Sejarah Ragam Kebijakan Perikanan dan Kesejahteraan Nelayan
Upaya menggali potensi kekayaan laut Nusantara sudah dilakukan sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ragam kebijakan yang dijalankan ini juga bertujuan untuk mengangkat kesejahteraan nelayan yang masih terpinggirkan.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·6 menit baca
Perairan Indonesia memiliki potensi perikanan yang besar. Melihat besarnya potensi itu, sederet catatan sejarah tentang program dan kebijakan perikanan telah dilakukan sejak era pemerintahan kolonial Belanda. Sejarawan Universitas Diponegoro, Semarang, Sutejo K. Widodo, menyebutkan bahwa program pengelolaan perikanan dan pengentasan nasib nelayan di Hindia Belanda sudah dilakukan sejak 1901.
Kebijakan kala itu tidak dapat dilepaskan dari konsep besar pergeseran policy pemerintahan kolonial yang mulai menerapkan politik etis atau politik balas budi. Salah satu rancangan kebijakannya adalah melakukan kajian terhadap aspek-aspek ketertinggalan kaum pribumi.
Dari gagasan ini, pemerintah kolonial Belanda kemudian membentuk komite Mindere Welvaart Onderzoek pada 1904. Sejumlah rekomendasi diberikan lembaga ini, mulai dari memberi pinjaman modal usaha, menyediakan peralatan nelayan, memberi pelatihan nelayan, memperbaiki sistem distribusi, menerapkan metode tangkap ikan dengan mekanisasi, serta menyediakan infrastruktur pendukung ekonomi perikanan.
Salah satu bentuk kebijakan yang monumental dari program ini adalah pembangunan dua pasar ikan di Batavia, yaitu di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok. Tujuan pembangunan tempat jual-beli ikan ini agar nelayan dapat menjual hasil tangkapannya dengan harga yang layak.
Selain pasar ikan, pemerintah kolonial juga mendirikan Bagian Perikanan atau Afdeeling Visserij pada 1914. Tugas lembaga ini antara lain melakukan penyuluhan perikanan, penyaluran garam, pendirian pusat pengasinan ikan, pembangunan pasar ikan, serta pembangunan pelabuhan pendaratan ikan. Dalam perkembangannya Belanda kemudian mereorganisasi Bagian Perikanan dan membentuk Lembaga Perikanan Laut (Instituut Voor de Zeevisserij).
Di era pendudukan Jepang, lembaga tersebut berubah menjadi Jawatan Perikanan Laut (Kaken Gyogo Kenkyu Sao). Jepang juga membentuk perkumpulan-perkumpulan nelayan dalam wadah Koperasi Perikanan Laut (Gyogo Kumiai). Namun, tugas utama jawatan dan koperasi perikanan waktu itu lebih untuk memenuhi kebutuhan logistik armada perang Jepang.
Seiring Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945, lembaga perikanan yang dibentuk di era pemerintahan kolonial tersebut kemudian berubah menjadi Yayasan Perikanan Laut di bawah Kementerian Pertanian. Visi Presiden Soekarno dengan slogan ”Berdikari” memberikan kesempatan bagi sektor perikanan untuk berkembang. Salah satu perwujudan visi tersebut ialah menghentikan komoditas impor, termasuk ikan.
Era kemerdekaan
Oleh Bung Karno, kaum nelayan disebut sebagai salah satu penopang kemandirian ekonomi negara atau saka guru revolusi. Penghargaan tertinggi pemerintah kepada kaum nelayan kala itu dinyatakan dengan menetapkan tanggal 6 April sebagai Hari Nelayan Nasional pada 1961.
Artikel Kompas edisi 3 November 1965 menjabarkan beberapa program perikanan nasional yang digulirkan pada era Orde Lama. Salah satunya adalah dengan membentuk Departemen Perikanan pada 1964. Selanjutnya dibentuk juga Perusahaan Negara Perikani yang ditugasi untuk mendorong nelayan supaya dapat menangkap ikan sebanyak-banyaknya.
Selain itu ada Perusahaan Negara Hasil Laut yang bertindak menampung dan memasarkan hasil tangkapan nelayan di pasar lokal ataupun untuk diekspor. Misi Perusahaan Negara Hasil Laut adalah membeli ikan dari nelayan dengan harga di atas harga yang ditawarkan tengkulak.
Satu dekade kemudian, yaitu pada era 1970-an di masa pemerintah Orde Baru, dicanangkan program Revolusi Biru. Program ini bertujuan mendorong modernisasi nelayan dengan motorisasi perahu serta melengkapinya dengan peralatan penangkap ikan yang mutakhir. Target dicanangkannya program ini untuk meningkatkan kapasitas tangkapan nelayan tradisional.
Berdasarkan data statistik dari BPS, pada 1970 jumlah ikan laut yang dapat diangkat mencapai 807.000 ton, sedangkan pada 1980 nelayan Indonesia mampu menjala 1,4 juta ton ikan laut. Artinya, dalam kurun satu dekade terjadi peningkatan produktivitas nelayan sebesar 42 persen.
Cita-cita pemerintahan Orde Baru untuk meningkatkan tangkapan sumber daya laut pada era 1980-an diupayakan dengan mengundang pelaku perikanan industri berskala besar. Kebijakan ini ditandai dengan kehadiran kapal-kapal asing yang mengambil ikan di perairan Indonesia sebagai bagian dari kebijakan penanaman modal asing (PMA) di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Alasan utama yang melandasi kebijakan itu adalah masih minimnya pemanfaatan potensi perikanan Indonesia di ZEE (zona ekonomi eksklusif). Potensi perikanan baru dimanfaatkan 1 persen oleh nelayan Indonesia yang mayoritas merupakan nelayan tradisional. Untuk dapat memanfaatkan potensi yang ada, diperlukan campur tangan nelayan pelaku perikanan industri (Kompas, 3/1/1984).
Dalam perkembangannya sejak era Reformasi hingga saat ini sejumlah kebijakan mengelola dan menggali potensi perikanan di Tanah Air terus dilakukan. Kebijakan itu mulai dari melarang kapal asing dan kapal bekas negara asing menangkap ikan di perairan Indonesia hingga pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang dan larangan ekspor benur.
Dari perkembangan kebijakan dan program yang telah dilakukan sejak era kolonial hingga saat ini, ada dua hal yang dapat dicermati dalam konteks kesejahteraan nelayan, yaitu corak kebijakan dan fasilitas industri nelayan.
Tantangan
Mencermati corak kebijakan yang dijalankan, kebijakan pengelolaan perikanan terlihat masih fokus pada skala mikro atau sektoral. Program dan kebijakan yang dijalankan masih berupa upaya membangun fasilitas perikanan, memberikan bantuan modal atau kapal, hingga mengatur ketimpangan hasil perikanan antardaerah.
Perlu langkah-langkah besar untuk menjadikan industri perikanan nasional sebagai bagian dari rantai global. Dengan nilai ekspor perikanan mencapai 5,72 miliar dollar AS pada 2021, Indonesia memiliki potensi masuk 10 besar negara eksportir besar perikanan dunia. Peningkatan investasi dapat mendorong pertumbuhan produktivitas hasil perikanan nasional.
Dalam kaitan itu, pemerintah berencana menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan. Kebijakan penangkapan terukur ini diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkapan ikan. Hanya saja, kebijakan ini perlu diimbangi dengan pemberian fasilitas dan kesempatan bagi nelayan kecil untuk dapat ikut terlibat di dalamnya. Jangan sampai kebijakan tersebut malah meminggirkan daya saing nelayan kecil dan nelayan tradisional akibat kalah bersaing dengan kapal besar/kapal asing.
Adapun dari aspek fasilitas perikanan dapat dikatakan perkembangan sarana penunjang nelayan di Indonesia sudah relatif modern. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada 2000 terdapat 45 persen dari 475.000 rumah tangga perikanan (RTP) tangkap laut yang menggunakan perahu tanpa motor atau perahu dayung atau berlayar. Satu dekade kemudian hanya tersisa seperempatnya yang masih menggunakan perahu tak bermotor.
Di sisi lain, pada 2019 sudah ada 43 persen RTP yang memanfaatkan motor tempel dan 31 persen lainnya melaut dengan kapal motor yang berukuran lebih besar. Penggunaan teknologi modern ini dapat terus ditambah agar nelayan dapat menjangkau titik pencarian ikan yang lebih jauh dari pantai. Selain itu juga dapat mengangkut lebih banyak ikan dalam sekali perjalanan.
Gerak modernisasi ini juga dapat digunakan sebagai pendorong terus tumbuhnya angka tangkapan ikan laut. Pada 2020, untuk pertama kali dalam sejarah kelautan Indonesia, tangkapan mencapai angka 7 juta ton. Lebih dari tujuh dekade pemerintah berupaya mengentaskan masyarakat nelayan dari kemiskinan. Melihat dari serangkaian kebijakan yang pernah diterapkan, harapan makin sejahteranya nelayan harus terus didukung pemerintah dengan modernisasi peralatan, bantuan dana, dan dorongan memasarkan ikan hasil tangkapan. (LITBANG KOMPAS)