SURABAYA, KOMPAS — Setelah sukses meraih penghargaan Learning City di Cork, Irlandia, beberapa waktu lalu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini kembali membidik penghargaan The Lee Kuan Yew Award 2017. Lee Kuan Yew Award merupakan penghargaan bergengsi berkelas internasional untuk kota berprestasi dunia.
Saat menerima tim juri Lee Kuan Yew Award yang dipimpin Larry Ng selaku Direktur Grup Arsitektur dan Urban Design Excellence (AUDE), Urban Redevelopment Authority (URA), didampingi M Wong Mun Summ, Prof Wolf Daseking, dan Roslinah Bohari di Balai Kota Surabaya, Senin (25/9), Risma telah mempersiapkan presentasi yang digarap bersama seluruh satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) di lingkungan Pemkot Surabaya.
Dalam paparannya, Risma menjelaskan berbagai macam program yang sudah dilakukan seluruh pemangku kebijakan, mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk saat melakukan pembangunan perkampungan di Surabaya. Di kota dengan luas wilayah sekitar 333 kilometer persegi ini, hampir 60 persen di antaranya merupakan perkampungan yang selalu diidentikkan dengan kondisi kumuh, kotor, dan warganya tidak berpendidikan. Penilaian negatif ini secara terus-menerus dikikis oleh Risma dengan melibatkan warga dengan mengubah dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa kampung bisa menjadi lebih bersih, aman, nyaman, dan tertata ke depan.
Atas kerja sama yang luar biasa mendapat dukungan dari warga, hampir semua kampung di Surabaya, antara lain Kampung Malang, Kampung Kaliasin, dan Kampung Ketandan, kini tertata rapi. Tak cuma bersih, tetapi juga sangat nyaman karena hampir semua rumah memiliki tanaman meski di dalam pot. Warga pun tak sekadar memproduksi sampah, tetapi juga berlomba melakukan pembenahan di kampung masing-masing dengan membuat ciri khas yang berbeda dengan kampung lain.
Kini bahkan muncul banyak tema kampung di Surabaya, seperti kampung ilmu, kampung kue, kampung pendidikan, kampung bordir, kampung batik, kampung lontong, dan kampung ramah lingkungan. Di kampung pendidikan, misalnya, masyarakat setempat menyepakati bahwa pada waktu belajar, televisi tidak boleh menyala. ”Tujuannya supaya konsentrasi anak-anak tidak terpecah saat belajar dan kesepakatan ini bisa diterapkan dan mampu dikontrol oleh masyarakat setempat,” kata Risma.
Disampaikan pula tentang kampung ramah lingkungan. Menurut dia, warga yang ada di perkampungan Surabaya sebagian besar mampu mengelola sampah secara mandiri, dengan mengubah sampah organik menjadi kompos untuk menanam tanaman. ”Tidak hanya itu, warga juga mengolah sampah kering yang mana hasil penjualannya mencapai 72 juta per bulan,” ujar ibu dua anak ini.
Mencintai bahasa dan matematika
Adapun Rumah Bahasa dan Rumah Matematika, yang dapat dijumpai di Kompleks Balai Pemuda, mendorong masyarakat lebih mencintai pelajaran bahasa dan matematika. Rumah Bahasa merupakan contoh konkret peran aktif relawan yang bersedia mengajarkan bahasa kepada masyarakat. Relawan bahasa ini datang dari kalangan mahasiswa, akademisi, ataupun konsulat jenderal negara-negara sahabat. Kini, tak kurang dari 13 bahasa dapat dipelajari di Rumah Bahasa secara gratis.
Adapun Rumah Matematika menawarkan konsep belajar dengan cara yang menyenangkan, diselingi dengan beragam permainan, sehingga matematika kini tak lagi menakutkan bagi anak-anak.
Selain itu, guna mendorong minat baca masyarakat, pemkot membangun taman baca masyarakat (TBM) dan perpustakaan yang dapat dijumpai di balai RW dan taman kota. TBM dan perpustakaan dapat dijumpai di 1.500 lokasi yang tersebar di seluruh penjuru kota.
Sementara Broadband Learning Center (BLC) yang ada di 50 lokasi dapat dimanfaatkan warga untuk belajar mengenai komputer dan internet. BLC sering dimanfaatkan ibu-ibu pelaku UKM untuk memasarkan produk mereka secara daring. Meski demikian, pelajar sekolah juga tak mau ketinggalan memanfaatkan BLC untuk meningkatkan skill mereka di bidang teknologi informasi.
Paling anyar adalah program Pemkot Surabaya untuk menyejahterakan warga dengan melengkapi sarana pendukung, yakni membangun co-working space bernama ”Koridor” yang berada di pusat kota, tepatnya di lantai 3 Gedung Siola Jalan Tunjungan. Tempat ini disediakan bagi pelaku industri kreatif dan usaha rintisan Surabaya untuk berdiskusi dan berkarya lebih jauh. Pada waktu-waktu tertentu, Koridor juga digunakan oleh Google untuk memberikan pelatihan tematik.
Tak hanya secara wacana, Pemkot Surabaya juga memberikan bekal bagi pelaku usaha secara gratis. Melalui program Pejuang Muda dan Pahlawan Ekonomi, warga bisa mengakses pelatihan sebagai bekal memulai bisnis sendiri yang dimulai dari rumah sendiri. Program tersebut rutin digelar di Kapas Krampung Plaza (Kaza) setiap Sabtu dan Minggu mulai pukul 10.00.
Konsep belajar diterapkan kepada seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali mereka dengan kebutuhan khusus. Di Pondok Sosial Kalijudan, anak-anak berkebutuhan khusus mendapat bekal pelatihan sesuai minat dan bakat. Mayoritas anak-anak di sana menggemari pelatihan melukis. Berkat pelatihan dan pendampingan rutin, mereka mampu menghasilkan lukisan-lukisan berkualitas. Tak jarang lukisan mereka dipamerkan di sejumlah galeri dan harga jual lukisan tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, mereka mampu memperoleh penghasilan dari hasil lukisan tersebut.
Seusai mendengarkan presentasi dari Risma, Larry Ng mengucapkan terima kasih kepada pemkot karena diterima dengan baik dan sudah mendengarkan kemajuan Kota Surabaya dari segala bidang. ”Apa yang sudah dilakukan untuk Surabaya sungguh sangat luar biasa. Kerja yang bagus dan mampu dipercaya,” ucap Larry seusai mendengarkan presentasi Wali Kota.
Selanjutnya, rombongan juri langsung meninjau beberapa lokasi, antara lain Gedung Siola tempat UPTSA, Comand Center Room, Puspaga dan Coworking Space, lalu Kampung Lawas Maspati serta Kampung Gundih.