal ini. Menurut Nichols, pakar yang diartikan sebagai orang yang memahami suatu bidang spesifik serta memiliki pandangan otoritatif, menjadi tidak memiliki taji di hadapan kebebasan informasi.
Baca juga: Peran Sentral Orangtua dalam Menekan Risiko Infeksi Hepatitis Akut
Di era komunikasi, dengan telepon genggam seseorang dapat menciptakan dan menyebarkan informasi. Tiap orang dapat menjadi produsen dan pakar bagi orang lain karena tidak ada hierarki dalam komunikasi digital. Inilah yang dinamakan hiperrealitas dalam komunikasi digital, ketika simulasi yang disampaikan di media digital melampaui realita.
Imbasnya, berita bohong, hoaks, atau disinformasi dengan mudah dan cepat tersebar di media sosial dan grup-grup aplikasi pesan cepat seperti Whatsapp. Misalnya, tersebarnya berita hepatitis akut sebagai efek samping dari vaksin Covid-19. Informasi ini telah dikonfirmasi sebagai hoaks oleh Kemenkes dan menyatakan bahwa hubungan antara hepatitis akut bergejala berat dan adenovirus pada vaksin Covid-19 adalah tidak benar.
Otokritik
Simpang siurnya informasi terkait hepatitis akut ini perlu diakui turut disumbang oleh media massa daring tidak berbayar atau gratisan. Demi mengejar jumlah klik pada situs berita, judul menghebohkan dan informasi yang tidak lengkap menjadi konten yang banyak diterbitkan seiring berjalannya isu ini. Fenomena ini ditemukan dari pantauan Litbang Kompas dengan aplikasi Talkwalker dengan menyaring berdasarkan lokasi di Indonesia dan jumlah postingan terbanyak.
Misalnya, penggunaan istilah “hepatitis akut misterius” atau “hepatitis misterius” yang sering ditemukan dalam judul-judul berita daring. Padahal, WHO telah memberikan instruksi agar istilah yang digunakan ialah “hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya” seturut kaidah medis. Selain itu, istilah “hepatitis akut misterius” hanya akan menyebar ketakutan di masyarakat.
Jauh sebelum Nichols, filsuf Jean Baudrillard dalam esai The Gulf War Did Not Take Place (1991), menegaskan bahwa pengetahuan dan realita terbangun dari apa yang ditampilkan oleh media. Media massa, baik konvensional dan digital, memegang peran penting dalam proses pengetahuan (ontologi kebenaran) di masyarakat. Maka, menyampaikan kebenaran dan ketepatan informasi adalah hal mutlak bagi media massa demi kebaikan bersama.
Lihat juga: 7 Anak Meninggal, 11 Dirawat Bergejala Hepatitis Akut
Munculnya banyak “pakar” dadakan juga menjadi otokritik bagi lembaga yang terkait dengan isu yang sedang dibicarakan di media sosial. Para pakar dan lembaga otoritatif perlu aktif memberikan edukasi serta kebaruan informasi yang tepat bagi masyarakat di ruang publik, khususnya di ranah digital. Sebab, salah satu upaya efektif dalam menangkal hoaks ialah informasi yang kredibel kebenarannya.
Kini, para peneliti dan ahli kesehatan masih melakukan penyelidikan lebih lanjut atas hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya ini. Sembari menunggu hasil medis yang valid, masyarakat dihimbau untuk tetap menjaga pola hidup bersih dan sehat. Menjalankan protokol kesehatan masih perlu dilanjutkan mengingat pandemi Covid-19 pun belum benar-benar berakhir. (LITBANG KOMPAS)
Lihat juga: Sakit Hati Ini Sudah Menjangkiti Indonesia Puluhan Tahun