Sejarah Madiun Raya Menurut Kacamata Lucien Adam
Madiun Raya tidak hanya sebagai sebuah wilayah geografis yang membatasi Jawa bagian timur dan tengah. Namun, tanah ini menyimpan banyak peristiwa sejarah yang merentang sejak zaman Hindu-Buddha hingga kolonial.
Judul buku : Antara Lawu dan Wilis: Arkeologi, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam (Residen Madiun 1934-1938)
Penerjemah: Nunus Supardi, Peter Carey, dan Christopher Reinhart
Editor : Christopher Reinhart
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun terbit : 2021
Jumlah halaman: xxviii + 458 halaman
ISBN : 978-602-481-644-5
Keresidenan Madiun pada masa Hindia Belanda terdiri dari beberapa wilayah yang kini lebih dikenal dengan Kota Madiun. Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Ponorogo. Pada tahun 1934-1938, wilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh seorang residen bernama Lucien Adam. Selama empat tahun pula Lucien banyak meneliti tentang wilayah kekuasaannya, yang disebutnya minim akan pembahasan sejarah sosial budaya.
Kondisi tersebut mendorong Lucien Adam bertindak sebagai sejarawan amatiran dengan menulis sejarah Madiun Raya yang dimulai sejak masa kerajaan Hindu-Buddha sampai masa Perang Jawa. Penelitiannya ditulis dalam dua tahap, yakni pada 1938 ketika Lucien Adam menjabat sebagai Residen Madiun dan tahun 1940 saat ia bertugas sebagai Residen Yogyakarta.
Dengan demikian, muncul pertanyaan mengapa naskah yang telah berumur lebih dari 80 tahun ini diterbitkan kembali dalam Bahasa Indonesia? Peter Carey, salah satu penerjemah dari buku ini, beralasan bahwa tulisan dari Lucien Adam dapat berkontribusi besar bagi penulisan sejarah lokal khususnya di wilayah Madiun Raya. Apalagi sejarah Madiun terlalu identik dengan peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1948.
Meskipun naskah ini telah berumur puluhan tahun, editor dari buku, yakni Christopher Reinhart, menambahkan catatan kaki yang berisi tentang rujukan penelitian terbaru sehingga tetap relevan dengan kekinian. Ini juga sebagai misi dari penerbitan buku ini agar banyak generasi muda mau menarasikan kembali sejarah Madiun Raya dalam konteks sosial budaya setempat.
Sang residen Madiun
Lucien Adam menjabat sebagai residen di Madiun pada 1934-1938, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta tahun 1938 hingga pendudukan Jepang. Sebelum menjabat sebagai residen di Madiun, Lucien pernah ditugaskan di Keresidenan Banyuwangi dan Kediri. Pada 1917, ia kemudian meminta untuk dipindahkan dari Kediri ke Minahasa. Di wilayah yang kosmopolitan ini, ia mulai mengembangkan minatnya dalam bidang masyarakat perdesaan dan hukum adat.
Kecintaannya pada dunia penelitian kebudayaan membuat Lucien Adam menulis artikel tentang Minahasa dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde. Bahkan, pada 1921-1924, Lucien mengambil jatah cutinya untuk melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Leiden, Belanda. Pada 1924, Lucien Adam berhasil meraih gelar doktor dalam bidang hukum melalui disertasi berjudul De autonomie in het Indonesische dorp (Otonomi di Desa Indonesia).
Hal yang menarik ditunjukkan Lucien dalam penelitiannya tersebut. Dalam judul disertasinya, Lucien tidak segan-segan menyebut kata ”Indonesische” atau ”Indonesia” yang saat itu masih tabu bagi pemerintah kolonial. Keberanian Lucien Adam ini dipuji oleh sejarawan GJ Resink (1911-1997) sebagai orang yang mewarisi pemikiran etis Belanda pada awal 1900-an yang mengutamakan kesejahteraan rakyat Hindia Belanda dibandingkan dengan kepentingan para pengusaha Belanda.
Berdasar riwayat pendidikannya inilah Lucien Adam tertarik untuk menulis tentang sejarah Madiun Raya ketika dia mulai bertugas di wilayah tersebut. Di mata Lucien, wilayah Madiun Raya begitu menarik sehingga berhasil menulis tujuh artikel yang diterbitkan dalam majalah Djawa terbitan Java-Instituut Yogyakarta antara Januari 1937-Desember 1940. Tujuh artikel tersebut kini menjadi isi dari buku yang berjudul Antara Lawu dan Wilis: Arkeologi, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam (Residen Madiun 1934-1938), (KPG, 2021).
Madiun Raya dalam sejarah
Wilayah Madiun Raya terletak di antara dua gunung di sebelah timur dan barat, yakni Gunung Lawu dan Gunung Wilis. Sementara di sebelah selatan dibatasi oleh samudra yang besar dan di utara terlihat Pegunungan Kendeng. Penggambaran ini menunjukkan letak geografis Madiun Raya layaknya seperti cawan besar atau sebuah benteng.
Mengutip epilog buku ini yang ditulis oleh Nunus Supardi bahwa letak geografis memiliki pengaruh dalam perkembangan sejarah dan peradaban manusia. Hal ini sesuai dengan mazhab ilmu sejarah Annales yang dipopulerkan oleh sejarawan Perancis pada abad ke-19 dan ke-20. Wilayah Madiun pun telah menjadi panggung dari peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Jawa.
Sebagai contoh, wilayah Madiun Raya digunakan sebagai tempat perlindungan keluarga raja dari perang perebutan kekuasaan. Mereka menganggap bahwa wilayah Madiun Raya sangatlah cocok sebagai tempat persembunyian. Keadaan ini bahkan terjadi sejak masa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, hingga masa kolonial.
Pada masa akhir Kerajaan Majapahit sekitar awal abad ke-16, beberapa keluarga kerajaan menyelamatkan diri ke daerah pegunungan di Madiun Raya. Mereka berlindung dari kekuatan Kerajaan Demak yang mulai berkuasa di tanah Jawa. Tidak hanya berlindung, tetapi mereka juga melakukan pertapaan di wilayah pegunungan Madiun Raya.
Hal serupa terjadi pada Pakubuwono II dari Kerajaan Mataram yang pernah mengungsi ke Madiun ketika keraton diserang selama Geger Pacinan. Pada 1742, semua keluarga dari Pakubuwono II dengan didampingi oleh Residen Kartasura Johan Andries Baron van Hohendorff dan Letnan Ferdinand Carel Hoodwits melarikan diri ke Magetan dan Ponorogo.
Dalam masa pelarian tersebut, keluarga raja banyak meninggalkan warisan. Salah satunya adalah desa perdikan atau desa bebas pajak. Biasanya desa perdikan ini diperuntukkan bagi tempat tinggal orang saleh atau pemeliharaan tempat-tempat keagamaan, seperti pesantren, pemakaman, dan lain sebagainya. Anugerah desa perdikan ini diberikan raja sebagai tanda terima kasih kepada ulama setempat karena telah memberikan perlindungan dan membantu memadamkan pemberontakan.
Madiun Raya juga terlintas dalam peperangan atau pemberontakan pascamasa Kerajaan Mataram, yakni pemberontakan Trunojoyo (1676-1680), pemberontakan Untung Suropati (1683-1706), pemberontakan Pangeran Mangkubumi-Raden Mas Said (1746-1755), dan Perang Jawa (1825-1830). Desa-desa di Madiun Raya tidak hanya sebagai tempat untuk berlindung, tetapi juga untuk menghimpun pasukan melawan Mataram yang didukung oleh Kompeni. Dari sini terlihat bahwa wilayah Madiun Raya memiliki andil dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.
Bahkan, peristiwa-peristiwa tersebut menghasilkan banyak cerita sejarah lokal terkait dengan desa-desa yang pernah disinggahi oleh keluarga raja. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah Madiun Raya memiliki banyak narasi sejarah yang beragam dan perspektif.(Litbang Kompas)