Dinamika Ukraina-Rusia, dari Presiden Kravchuk hingga Zelenskyy
Tak hanya saat ini, konflik antara Ukraina dan Rusia sudah terjadi sejak Ukraina berpisah dari Soviet pada 1991. Tensi relasi Ukraina dengan Rusia lebih menghangat saat presiden yang berkuasa lebih pro-Barat.
Setelah Uni Soviet bubar pada akhir 1991, Ukraina mulai menata negara barunya. Selain harus menyiapkan tata kelola pemerintahan, Ukraina juga mewarisi sejumlah masalah di era Soviet seperti keberadaan hulu ledak nuklir dan armada tempur Soviet di Laut Hitam.
Ukraina mewarisi 1.600 hulu ledak nuklir yang harus dieliminasi agar tidak lepas kendali kepemilikan dan penggunaannya. Pemerintahan Ukraina di bawah Presiden Leonid Kravchuk (1991-1994) harus berunding dengan Rusia. Ini karena setelah Soviet bubar, mandat pengawasan senjata nuklir tersebut diserahkan kepada Rusia.
Pemerintah Ukraina yang memilih menjadi zona bebas nuklir akan menyerahkan hulu ledak nuklir ke Rusia untuk dimusnahkan. Penyerahan hulu ledak nuklir ini menjadi salah satu konflik Ukraina dengan Rusia di awal pemerintahan Ukraina. Ukraina sempat menunda pengiriman senjata nuklir ke Rusia dengan alasan tidak ada jaminan bahwa senjata-senjata ini akan dihancurkan oleh Rusia.
Presiden Kravchuk kemudian menuntut Rusia untuk membentuk komite bersama yang bertugas untuk memonitor pemusnahan hulu ledak nuklir. Akhirnya pada Maret 1992, empat negara yang mewarisi senjata nuklir Soviet yaitu Rusia, Kazakhstan, Ukraina dan Belarusia sepakat membentuk komisi internasional untuk mengawasi penarikan dan penghancuran senjata nuklir Ukraina.
Selain nuklir, konflik yang dihadapi di awal pemerintahan Presiden Kravchuk dengan Rusia adalah sengketa armada Laut Hitam. Kedua negara merasa memiliki legalitas atas 300 kapal perang eks Soviet di Laut Hitam.
Ukraina merasa wilayah Laut Hitam berada di area teritorialnya. Ini berarti, seluruh aset militer di dalamnya menjadi milik Ukraina. Sedangkan Rusia berargumen armada peninggalan Soviet di Laut Hitam masih dalam pengawasan Persemakmuran Negara-negara Merdeka (CIS) yang menggantikan Uni Soviet. Ini artinya, masa depan 300 kapal perang Soviet akan diputuskan dalam kerangka perundingan CIS.
Namun, di sisi lain CIS gagal menyatukan seluruh negara eks Soviet untuk membentuk pasukan gabungan. Ukraina merupakan salah satu yang tidak mau menyatukan angkatan bersenjatanya ke dalam pasukan gabungan CIS.
Presiden Kravchuk menuntut pembagian armada Laut Hitam untuk Ukraina. Setelah melalui perundingan yang cukup lama, akhirnya pada Juni 1993 Presiden Rusia Boris Yeltsin dan Presiden Kravchuk sepakat untuk membagi dalam porsi yang sama armada Laut Hitam antara Rusia dan Ukraina.
Setelah lepas dari Soviet, Ukraina sepertinya benar-benar ingin melepaskan diri dari pengaruh Rusia. Bukan hanya menolak bergabung dalam armada gabungan CIS, Ukraina juga menolak pembentukan lembaga penghubung antar-parlemen republik bekas Uni Soviet. Delegasi Ukraina pada pertemuan kepala parlemen CIS di Kazakhstan pada Maret 1992 menolak berpartisipasi dalam pembentukan majelis antar-parlemen.
Ukraina juga menolak keras usulan Presiden Boris Yeltsin agar PBB memberi mandat kepada Rusia sebagai “penjaga” di wilayah bekas Uni Soviet. Pada Matret 1992, Ukraina bahkan menjajaki kemungkinan meninggalkan Persemakmuran Negara-negara Merdeka.
Yushchenko
Pemerintahan Presiden Kravchuk berakhir pada 1994 dan digantikan Leonid Kuchma. Di era Presiden Kuchma hubungan Ukraina dan Rusia tidak mengalami gejolak yang berarti. Hal ini disebabkan sejumlah permasalahan dan konflik dengan Rusia sudah dapat diselesaikan. Selain itu Kuchma juga dikenal memiliki hubungan baik dengan Rusia.
Kebijakan yang menonjol di era Presiden Kuchma adalah ratifikasi terhadap perjanjian nuklir pada November 1994. Selain itu pemerintahan Kuchma juga menutup pusat tenaga nuklir Chernobyl pada 2000.
Namun di akhir pemerintahan Kuchma, gejolak konflik dengan Rusia kembali muncul. Gejolak ini berawal dari persaingan pemilihan presiden di Pemilu 2004. Dua kandidat yang bersaing adalah kandidat partai berkuasa yang pro-Rusia, Victor Yanukovich melawan kandidat oposisi yang pro-Barat, Victor Yushchenko.
Victor Yanukovich merupakan Perdana Menteri di bawah pemerintahan Presiden Kuchma. Yanukovich diharapkan menjadi penerus Kuchma, yang selama dua periode yang mampu menjalin relasi dengan Rusia.
Pada 21 November 2004, Komisi Pemilu Nasional Ukraina menetapkan Viktor Yanukovich sebagai pemenang pilpres setelah mengalahkan Viktor Yushchenko dengan selisih kemenangan tipis yaitu 2,85 persen. Yanukovich mendapatkan 49,46 persen suara sedangkan Yushchenko meraup dukungan 46,61 persen suara.
Penetapan hasil pemilu ini mendapat penolakan keras dari pihak oposisi yang menuduh calon petahana melakukan kecurangan. Kubu oposisi melakukan unjuk rasa besar-besaran menolak kecurangan pemilu. Mereka juga menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung Ukraina kemudian membatalkan pemilu dan menetapkan pemilu ulang pada Desember 2004. Hasil penghitungan suara ulang memperlihatkan tokoh oposisi Viktor Yushchenko meraih 52 persen suara mengalahkan Viktor Yanukovich yang mendapatkan 44 persen suara.
Walau berhasil menjadi presiden baru, pemerintahan Presiden Yushchenko mengalami beberapa guncangan politik. Guncangan pertama datang dari terhentinya pasokan gas Rusia ke Ukraina. Kedua pemerintahan belum mencapai titik temu harga baru gas yang dinaikkan Rusia.
Presiden Yushchenko menyebutkan dinaikkannya harga gas itu lebih bermotif politik, yaitu untuk menekan presiden yang mengalahkan calon dukungan Rusia. Yushchenko melihat negara-negara lain yang masih mendukung Rusia masih menikmati harga gas di bawah harga pasar.
Gejolak parlemen
Guncangan kedua datang dari parlemen. Sepanjang pemerintahan Yushchenko (2005-2010) terjadi dua kali pemilu parlemen. Pemilu pertama dilakukan pada 2006 setelah parlemen memecat Perdana Menteri Yuri Yekhanurov sebagai imbas krisis gas Rusia. Perdana Menteri Yekhanurov dinilai tidak mampu menyelesaikan krisis gas karena tidak mau membayar kesepakatan harga gas dengan Rusia.
Hasil pemilu yang dilaksanakan pada 26 Maret 2006 menunjukkan Partai Daerah (Party of Regions) pimpinan Viktor Yanukovich yang pro-Rusia meraih kemenangan dengan 32,1 persen suara. Sementara, partai milik mantan Perdana Menteri Yulia Tymoshenko meraih 22,3 persen suara, dan Partai Ukraina Kita (Our Ukraine Party) besutan Presiden Viktor Yushchenko hanya meraih 14 persen suara.
Kemenangan itu membawa Yanukovych menduduki jabatan perdana menteri. Kembalinya sang pesaing Presiden Yushchenko tersebut di panggung politik Ukraina menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pemerintahan Yushchenko. Saat itu, koalisi pro-Rusia pimpinan Yanukovych telah menjadi mayoritas di parlemen dengan meraih 250 kursi dari total 450 kursi parlemen.
Presiden Yushchenko merasa koalisi parlemen terus mengancam pemerintahannya dengan upaya kubu Yanukovych menarik lebih banyak anggota parlemen masuk ke koalisinya. Jika kubu Yanukovych bisa meluaskan dukungan hingga 300 kursi, maka parlemen dapat menjatuhkan veto kepada Presiden Yushchenko dan mengupayakan perubahan konstitusi.
Presiden Yushchenko menuduh Perdana Menteri Yanukovych melanggar konstitusi karena mencoba meningkatkan suara dengan membujuk anggota parlemen lainnya membelot. Konflik kedua pemimpin ini membuat Presiden Yushchenko mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen pada 2 April 2007. Krisis politik Ukraina ini kemudian mereda setelah Presiden Yushchenko dan Perdana Menteri Yanukovich sepakat untuk menggelar pemilu parlemen pada 30 September 2007.
Hasil Pemilu 2007 menunjukkan tidak banyak perubahan dalam konfigurasi politik di Ukraina. Partai Daerah pimpinan Viktor Yanukovych memenangi pemilu dengan 34,4 persen suara. Partai Reformasi pimpinan Yulia Tymoshenko berhasil meraih 30,7 persen suara, sedangkan Partai Ukraina Kita pimpinan Viktor Yushchenko meraih 14,2 persen.
Bedanya, kali ini partai pendukung Presiden Yushchenko berkoalisi kembali dengan kubu Yulia Tymoshenko. Koalisi Tymoshenko dan Yushchenko berhasil menempatkan Yulia Tymoshenko sebagai Perdana Menteri.
Tymoshenko dan Yushchenko sebelumnya pernah bersatu dalam Revolusi Oranye 2004. Namun setelah keduanya berhasil menumbangkan kubu Yanukovich, koalisi tersebut pecah. Koalisi Tymoshenko dan Yushchenko kali ini juga tidak berjalan mulus.
Walau berhasil menyingkirkan kembali Yanukovich, tetapi pertarungan politik antara duo Viktor yaitu Yushchenko dan Yanukovich belum berakhir. Hal ini karena ada dua kekuatan besar di balik kursi kepemimpinan Ukraina. Yushchenko adalah representasi kepentingan negara-negara Barat sedangkan Yanukovich mewakili kepentingan Rusia.
Yanukovich
Pemerintahan Presiden Yushchenko berakhir pada 2010 dan digantikan pesaing lamanya Viktor Yanukovich. Berdasarkan hasil pemilihan presiden putaran kedua, Viktor Yanukovich memenangi pemilihan Presiden setelah unggul tipis atas Yulia Tymoshenko. Yanukovich mendapatkan 48,95 persen suara, sementara Tymoshenko 45,47 persen suara.
Masa pemerintahan Presiden Yanukovich yang pro-Rusia diwarnai gejolak politik setelah Yanukovych menolak menandatangani pakta perdagangan dengan Uni Eropa pada November 2013. Penolakan Yanukovych memicu unjuk rasa besar-besaran menuntut Presiden Yanukovych mundur dari jabatannya karena menolak pakta perdagangan dengan Uni Eropa.
Unjuk rasa yang diwarnai kekerasan berlangsung selama tiga bulan. Krisis politik ini sedikit mereda setelah Parlemen Ukraina memecat Presiden Yanukovych pada Februari 2014 karena dianggap tidak mampu mengatasi aksi unjuk rasa. Parlemen Ukraina kemudian menunjuk Ketua Parlemen Oleksander Turchinov sebagai presiden sementara.
Namun di wilayah-wilayah yang pro-Rusia gejolak politik masih berlanjut sesaat setelah tergulingnya Presiden Yanukovych. Di Crimea, muncul aksi milisi yang didukung militer Rusia. Mereka menguasai gedung pemerintahan Crimea. Parlemen Crimea yang pro-Rusia lalu memutuskan referendum pada 16 Maret 2014.
Melalui referendum, rakyat Crimea menyatakan pemisahan diri dari Ukraina. Referendum tersebut dianggap ilegal oleh Ukraina dan negara-negara Barat. Jatuhnya Crimea ke tangan Rusia memicu gerakan separatisme di Ukraina timur yang banyak dihuni warga berbahasa Rusia seperti Odessa, Kharkiv, Slavyanks, Luhansk, dan Donetsk.
Kemelut politik menemukan jalan terang dengan diselenggarakan pemilihan presiden pada Mei 2014. Pengusaha Petro Poroshenko memenangkan pilpres setelah mengalahkan politisi senior Yulia Tymoshenko.
Tantangan yang dihadapi Presiden Poroshenko adalah menyelesaikan gejolak di wilayah separatis di Ukraina timur. Poroshenko juga harus menyelesaikan krisis pasokan gas Rusia setelah Ukraina menolak harga gas yang ditawarkan Rusia. Kenaikan harga gas oleh Rusia menjadi episode tambahan gejolak konflik di Ukraina jika presiden terpilih bukan pro-Rusia.
Zelenskiyy
Perlahan-lahan Presiden Poroshenko bisa menyelesaikan krisis pasokan gas. Ukraina dan Rusia berhasil menyepakati harga baru setelah Presiden Poroshenko mengadakan pertemuan sebanyak tiga kali dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Namun, Poroshenko belum tuntas menyelesaikan konflik separatis di Ukraina timur. Era kepemimpinan Poroshenko berakhir pada 2019. Komedian Volodymyr Zelenskyy mengalahkan presiden petahana Petro Poroshenko di putaran kedua dengan dukungan suara 73,2 persen. Sementara Poroshenko mendapat 24,4 persen suara.
Zelenskyy memenangkan hampir seluruh wilayah Ukraina kecuali di satu wilayah yaitu Lviv. Di Lviv, Zelenskiy memperoleh dukungan 34,5 persen suara, sedangkan Poroshenko mendapat 62,8 persen suara. Kemenangan terbesar Zelenskiy terdapat di wilayah Luhansk dengan meraup 89,4 persen suara.
Kemenangan besar Presiden Zelenskyy menjadi harapan pulihnya kondisi keamanan dan bangkitnya perekonomian Ukraina yang dilanda konflik dalam negeri berkepanjangan. Ukraina sebenarnya memiliki sumber daya alam dan mineral yang berlimpah untuk berkembang sebagai sebuah negara maju.
Negeri ini memiliki luas wilayah 603.549 kilometer persegi membentang mulai dari Pegunungan Carphatian di sebelah barat hingga Semenanjung Crimea di wilayah selatan. Kekayaan batubara terdapat di daerah Donbass, sementara minyak serta gas alam melimpah di daerah Pridneprovskiy dan Donetsk.
Ukraina juga terkenal memiliki tanah yang subur dengan hasil pertanian gandum, jagung, kentang, dan biji matahari. Ukraina merupakan salah satu pemasok gandum dan jagung dunia saat ini. Ukraina adalah negara terbesar ketiga pemasok gandum global. Kontribusi gandum Ukraina pada 2021 menyumbang 12 persen total ekspor global. Tidak heran jika ikon gandum menjadi salah satu filosofi warna dalam bendera Ukraina. Warna bendera biru dan kuning melambangkan langit biru di atas ladang gandum emas Ukraina.
Wilayah Ukraina juga memiliki sejumlah kawasan strategis. Di era Soviet, Pelabuhan Sevastopol yang terletak di Laut Hitam menjadi pangkalan armada Angkatan Laut Uni Soviet. Kota pelabuhan seperti Kherson dan Mariupol merupakan jalur perdagangan utama Ukraina dengan luar negeri.
Namun wilayah-wilayah tersebut saat ini malah porak-poranda digempur militer Rusia. Keinginan Presiden Zelenskyy membawa Ukraina bergabung dengan Uni Eropa dan NATO menuai reaksi keras dari Rusia. Bergabungnya Ukraina ke NATO menjadi ancaman serius bagi keamanan Rusia. NATO dikhawatirkan akan menempatkan persenjataan di Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia. Rusia yang merasa terancam dengan kebijakan Presiden Zelenskyy melakukan serangan ke Ukraina sejak 24 Februari 2022.
Geopolitik Ukraina yang terletak di antara dua kekuatan besar dunia, yaitu Uni Eropa dan Rusia menjadi medan pertempuran baru antara kepentingan AS dan NATO dengan kepentingan Rusia. Bubarnya Uni Soviet tidak serta merta menghentikan perang dingin dalam memperebutkan pengaruh di dunia termasuk dalam politik Ukraina.
Mencermati posisi dan kebijakan Presiden Ukraina dari masa ke masa, perebutan pengaruh antara Barat dengan Rusia tidak dapat dilepaskan dari geopolitik Ukraina. Perebutan pengaruh ini terlihat dari dukungan politik masing-masing pihak ke sosok presiden. Yang paling kentara adalah munculnya dua faksi Yanukovich dan Yushchenko.
Yanukovich berupaya meneruskan visi politik yang sudah dijalankan oleh Presiden Leonid Kuchma dan memperkokoh hubungan dengan Rusia. Sementara Yushchenko menawarkan pembaharuan demokratisasi Ukraina dan cenderung lebih menginginkan integrasi dengan Eropa. Kedua visi ini terus berjalan hingga di era kepemimpinan Zelenskyy saat ini. Zelenskyy yang melanjutkan visi Yushchenko harus berhadapan dengan kepentingan Rusia.
Namun di sisi lain, perbedaan prinsip ini juga memunculkan pendukung militan dari masing-masing kubu. Sebagian warga yang berada di wilayah Ukraina barat memilih bekerja sama dengan Uni Eropa, sebagian lainnya yang bermukim di wilayah Ukraina timur memilih berkolaborasi dengan Rusia. Dampak dari situasi ini adalah pertikaian dan kekerasan antarwarga Ukraina. Ditambah dukungan kekuatan besar dari luar, potensi konflik dapat menjerumuskan warga Ukraina ke dalam pertikaian abadi.
Sebagaimana serangan Rusia akhir-akhir ini, konflik antarwarga berdampak pada kehidupan masyarakat Ukraina. Sejak 24 Februari 2022 hingga 6 Maret 2022, Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB mencatat sudah ada 1.207 korban warga sipil yang menjadi korban konflik bersenjata. Sebanyak 406 orang tewas dan 801 orang terluka.
Sebelumnya, konflik Crimea pada 2014 juga mengakibatkan lebih dari 14.000 orang meninggal dunia, termasuk 3.000 warga sipil. Selain itu lebih dari 7.000 warga sipil mengalami luka-luka, sementara 1,5 juta warga lainnya mengungsi.
Baca juga: Zelenskyy Akan Tetap Berada di Kiev Mempertahankan Ukraina
Melihat besarnya pengaruh asing dalam pusaran konflik Ukraina sudah selayaknya negara dan lembaga yang berkepentingan seperti AS, NATO, Uni Eropa, serta Rusia turut bertanggung jawab untuk mengakhiri perpecahan rakyat Ukraina.
Dialog perdamaian di antara negara-negara tersebut dapat digagas untuk menumbuhkan bibit persatuan bangsa. Bagaimanapun juga bangsa Ukraina berhak untuk hidup damai dan menikmati kebebasan seperti bangsa-bangsa lainnya di dunia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Jutaan Warga Sipil Tertahan, Rusia dan Ukraina Saling Tuding