Yoe Kim Lay (1861-1948), pengusaha keturunan Tionghoa Batak, mengawali karier sebagai kuli angkut barang. Krisis ekonomi 1930 menghancurkan bisnisnya. Hingga 1933, ia memutuskan menjadi penginjil.
Oleh
MARTINUS DANANG PRATAMA WICAKSANA
·5 menit baca
Sejak zaman kolonial Belanda ,komunitas Tionghoa di Indonesia sering kali diidentikkan sebagai seorang pedagang. Bahkan, sifat orang Tionghoa yang pandai dalam berbisnis ini kerap dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial sebagai penarik pajak kas pemerintah. Karena itu, orang Tionghoa saat itu disenangi oleh Belanda, tetapi sisi yang lain dibenci masyarakat pribumi.
Kondisi yang sama juga dialami oleh Yoe Kim Lay, peranakan Tionghoa Batak kelahiran Padang Sidimpuan, 2 Januari 1861. Yoe Kim Lay lahir dari pasangan lintas budaya. Ayahnya bernama Yoe Hap seorang Tionghoa totok yang merantau dari negeri China ke Sumatera. Sementara ibunya adalah keturunan Batak bernama Gadong Nasution.
Didi Kwartanada dalam pengantar buku ini menuliskan bahwa narasi tentang peranakan Tionghoa Batak masih belum populer. Historiografi Tionghoa Indonesia masih berkutat pada sejarah peranakan Tionghoa Jawa. Padahal dapat dipastikan masih banyak peranakan Tionghoa lainnya di Indonesia mengingat bahwa masyarakat Tionghoa sejak berabad-abad lalu gemar merantau.
Namun, J Anto penulis buku Wijkmeester Tionghoa Tarutung 1916-1932, Yoe Kim Lay: Sahabat Masyarakat Batak berhasil merekam jejak-jejak peranakan Tionghoa di Sumatera. Berbekal dengan catatan peninggalan Yoe Kim Lay yang ditulis sederhana dan surat-surat kabar Sumatera zaman Hindia Belanda, penulis mampu menarasikan sejarah perjuangan masyarakat Tionghoa Sumatera.
Menjadi Wijkmeester
Yoe Kim Lay tidak pernah mengenyam pendidikan karena kedua orangtuanya miskin. Kondisi kehidupan keluarga yang miskin mendorongnya mengadu nasib dengan merantau ke Sibolga.
Pada awalnya Yoe Kim Lay mencoba menjadi seorang nelayan di Sibolga, tetapi sialnya dia malah terlempar ke laut ketika perahunya tergulung ombak besar. Pengalaman tersebut membuat Yoe Kim Lay trauma sehingga tidak ingin lagi menjadi seorang nelayan. Yoe Kim Lay pun beralih menjadi kuli angkut barang menyusuri jalan Sibolga-Tarutung sepanjang 60-an kilometer.
Perjuangan Yoe Kim Lay sebagai kuli angkut barang pun tidak sia-sia. Perlahan ia kemudian mencoba menjadi seorang pedagang kemenyan, kapur barus, dan kopi yang menjadi komoditas unggulan di Tarutung. Sebagai seorang pedagang, Yoe Kim Lay kemudian dipercaya oleh pemerintah kolonial untuk menyuplai kebutuhan logistik di tangsi militer Tarutung. Tidak hanya itu, ia juga dipercaya sebagai pengantar surat-surat penting bagi pemerintah kolonial setempat.
Keadaan inilah yang menjadi awal Yoe Kim Lay berhubungan dekat dengan pemerintah kolonial Belanda. Padahal, Yoe Kim Lay tidak pernah menikmati bangku sekolah sehingga dia tidak fasih berbahasa Belanda. Namun, Yoe Kim Lay sangat fasih dalam bahasa Melayu pasar dan bahasa Batak. Ternyata, kelebihan ini yang menjadi faktor ia dipercaya orang Belanda.
Yoe Kim Lay tidak hanya berhubungan baik dengan orang-orang Belanda. Komunitas Tionghoa dimana ia terlibat pun menghormatinya. Hal ini disebabkan karena Yoe Kim Lay dianggap sebagai perintis sentiong atau kuburan Tionghoa di Simaung-maung. Sentiong penting bagi komunitas Tionghoa karena secara adat mereka diharuskan untuk menghormati leluhur-leluhurnya yang telah meninggal.
Hubungan antara komunitas Tionghoa dan pemerintah kolonial pun terjalin baik karena andil Yoe Kim Lay. Yoe Kim Lay pun terpilih sebagai Wijkmeester der Chinezen Tarutung atau perwira Tionghoa pada 1916. Sering kali juga Wijkmeester di kampung Tionghoa lebih dikenal sebagai Kapitan Tionghoa. Pada masa kolonial Belanda, jabatan ini sebagai bentuk perwakilan sipil dalam pemerintahan administratif Belanda.
Keberadaan Kapitan Tionghoa selalu ada di dalam perkampungan-perkampungan Tionghoa. Dia bertugas membantu segala urusan administratif masyarakat Tionghoa. Selain itu, Kapitan Tionghoa juga mengumpulkan pajak orang Tionghoa untuk disetor ke kas pemerintah kolonial.
Terpilihnya Yoe Kim Lay sebagai Wijkmeester Tarutung juga didukung bisnisnya yang semakin moncer. Yoe Kim Lay kemudian melebarkan bisnisnya dengan membuka toko-toko dan perhotelan di Tarutung. Bahkan, ia dipercaya sebagai pelaksana pembangunan Jalan Raya Sibolga-Tarutung yang dikenal sebagai jalan seribu tiga ratus kelok. Jabatan Wijkmeester bagi Yoe Kim Lay semakin meneguhkannya sebagai Tionghoa terpandang.
Zaman Malaise
Kesuksesan bisnis Yoe Kim Lay yang dirintis selama bertahun-tahun ternyata tidak bertahan lama. Depresi ekonomi dunia tahun 1930 atau sering dikenal zaman Malaise sebagai penyebab utamanya. Krisis ekonomi ini membuat pendapatan pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin menipis. Turunnya permintaan pasar membuat kegiatan ekspor impor berhenti. Akibatnya, harga komoditas di pasaran turun drastis setiap tahun.
Keadaan ini membuat pemerintah kolonial harus berputar otak untuk mendapatkan pendapatan di tengah krisis. Salah satunya adalah penarikan pajak yang cukup tinggi secara sepihak kepada pengusaha-pengusaha kaya. Sistem ini dikenal sebagai oorlogswintbelasting atau pajak keuntungan dalam keadaan darurat.
Sistem perpajakan tersebut sangat memberatkan para pengusaha, termasuk Yoe Kim Lay. Ia dikenakan pajak yang jumlahnya puluhan ribu gulden. Yoe Kim Lay pernah mengajukan keberatan, tetapi usahanya sia-sia. Pemerintah kolonial malahan mengancam akan menyita harta kekayaan Yoe Kim Lay apabila tidak membayar pajak.
Akhirnya Yoe Kim Lay terpaksa menjual aset-asetnya berupa gedung-gedung, rumah toko, dan hotel. Langkah Yoe Kim Lay menjual aset-asetnya sempat diberitakan oleh surat kabar Sumatra Post sehingga membuat masyarakat Tionghoa Tarutung gempar.
Pada tahun 1931, Asisten Residen Afdeling Bataklanden JM Ruychaver pernah menyampaikan permintaan maafnya kepada Yoe Kim Lay atas kejadian yang menimpa dirinya. Pemerintah pun hendak merehabilitasi nama baik dan usaha Yoe Kim Lay. Namun, Yoe Kim Lay menolak karena merasa dipermalukan.
Akibatnya, pada 1932 Yoe Kim Lay harus kehilangan jabatannya sebagai Wijkmeester Tarutung. Dia bersama keluarganya kemudian meninggalkan Tarutung menuju Parsingkaman. Di sana Yoe Kim Lay kembali menata kehidupannya dari nol. (LITBANG KOMPAS/DNG)