Riwayat Normalisasi Hubungan Tiongkok-Malaysia
Hubungan antara Tiongkok dan Malaysia sejak Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berdiri pada 1949 naik turun. Setidaknya ada lima periode dalam proses normalisasi hubungan kedua negara sejak 1949 hingga 1974.
Judul: Perang Dingin, Tiongkok, Malaya, Malaysia, 1949-1974
Penulis: A Dahana
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: xix + 325 halaman
ISBN: 978-623-346-355-3
Normalisasi hubungan antara Federasi Malaysia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan tonggak sejarah penting yang menjadi akhir dari fase politik luar negeri Malaysia yang sangat pro-Barat. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada akhir Mei 1974 saat Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak mengadakan kunjungan ke Beijing. Menjelang keberangkatan ke Beijing, Razak mengatakan, kunjungan ke Tiongkok atas undangan Perdana Menteri RRT Zhou Enlai.
Kunjungan Razak ke Tiongkok menjadi puncak perubahan kebijakan luar negeri Malaysia yang telah diupayakan sejak September 1970. Razak juga mengatakan, Malaysia adalah salah satu negara yang mendukung keanggotaan RRT di Perserikatan Bangsa-Bangsa
Potret hubungan tarik ulur antara Malaysia dan RRT ini dipaparkan dalam buku Perang Dingin, Tiongkok, Malaya, Malaysia, 1949-1974(Penerbit Buku Kompas, 2022) yang merupakan disertasi dari penulis A Dahana. Titik awal hubungan kedua negara dimulai sejak RRT terbentuk pada tahun 1949. Proses mencapai kesepakatan normalisasi hubungan terjadi bertahap mengikuti perkembangan internal maupun eksternal di kedua negara.
Berdasarkan disertasi Dahana, setidaknya ada lima periode dalam proses normalisasi hubungan Malaysia-RRT. Lima periode tersebut meliputi komunisme internasionalis dan condong ke satu pihak (1949-1952), periode koeksistensi secara damai (1953-1957), militansi antiimperialisme dan antirevolusionisme (1958-1965), peredaan ketegangan Tiongkok-Amerika, dan ”garis revolusioner Mao” dalam diplomasi (1970-1973), serta normalisasi sesudahnya (1974).
Hubungan antara Tiongkok dan Malaysia dipengaruhi sejumlah faktor dasar, antara lain wilayah, ideologi, hingga kepentingan nasional. Pada periode 1949-1955, RRT memosisikan dirinya sebagai blok sosialis di bawah Uni Soviet yang menentang ”imperialisme Amerika”. Selama periode ini, RRT memandang Malaysia (pada waktu itu masih bernama Malaya) sebagai koloni Inggris yang merupakan sekutu Amerika Serikat.
Kehadiran Inggris di Malaysia dianggap sebagai perluasan dari kebijakan blok Barat yang melakukan politik pembendungan untuk menahan pengaruh Uni Soviet dan negara-negara lain yang masuk dalam blok sosialis. Kondisi ini memunculkan sikap bermusuhan terhadap kekuasaan Inggris di Malaysia yang berdampak terhadap kebijakan Tiongkok yang cenderung konfrontatif.
Memasuki pertengahan 1950-an Tiongkok mengikuti garis politik baru untuk hidup berdampingan secara damai. Kebijakan tersebut ditandai dengan keikutsertaan Tiongkok pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Pada saat yang sama, Pemerintah Inggris menjajaki kemungkinan mengalihkan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke pemerintah lokal. Kemerdekaan Malaysia pun direncanakan pada 31 Agustus 1957.
Sesuai dengan prinsip hidup berdampingan, RRT menunjukkan sikap bersahabat kepada Malaysia dengan ucapan selamat menjelang kemerdekaan dari Mao Zedong dan Zhou Enlai kepada Perdana Menteri Federasi Malaya Tengku Abdul Rahman. Namun, iktikad baik dari RRT justru disikapi acuh tak acuh.
Reaksi Federasi Malaya pada waktu itu dipengaruhi oleh pengalaman pahit dengan komunisme dan Tiongkok sehingga timbul ketidakpercayaan kepada RRT. Sikap tidak bersahabat ini menjadikan Malaya menjadi salah satu musuh utama Tiongkok. Pada periode 1950-an hingga 1974, Tiongkok menganggap Malaya tak lebih dari boneka Barat dengan kemerdekaan palsu.
Poros Jakarta-Peking
Setelah tahun 1958, Tiongkok meninggalkan prinsip hidup damai berdampingan. Pada masa itu, muncuk konflik antara Tiongkok-Soviet yang disusul dengan radikalisasi politik dalam negeri. Radikalisasi politik Tiongkok seperti mendapat kawan ketika Soekarno pada tahun 1963 secara terang-terangan menyatakan konfrontasi dengan Malaysia dengan slogan ”Ganyang Malaysia”.
Konfrontasi Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia diikuti dengan keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB karena Malaysia diakui sebagai anggota PBB. Akibat keluar dari PBB, Indonesia terisolasi dari masyarakat internasional. Kondisi ini membuat Indonesia mendekat ke RRT dan terbentuk ”Poros Jakarta-Peking”.
Pada masa yang sama RRT membutuhkan dukungan untuk memengaruhi partai-partai komunis lain dalam konflik Tiongkok-Soviet. Karena itu, Tiongkok berkepentingan untuk mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi penguasa dalam panggung politik Indonesia. Selain itu, Tiongkok juga menerapkan politik dalam dan luar negeri yang radikal dengan Gerakan Lompatan Jauh ke Depan.
Kesamaan antara Tiongkok dan Indonesia menjadikan mereka mitra dan membawa keduanya untuk membentuk organisasi tandingan PBB bernama Conference of New Emerging Forces (Conefo) yang muncul dari gagasan Soekarno. Akibatnya, Tiongkok dan Indonesia terasing dari pergaulan internasional. Kolaborasi Jakarta-Beijing pun hanya bertahan sampai tahun 1965 seiring jatuhnya Soekarno akibat peristiwa G30S PKI.
Normalisasi hubungan
Menjelang 1969 terjadi perubahan besar dalam politik luar negeri Tiongkok. Konflik dengan Uni Soviet meningkat menjadi konflik bersenjata, terutama di perbatasan kedua negara. Berdasarkan strategi Maois, Tiongkok tidak boleh memiliki dua musuh di waktu bersamaan. Sehingga, muncul persepsi baru yang menghalalkan kebijakan untuk merapat ke Amerika.
Kebijakan baru Tiongkok membawa penerimaan dunia. Tiongkok bahkan menjadi wakil bangsa Tionghoa di PBB. Meredanya ketegangan dengan Amerika pada tahun 1972 meringankan beban yang dihadapi RRT. Pada masa ini timbul keinginan untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara tetangga, termasuk Malaysia yang sedang terjadi estafet kepemimpinan dari Tengku Abdul Rahman ke Tun Abdul Razak.
Pergantian pemimpin di Malaysia berpengaruh besar terhadap normalisasi hubungan antara Tiongkok dan Malaysia. Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman dikenal sebagai pejuang antikomunis, sementara Tun Abdul Razak lebih berani memperkenalkan kebijakan domestik maupun internasional.
Lewat perundingan yang cukup kompleks, Malaysia berhasil melakukan normalisasi hubungan dengan RRT di bawah kepemimpinan Razak. Keterbukaan Malaysia terhadap Tiongkok menjadi awal baru hubungan antara Asia Tenggara dan Tiongkok sejak Indonesia membekukan hubungan diplomasi dengan RRT tahun 1967. (IGP/LITBANG KOMPAS)