Menjaga Peran PKL Sebagai Penjaga Marwah Malioboro
Kawasan wisata Maliboro kian tertata rapi setelah ribuan PKL direlokasi di Teras Malioboro. Namun seiring relokasi, Malioboro juga terlihat sepi.
Pedagang kaki lima atau PKL merupakan bagian fungsional dari identitas Malioboro. Karena itu, penataan PKL harus selalu mengedepankan eksistensi pedagang yang sudah sekian lama turut merawat kawasan bersejarah di Yogyakarta tersebut.
Keterkaitan pedagang kaki lima dengan Malioboro tersebut diungkapkan oleh budayawan YB Mangunwijaya (alm) pada 1973. Malioboro bukanlah sebuah ”jalan” seperti kawasan kota-kota lain, melainkan ”alun-alun” yang dimiliki seluruh warga, bukan hanya orang kaya.
Kedekatan identitas pedagang dan kawasan Malioboro itu juga tidak dapat dilepaskan dari sejarah lahirnya kawasan perniagaan Malioboro yang sebaya dengan pembangunan Keraton Yogyakarta yang didirikan pada 1757.
Melihat fungsinya, kawasan Malioboro merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian Kota Yogyakarta dari masa ke masa. Ketika era kolonial Belanda, didirikan Benteng Vredeburg (1790) yang berseberangan dengan Java Bank dan kantor pos. Dibangun juga Dutch Club (1822) yang sekarang bernama Gedung Societet di lingkungan Taman Budaya Yogyakarta.
Bangunan penting lain adalah The Dutch Governor’s Residence (1830) yang sekarang dikenal sebagai Gedung Agung atau Istana Kepresidenan Yogyakarta. Bangunan lain adalah kawasan pertokoan dan Pasar Beringharjo yang menjadi penanda bahwa Malioboro adalah wilayah pusat kegiatan pemerintahan dan perekonomian.
Seiring dinamika perkembangan kota dan banyaknya wisatawan yang berkunjung, perwajahan kawasan Malioboro mulai banyak dijejali pedagang kaki lima. Makin lama jumlah pedagang semakin banyak memenuhi bagian depan pertokoan, baik di sisi barat maupun timur jalan. Tidak heran jika salah satu wacana penataan kawasan Malioboro adalah juga soal menata PKL.
Penataan terbaru dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta pada Januari 2022. Sebanyak 1.836 PKL dipindahkan ke dua lokasi yang sudah disiapkan, yaitu Teras Malioboro I yang berada di lahan bekas Bioskop Indra. Sementara Teras Malioboro II menempati lahan bekas Kantor Dinas Pariwisata DI Yogyakarta.
Peristiwa tersebut menandai babak baru penataan kawasan Malioboro. Sebab, selama puluhan tahun strategi penataan PKL berkutat pada penertiban, tidak sampai memindahkan tempat berjualan. Sebenarnya, upaya penataan PKL di kawasan legendaris ini bukanlah kabar baru, bahkan sudah ada sejak 1973.
Berita Kompas, 14 Maret 1973, berjudul ”Malioboro Bersih dari Pedagang Kaki Lima” mengabarkan pemindahan semua PKL Malioboro untuk sementara waktu. Tempat relokasi berada di Jalan Pabringan, sebelah selatan Pasar Beringharjo. Juga di ruas Jalan Sriwedari yang melintasi depan Taman Budaya Yogyakarta hingga Shopping Center dengan kios-kios pedagang bukunya.
Pemindahan PKL Malioboro saat itu dilakukan dalam rangka memperlancar proyek pelebaran Jalan Malioboro untuk kendaraan bermotor. Setelah proyek selesai, PKL dipersilakan menempati lokasi seperti sediakala. Mereka membuka lapak di depan pertokoan Malioboro.
Tercatat pada periode kemerdekaan, yaitu sejak 1945 hingga era 1980, sudah lima kali kawasan Malioboro dipersolek oleh Pemkot Yogyakarta. Ini artinya wajah Malioboro sudah diupayakan untuk ditata ulang puluhan kali, mulai dari penertiban lahan parkir, penyediaan sarana dan prasarana pendukung, hingga pemindahan PKL.
Marwah
Secara khusus, salah satu kebijakan penataan yang menyasar PKL tercatat dilakukan pada 1987. Aturan ini tertuang dalam surat keputusan Wali Kota Yogyakarta, 7 Agustus 1987. Aturan tersebut berisi penertiban PKL yang tidak mengantongi izin dagang dan penggunaan tempat di sepanjang Malioboro.
Kelompok pedagang yang ditertibkan karena tidak berizin umumnya menjajakan lukisan, jasa lukis wajah, serta barang suvenir di emperan toko. Penertiban perlu dilakukan karena jumlah PKL semakin membengkak, mencapai 535 pedagang pada 1992.
Penertiban PKL ini kian lama makin mudah ditemukan pada tahun-tahun berikutnya. Jumlah PKL yang terus bertambah membuat pemerintah selalu berupaya menertibkan lapak para pedagang.
Saat ini, jumlah PKL yang diboyong ke Teras Malioboro I dan II lebih dari 1.800 pedagang. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam 30 tahun terakhir populasi PKL bertambah empat kali lipat. Itu belum termasuk PKL yang tidak terdaftar dan pedagang keliling asongan.
Mulai 1 Februari 2022, semua PKL di Malioboro tersebut harus angkat kaki dan memboyong dagangan mereka ke Teras Malioboro. Ini menjadi penanda dimulainya wajah Malioboro tanpa PKL. Pemindahan PKL adalah satu langkah yang diambil Pemerintah Daerah DIY untuk mengupayakan status warisan budaya.
Salah satu agendanya adalah mengajukan kawasan sumbu filosofis sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO. Sumbu filosofis yang dimaksud ialah jalur Tugu Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.
Malioboro termasuk di dalamnya sebagai sumbu penghubung antara Tugu Yogyakarta dan Keraton Yogyakarta. Karena keberadaan sumbu filosofis tersebut, kawasan Malioboro harus ditata rapi dan memperlihatkan ”keaslian” wujud bangunan sebagai kawasan warisan budaya.
Baca juga: Jelang Penggunaan Gedung Teras Malioboro I
Manfaat yang ingin dipetik adalah wisata Yogyakarta akan makin dikenal masyarakat dunia. Sebagai contoh, ketika Candi Prambanan masuk dalam situs cagar budaya UNESCO pada 1991, kunjungan wisatawan yang semula 1 juta pengunjung per tahun menjadi 3,5 juta pengunjung.
Faedah lain, bisa jadi mendapat dana bantuan untuk merawat situs yang terdaftar dalam warisan dunia, seperti yang pernah diterima Candi Borobudur. Apabila tujuan Pemda DIY tercapai, kunjungan wisatawan ke Yogyakarta, khususnya Malioboro, dapat meningkat. Jika diandaikan demikian, kepindahan PKL ke lokasi baru merupakan sebuah kontribusi besar untuk tujuan lebih baik.
Ruang publik
Merujuk Laporan Kunjungan Wisata Kota Yogyakarta 2020, Malioboro termasuk satu dari sembilan sentra belanja yang diunggulkan Pemkot Yogyakarta. Popularitas destinasi tersebut pastilah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan PKL di sepanjang Malioboro.
Barang-barang kerajinan khas, suvenir kaus, hingga makanan khas dengan harga terjangkau menjadi daya tarik Malioboro bagi semua kalangan. Tidak semua wisatawan yang datang di Yogyakarta bisa menikmati atau membeli beragam produk yang dijual di mal ataupun toko-toko dengan harga lebih mahal.
Keberadaan ekonomi kaki lima ini turut merawat keterjangkauan Malioboro bagi berbagai lapisan masyarakat. Dalam pandangan budayawan dan arsitek YB Mangunwijaya, relasi antara PKL dan kawasan Malioboro dapat digambarkan sebagai simbiosis yang harus dipertahankan. Pemikiran Romo Mangun tentang PKL Malioboro tertuang dalam artikel ”Pedagang K-5 Harus Dipertahankan di Malioboro” (Kompas, 31/8/1973). Buah pemikiran Romo Mangun masih relevan hingga kini dalam konteks perebutan fungsi ruang di Malioboro yang sudah bergulir sejak puluhan tahun.
Oleh Romo Mangun, Malioboro dipandang sebagai wahana bercengkerama antarmanusia yang hadir dari banyak daerah. Pada era 1970-an terjadi motorisasi besar-besaran sehingga ada perebutan ruang antara ruas jalan untuk kendaraan bermotor dan pejalan kaki di Malioboro. Ketidaknyamanan ini tentu mengikis marwah Malioboro sebagai tempat bersantai dan berinteraksi serta sarana ruang publik bagi masyarakat luas.
Penataan ruang kota di Malioboro saat ini sudah semakin banyak memberi ruang gerak bagi pedestrian. Ditambah agenda car free night (malam tanpa kendaraan bermotor) pada waktu-waktu tertentu, kehidupan Malioboro diharapkan lebih banyak menjadi ruang sosial bagi masyarakat.
Baca juga: Babak Baru Malioboro
Namun, melihat sejarah dan marwah keberadaan PKL di Malioboro, relokasi yang dilakukan juga diharapkan dapat dimaksimalkan untuk tetap dapat menopang identitas kawasan Malioboro sebagai ruang publik. Kawasan khusus para pedagang tersebut harus juga diberi tempat bukan saja sebagai tempat berbelanja semata, melainkan juga media bertemunya seluruh insan manusia dan produk budaya yang dihasilkannya.
Tanpa akses menjadi ruang publik yang luas, relokasi PKL dikhawatirkan akan sekadar menjadi tempat bertemunya pedagang dan pembeli. Jika itu yang terjadi, dialektika antarwarga dalam bentuk cengkerama dapat terkikis dari wajah baru Malioboro yang kian sunyi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Isu Laten Wisatawan Tertipu Harga Kuliner di Malioboro