Keberadaan Tionghoa di Timor
Douglas Kammen dan Jonathan Chen menelusuri asal-usul beragam etnis Tionghoa di Timor. Keberadaan mereka yang tersebar di kota dan pedalaman memiliki peran dan ciri khas tersendiri.
Judul : Cina Timor: Baba, Haka, dan Kantonis dalam Pembentukan Timor-Leste
Penulis : Douglas Kammen & Jonathan Chen
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit : 2022
Jumlah halaman : xxi + 282 halaman
ISBN : 978-623-346-319-5
Pulau Timor terkenal dengan julukan ”Bumi Cendana”. Pulau ini dikenal sebagai penghasil cendana sejak abad ke-13 dan ke-14.
Diaspora Tionghoa juga hadir di Pulau Timor. Mereka tinggal di kota-kota pesisir utara, baik di Timor Barat maupun di Timor Leste. China Timor, mereka menyebut dirinya yang menandakan keturunan Tionghoa di negeri cendana. Sejarah ini dirangkum dalam publikasi hasil penelitian dari Douglas Kammen & Jonathan Chen berjudul Cina Timor: Baba, Haka, dan Kantonis dalam Pembentukan Timor-Leste (Penerbit Buku Kompas, 2022).
Kedatangan orang China ke Timor ditelusuri lewat perdagangan kayu cendana di masa lalu. Orang China membeli cendana dan menukarkannya dengan porselen, perak, dan kain sutra. Sementara, cendana digunakan sebagai bahan baku pembuatan dupa untuk ibadah. Selain itu, cendana juga disuling menjadi minyak untuk obat-obatan.
Keberadaan
Tionghoa di Timor tersebar di kota-kota pesisir utara, yang meliputi Lifau, Atambua, Batugade, Maubara, Liquica, Manatuto, dan Dili. Berdasarkan penelitian penulis, etnis Tionghoa yang memilih tinggal di kota cenderung mencari keuntungan dari Portugis dengn cara berhubungan baik dengan penguasa untuk mempermudah perdagangan. Uniknya, pemerintahan Timor Portugis juga sering meminta pinjaman uang kepada orang Tionghoa untuk membayar gaji pegawai negeri dan tentaranya.
Selain bermukim di kota, sebagian kecil mencoba peruntungan di pedalaman. Orang China yang masuk ke pedalaman menjadi pelopor sektor kopi. Mereka menghindari kendali Portugis dan pajak dengan berdagang tanpa melalui pelabuhan Portugis.
Menurut penelitian penulis, setidaknya ada sekitar 40 laki-laki China yang menetap di Kupang pada abad ke-18. Sebagian menikah dengan orang setempat, sebagian hanya berdagang dan berharap bisa pulang ke tempat asal.
Namun, awal abad ke-19, jumlah Tionghoa di Pulau Timor diperkirakan telah mencapai 300 orang China di wilayah Timor Belanda dan 100 orang di Timor Portugis yang separuhnya tinggal di Dili. Sebagian merupakan penutur bahasa Hokkian. Ada juga penutur bahasa Hakka yang berasal dari Jiayingzhou (Meixian) dan Kanton (Guangdong).
Di akhir abad ke-19, hadir sebuah kelenteng Tionghoa di kota Dili, yang dibuat untuk Dewa Mazu. Selain kelenteng, terdapat pula kuburan Tionghoa di Kupang dan Dili. Kondisi ini menunjukkan cukup solidnya hubungan satu sama lain di antara etnis Tionghoa di Timor.
Revolusi 1911 yang menggulingkan Dinasti Qing berdampak pada gelombang migrasi besar-besaran, salah satunya ke Timor. Populasi China yang sebelumnya hanya berkisar 534 orang pada sensus 1907 meningkat menjadi 2.587 orang pada tahun 1935.
Hubungan dengan Republik China
Hubungan keterikatan dengan tanah leluhur ternyata masih dimiliki oleh China Timor. Gerakan republikan di China yang menggaungkan modernitas menular ke orang-orang China Timor. Akibatnya, beberapa tahun setelah Revolusi 1911, seorang pemimpin komunitas Hakka di Dili memutuskan menghancurkan Kelenteng Mazu. Kelenteng dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai modernitas sehingga harus diberantas untuk menghilangkan mitos di kalangan China Timor.
Komunitas China Timor juga membina hubungan baik dengan penguasa Republik China. Terbukti, cabang Kuomintang, partai penguasa pascarevolusi di China hadir di Timor. Partai Kuomintang juga mendukung pembangunan sekolah di Dili dan 13 distrik Timor Portugis.
Pada saat pemerintahan Kuomintang pindah ke Taiwan, China Timor masih menjalin hubungan baik. Taiwan bahkan menyediakan beasiswa bagi Timor untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Selama tahun 1950 hingga 1960-an sudah ada 1.000-2.000 anak China Timor yang dikirim ke Taiwan untuk belajar.
Generasi penerus yang merupakan hasil pernikahan campur dengan warga setempat ternyata masih mempertahankan beberapa tradisi yang diturunkan oleh generasi China Timor sebelumnya. Uniknya, China Timor tidak merayakan Imlek, tetapi mereka tetap mempertahankan ibadah untuk leluhur dan membersihkan makam leluhur. (LITBANG KOMPAS/STI)