Djawa Dipa, Gerakan Persamaan Hak dan Bahasa
Dunia pergerakan nasional di Hindia Belanda tidak hanya berkisah tentang perjuangan politik. Organisasi Djawa Dipa memilih untuk memperjuangkan kesetaraan hak dan bahasa Jawa untuk menggerus feodalisme-kolonialisme.

Halaman muka buku berjudul
Judul buku: Djawa Dipa: Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa 1917-1922
Pengarang: Muhammad ”Mone” Husni Thamrin
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xlii + 134 halaman
ISBN: 978-623-7357-29-2
Dalam historiografi pergerakan nasional Indonesia telah dicatat banyak sekali organisasi yang berjuang di kancah politik. Tidak banyak tulisan sejarah tentang organisasi yang berjuang di bidang kebudayaan, khususnya bahasa. Namun, Muhammad Husni Thamrin penulis dari buku Djawa Dipa: Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa 1917-1922 telah berjasa menemukan salah satu organisasi yang memperjuangkan kesederajatan dan persamaan bahasa.
Buku ini berawal dari skripsi jurusan sejarah di fakultas sastra Universitas Indonesia, Mone Thamrin sebutan lain dari Muhammad Husni Thamrin. Meskipun begitu, menurut Hilmar Farid yang merupakan sahabat dari Mone Thamrin dalam pengantarnya menyebutkan bahwa skripsi ini disebut sebagai salah satu karya pertama yang mempertemukan ilmu sejarah dengan kajian budaya.
Penelitian Mone Thamrin melihat gerakan Djawa Dipa sebagai sebuah gejala sosial yang terjadi di tengah kemajuan Hindia Belanda. Kemunculan organisasi merupakan bentuk kegagapan masyarakat Jawa dalam menghadapi modernisme dan Politik Etis di awal abad ke-20.
Djawa Dipa
Djawa Dipa tidak banyak dikenal orang sebagai salah satu organisasi pergerakan. Namanya tidaklah kondang dibandingkan dengan Budi Oetomo, Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia, dan lain sebagainya. Penyebabnya tidak hanya karena usianya yang pendek. Visi misi pergerakannya yang sedikit nyeleneh dengan mengkritik kebudayaan priayi Jawa.
Djawa Dipa lahir pada 11 Maret 1917 di Surabaya, Jawa Timur. Pencetusnya adalah Tjokrosoedarmo, priayi rendahan yang bekerja sebagai asisten di kantor milik orang Belanda. Pada saat pembentukan disebutkan tujuan dari gerakan Djawa Dipa adalah memuliakan penggunaan bahasa Jawa dengan menghilangkan aturan yang berbelit-belit dan menganjurkan penggunaan bahasa Jawa yang asli, yakni bahasa Jawa Ngoko.
Tidak hanya bahasa Jawa saja yang hendak diubah oleh Djawa Dipa. Mereka juga berkeinginan mengubah sikap dari masyarakat Jawa yang sudah lama ditindas oleh kekuasaan. Djawa Dipa menganjurkan supaya rakyat Jawa tidak ngelesot, jongkok, bersimpuh, dan jalan terbongkok-bongkok di hadapan priayi kalangan atas maupun pembesar kolonial. Rakyat Jawa harus berdiri secara sejajar tanpa adanya perbedaan golongan.
Mereka juga menganjurkan agar gelar-gelar kebangsawanan, seperti pangeran, raden mas, dan raden ayu dihapus. Sebagai gantinya, akan diberikan gelar-gelar panggilan kejawen yang berasal dari bahasa Jawa kuno. Untuk kaum laki-laki diberi gelar wiro, untuk perempuan yang sudah menikah diberi gelar woro, dan untuk perempuan yang belum menikah diberi gelar loro. Nama-nama gelar tersebut juga sebagai identitas para pendukung Djawa Dipa.
Dari serangkaian perubahan yang ingin dilakukan Djawa Dipa terdapat benang merah di mana mereka ingin menghapuskan sistem feodalistik di tanah Jawa. Menurut Djawa Dipa, sistem feodalistik sudah tidak relevan lagi di tengah arus modernisme yang dibawa oleh kolonial Belanda ke Hindia. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa dengan tidak diberlakukannya sistem feodal di tanah Jawa membuat rakyat Jawa setara dengan golongan Eropa.
Gerakan Djawa Dipa secara sederhana terlihat ingin mewujudkan keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat bumiputera. Terbukti, mereka membuat slogan ”sama rata, sama rasa, dan sama bahasa”. Upaya menyebarkan ajarannya, Djawa Dipa menggunakan media surat kabar bernama Hindia Dipa yang terbit tahun 1917 dalam bahasa Melayu dan Jawa Ngoko.
Dampak
Upaya Djawa Dipa yang berupaya menyamaratakan kaum priayi dengan rakyat kecil mendapatkan banyak respons. Gerakan Djawa Dipa mendapatkan perlawanan dari kalangan pejabat dan priayi Jawa. Gagasan dari Djawa Dipa dinilai sangat merugikan dan membawa pengaruh yang buruk bagi kebudayaan Jawa.
Alasan yang dipakai oleh para priayi Jawa adalah penghapusan bahasa Jawa Krama digantikan dengan bahasa Jawa Ngoko akan merusak kesusastraan Jawa. Apalagi bahasa Jawa Krama bagi kaum priayi dianggap sebagai peradaban Jawa yang adiluhung. Para priayi menganggap Djawa Dipa sebagai gerakan kurang ajar dan tidak sopan.
Di sisi lain, gerakan Djawa Dipa juga mendapatkan apresiasi dari gerakan pergerakan. Disebutkan bahwa Tjokroaminoto pimpinan dari Sarekat Islam di Surabaya menaruh perhatian yang cukup besar terhadap gerakan Djawa Dipa. Hal inilah yang membuat hubungan baik terus terjalin antara Djawa Dipa dan Sarekat Islam.
Bagi Sarekat Islam, gerakan Djawa Dipa yang mengganti penggunaan bahasa Jawa Krama dengan bahasa Jawa Ngoko adalah sebuah keberanian. Penggunaan bahasa Jawa Ngoko dapat membuat kaum kromo bertindak lebih berani. Selama ini mereka memiliki ketakutan untuk mengungkapkan perasaannya. Kadang mereka hanya bisa memendam atau mengalah terhadap ketidakadilan yang menimpanya.
Pemerintah Hindia Belanda juga menyetujui beberapa gerakan dari Djawa Dipa. Salah satunya adalah penghormatan secara tradisional. Masyarakat Jawa biasanya melakukan jongkok dan bersimpuh apabila menghadap para pejabat kolonial. Praktik inilah yang ingin dihapuskan melalui surat yang dikirim kepada pangreh praja pada 22 Agustus 1913.
Akhir riwayat
Gerakan Djawa Dipa ternyata tidak bertahan lama. Mereka hanya bertahan selama enam tahun dari tahun 1917-1922. Penyebab bubarnya gerakan ini pun tidak diketahui. Surat kabar Hindia Dipa yang merupakan corong dari gerakan Djawa Dipa pada 23 Januari 1922 hanya menulis bahwa surat kabar tersebut tidak akan terbit lagi. Pengumuman tersebut diikuti hilangnya gagasan-gagasan dari organisasi Djawa Dipa.
Namun, dalam buku ini Mone Thamrin menyebut beberapa kemungkinan yang menjadi faktor berakhirnya riwayat dari Djawa Dipa. Pertama, karena dana yang tidak mencukupi untuk kegiatan organisasi, diikuti tutupnya surat kabar Hindia Dipa. Kedua, terjadi perpecahan antara Sarekat Islam cabang Surabaya dengan Semarang juga berpengaruh terhadap gerakan Djawa Dipa. Apalagi anggota Djawa Dipa juga disokong Sarekat Islam. (DNG/Litbang Kompas)