Usmar Ismail, Pelopor Teater Modern dan Film Nasional
Usmar Ismail, sutradara film, sastrawan, wartawan, dan pejuang Indonesia yang berdarah Minangkabau, menjadi pelopor teater modern dan perfilman di Indonesia.
Judul: Jejak Bung Usmar: Biografi Perjuangan Bapak Perfilman Indonesia
Penulis: Zinggara Hidayat
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xxii+330 halaman (Jilid 1), xxii+362 halaman (Jilid 2)
ISBN: 978-602-412-385-7
Buku biografi berjudul Jejak Bung Usmar: Biografi Perjuangan Bapak Perfilman Nasional (Penerbit Buku Kompas, 2022) yang hadir dalam dua jilid merupakan bentuk apresiasi sekaligus rujukan bagi para pembaca untuk mengenal karya dan perjuangan Usmar Ismail. Biografi karya Zinggara Hidayat merupakan An Authorized Biography of H Usmar Ismail karena direncanakan bersama keluarga besar H Usmar Ismail, Prof M Alwi Dahlan, serta Nureddin Ismail bersaudara. Penulis juga melakukan research-collaboration dengan Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail.
Usmar Ismail lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 20 Maret 1921. Ayahnya adalah Datuk Tumenggung Ismail, guru sekolah kedokteran di Padang, dan ibunya, Siti Fatimah. Ia mempunyai seorang kakak yang terjun ke dunia sastra, yakni Dr Abu Hanifah dengannama pena, El Hakim.
Terlahir dari keluarga terpandang, pendidikan tinggi pun dapat diakses dengan mudah oleh Usmar. Usmar kecil bersekolah di HIS, setara sekolah dasar, di Batusangkar, lalu melanjutkan ke MULO, setara SMP, di Simpang Haru, Padang, kemudian merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan AMS, setara SMA. Setelah lulus dari AMS, Usmar melanjutkan pendidikan ke University of California di Los Angeles, Amerika Serikat. Usmar menemukan jati diri sejak remaja ketika ia mendalami sastra ketimuran di tengah sistem pendidikan barat di Yogyakarta.
Pelopor teater modern
Sebelum berkarier di dunia perfilman, Usmar Ismail lebih dulu terjun di dunia sastra, khususnya seni drama. Pada tahun 1943, Usmar Ismail bersama kakaknya,El Hakim, dan rekannya, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta H.B. Jassin mendirikan kelompok sandiwara. Kelompok tersebut mementaskan sandiwara berdasarkan teknik teater Barat.
Berawal dari kelompok sandiwara tersebut, lahir format teater modern di Indonesia. Sandiwara yang sempat dipentaskan antara lain, “Taufan di Atas Asia (El Hakim)”, “Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail)”, “Mekar Melati (Usmar Ismail)”, dan “Liburan Seniman (Usmar Ismail)”.
Setelah merantau ke Yogyakarta untuk menempuh pendidikan AMS, Usmar semakin banyak terlibat dengan dunia sastra. Yogyakarta menjadi tempatnya memperdalam pengetahuan dan aktif dalam kegiatan seni di sekolah.
Usmar Ismail kemudian mulai menaruh minat lebih serius pada perfilman. Usmar Ismail bersama teman-temannya rutin berkumpul untuk berdiskusi mengenai seluk-beluk film. Beberapa orang terdekatnya yang sering diajak diskusi adalah Anjar Asmara yang berprofesi sutradara, sastrawan Armijn Pane, Sutarto, dan pentolan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Kotot Sukardi. Anjar Asmara orang pertama yang menawarinya menjadi asisten sutradara dalam film Gadis Desa.
Pelopor film nasional
Bagi Usmar Ismail, media film harus memadukan fungsi-fungsi di dalamnya, seperti hiburan, edukasi sosial, ekpresi individu, dan masyarakat, serta penyampaian gagasan mengenai masa depan yang lebih baik. Nilai pendidikan sangat penting, terutama untuk negeri-negeri yang terbebas dari kolonialisme. Manusia Indonesia harus dibangun kesadarannya untuk mengembangkan budaya positif bagi kemajuan bangsa.
Usmar berperan dalam mengarahkan pembuatan film yang kali pertama diproduksi Indonesia setelah menjadi negara yang berdaulat. Film-film buatan Usmar Ismail mengajak dan menawarkan nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaaan. Sebut saja film Darah dan Doa (1950), Enam Jam di Jogja (1961), Kafedo (1953), Lewat Djam Malam (1954), dan Pedjuang (1960). Bahkan, hari pertama syuting Darah dan Doa, kemudian diresmikan menjadi Hari Film Nasional oleh Presiden ke-3 RI, BJ Habibie, bersama Dewan Film Nasional.
Sepanjang kariernya sebagai sineas, Usmar Ismail berhasil membuat lebih dari 30 film. Beberapa film produksi Usmar Ismail yang juga terkenal adalah Pedjuang (1960), Enam Djam di Djogja (1956), serta Kafedo (1953). Usmar juga dikenal lewat karya film drama musikal Tiga Dara (1956) dan Asrama Dara (1958) yang melambungkan nama aktris Mieke Widjaya, Chitra Dewi, dan Suzanna.
Selain aktif membuat film di bawah bendera Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) sejak 1950, Usmar Ismail juga membentuk wadah yang menghimpun pekerja seni Muslim pada 1962, yakni Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi). Ia juga pelopor dalam meningkatkan profesionalisme di bidang seni peran dengan mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).
Usmar Ismail bersama Djamaludin Malik dan Suryo Sumanto bahkan menjadi tokoh kunci berdirinya Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) sejak 1956. Usmar Ismail, berbekal keilmuannya, Djamaludin Malik dengan segala kepiawaian ilmu bisnisnya, dan Suryo Sumanto seorang jurnalis sekaligus sastrawan bersama-sama mendorong kemajuan artis dan perfilman Tanah Air, dengan mendirikan Parfi.
Usmar Ismail akhirnya meninggal pada 2 Januari 1971 akibat stroke saat usia belum genap lima puluh tahun. Demi mengenang jasanya sebagai pelopor perfilman, namanya diabadikan menjadi nama sebuah gedung perfilman, yaitu Pusat Perfilman Usmar Ismail, di daerah Kuningan, Jakarta.
Presiden Joko Widodo juga menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Usmar Ismail. Pemberian gelar dilakukan secara resmi berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 109/TK/TH 2021 tanggal 25 Oktober 2021. Gelar tersebut menjadi bentuk penghargaan terhadap Usmar Ismail atas karya-karyanya dan perannya sepanjang hidupnya. (Litbang Kompas/STI)