Pontang-panting Persiapkan Biaya Sekolah Anak
Pendidikan adalah salah satu kunci membuka pintu peluang ke masa depan. Untuk itu, harus dipersiapkan sebaik-baiknya.
Filsuf besar dunia Aristoteles menyebut pendidikan sebagai bekal terbaik bagi perjalanan hidup manusia di dunia. Banyak orangtua menyikapi serius hal itu. Dengan segala keterbatasan, mereka berupaya menyediakan bekal pendidikan terbaik hingga kerap harus pontang-panting.
Saat ditemui di rumah kontrakannya di Tangerang Selatan, Banten, Jumat (2/2/2024), M Yusuf (47), pengemudi ojek daring, menceritakan berbagai usaha kerasnya demi menyediakan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Ayah empat anak ini memang sempat hampir putus asa, terutama saat pertengahan tahun lalu anak sulungnya, M Syahrir (17), meminta melanjutkan kuliah setamat sekolah kejuruan.
”Pendapatan dari narik ojol serba tidak pasti. Rata-rata seharian narik sampai malam dapatnya sekitar Rp 100.000. Paling separuh yang bisa dibawa pulang untuk kebutuhan rumah sehari-hari. Separuh lagi untuk bensin dan keperluan narik lainnya,” ujar Yusuf.
Meski di rumah petak kontrakannya sang istri ikut bantu-bantu berjualan barang kelontong, pendapatan dari warung kecil keluarga Yusuf itu tidaklah seberapa. Hanya cukup untuk makan sehari-hari. Meski begitu, Yusuf mengaku tak kuasa dan terenyuh saat si sulung menyatakan ingin terus kuliah.
”Kalau aku cuma ijazah SMK, aku bisa melamar kerja apa? Paling-paling jadinya kerja seperti Ayah, jadi driver ojol. Sementara aku mau bantu keluarga dengan cari pekerjaan lebih menjanjikan,” begitu ujar Yusuf menceritakan lagi percakapannya dengan si sulung. Matanya berkaca-kaca.
Selama ini, Yusuf memang kerap kesulitan membiayai sekolah tiga anaknya. Anak kedua, Syahida (12), sebentar lagi akan lanjut ke jenjang SMP, sementara anak ketiganya, Syahprilia (11), juga masih sekolah. Hanya si bungsu, Syahara (2), yang belum bersekolah.
Yusuf kerap terlambat membayar uang sekolah, terutama uang sekolah si sulung saat masih duduk di sekolah kejuruan. Namun, dia juga tak gengsi untuk datang ke sekolah dan berupaya meminta keringanan, bahkan jika dia harus menandatangani surat jaminan bermeterai akan melunasi tunggakan SPP itu.
Saat Syahrir dinyatakan lulus tes masuk Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Yusuf segera mengurus surat keterangan tak mampu. Dengan bekal surat itu, dia mendapat keringanan, hanya membayar uang kuliah Rp 4,5 juta per semester.
Walau mendapat keringanan, bagi Yusuf, membayar jumlah nominal itu masih terbilang berat. Untuk membayar uang semester pertama, Yusuf dan istri, Nurhayati (40), terpaksa merelakan cincin kawin emas mereka, yang hanya beberapa gram beratnya, untuk dijual. Namun, dia tak menyesal dan berharap banyak kepada anak sulungnya.
”Saya enggak berani pinjam uang, apalagi ke pinjol (aplikasi pinjaman daring), seperti sering diajari beberapa teman driver. Mau bayar pakai apa? Bunganya juga tinggi. Ada sebetulnya pinjaman dari aplikasi (ojek daring) dengan cara pengembalian yang terjangkau, tapi plafonnya hanya Rp 2 juta,” ujar Yusuf.
Baca juga: Seksinya Bisnis untuk Pemakan Tumbuhan
Di tengah segala keterbatasan, dia hanya berharap pemerintah bisa konsisten membantu warga dan siswa kurang mampu seperti dirinya. Kalaupun ada fasilitas bantuan dana pendidikan, Yusuf meminta alokasinya benar-benar diawasi dan bisa tepat sasaran sehingga warga seperti dirinya bisa merasa diperhatikan.
”Jangan sampai ada titipan atau penyelewengan. Saya sangat berharap anak-anak saya nanti bisa bernasib lebih baik dari saya lewat pendidikan,” ujarnya singkat.
Terjerat pindar
Lain Yusuf, lain pula Bintang. Pengajar di salah satu lembaga pendidikan di kawasan Kebayoran, Jakarta, itu merasa sangat menyesal karena terjerat pindar (pinjaman daring atau dikenal dengan pinjol). Gara-garanya, dia harus menyediakan dana Rp 30 juta untuk biaya sekolah anaknya ke jenjang SMA.
Pindar ketika itu seolah menjadi pilihan paling memungkinkan untuk diambil walau belakangan dirinya menyesal. Pinjaman daring memang terbilang mudah, tanpa perlu jaminan atau prosedur berbelit-belit. Akan tetapi, bunga pinjamannya yang tinggi membuat orang semakin terjerat.
Apalagi, ketika itu Bintang sampai mengajukan pinjaman ke setidaknya lima aplikasi pindar. Namun, sekarang Bintang keblangsak harus mengangsur utang.
Ia terpaksa gali lubang tutup lubang, menghubungi teman- temannya untuk meminjam uang demi bisa menutup utang- utangnya. Masalahnya, persoalan lain muncul. Pihak manajemen perusahaan tempat Bintang bekerja tak menyukai karyawannya berutang sana-sini, apalagi sampai terjerat pindar.
Saat bertemu di pinggir jalan yang terbilang ramai, Bintang juga tampak gelisah dan berhati-hati saat bercerita lantaran khawatir ada orang lain yang mendengar. Jika sampai ketahuan kantornya, Bintang terancam bernasib sama dengan salah seorang temannya yang telah dipecat lantaran ketahuan kerap berutang, termasuk kepada rekan-rekan di kantor.
Kini Bintang tengah berupaya melunasi utang-utangnya, baik kepada pihak pindar maupun teman dekatnya. Salah satunya dengan menggadaikan properti kecil miliknya yang kini tengah menunggu persetujuan dari pihak perbankan.
Berburu sekolah terbaik
Upaya pasangan suami istri Paulus Saring (58) dan Elisabeth Tiodor Situmorang (47) tak kalah keras saat bercerita tentang pengalaman mengantar anak semata wayang mereka, Iwell Nalendro, menggapai sekolah impian.
Saring, yang sehari-hari bekerja sebagai terapis pijat tunanetra untuk penyembuhan alternatif, sejak lama bercita-cita menyekolahkan anaknya ke SMA Pangudi Luhur Van Lith di Muntilan, Jawa Tengah. Bagi Saring, sekolah itu adalah sekolah dengan pendidikan agama Katolik terbaik.
Sebagai seorang pemijat tunanetra, tarif memijatnya Rp 150.000-Rp 200.000. Jika sedang ramai, dalam sehari klien yang datang bisa empat orang. Beberapa dokter juga menjadi pelanggannya.
Pendapatan Saring tak menentu. Karena itu, dia membiasakan diri dan keluarganya hidup berhemat sambil terus rajin bekerja. Saat mengantar sang anak ke Muntilan untuk ikut ujian masuk, Saring memilih menggunakan angkutan umum bus dari Jakarta dan mencari penginapan terjangkau.
Beruntung, ada satu rumah tak jauh dari sekolah tujuan ternyata menyewakan kamar-kamar sederhana bagi para keluarga dan peserta tes yang kurang mampu. Pemiliknya seorang pensiunan kepala sekolah yang paham setiap tahun akan ada keluarga-keluarga seperti Saring yang memerlukan tempat menginap murah.
Sambil menunggu anaknya mengikuti ujian masuk selama dua hari, 19-20 Januari, Saring juga coba menyambut rezekinya. Kepada pemilik rumah, dia bercerita punya keahlian memijat. Beruntung, saat itu keluarga besar pemilik tengah menggelar acara kumpul-kumpul reuni.
Bisa disiapkan
Berbagai kesulitan yang biasa dihadapi para orangtua, terutama dalam menyiapkan biaya pendidikan bagi anak-anaknya, adalah hal yang kerap terjadi dan berulang. Perencana keuangan independen Ike Noorhayati Ham menyebut, kebutuhan seperti itu seharusnya bisa diantisipasi karena dapat diprediksi.
”Bisa diketahui bahwa rata- rata anak masuk TK misalnya usia 5 tahun, SD 7 tahun, SMP 13 tahun, SMA 16 tahun, dan kuliah 19 tahun,” ujarnya.
Baca juga: Oma Pun Kepincut Jadi Vegan
Dengan anggapan uang sekolah harus tersedia setahun sebelumnya, maka ketika memiliki buah hati, sudah menjadi hak anak alias kewajiban orangtua menyiapkan dana sekolah per jenjang saat anak usia 4 hingga 18 tahun. Prinsipnya sesederhana itu.
”Lantas bagaimana mengaturnya? Pisahkan alokasi tiap jenjang dan anak dalam berbagai tempat yang berbeda,” tutur Ike. Ia mencontohkan, jika orangtua memiliki satu anak berusia 10 tahun, kuliahnya masih delapan tahun lagi. Jika anak memiliki peminatan tertentu, persiapan bisa langsung dilakukan untuk menyediakan uang masuk di tempat kuliah tujuannya.
Jika tidak, gunakan rata-rata uang masuk kuliah di berbagai perguruan tinggi, kemudian tambahkan nilai inflasi per tahun selama interval yang diperlukan. ”Untuk kuliah di Indonesia, perhitungkan inflasi biaya pendidikan setidaknya sekitar 10 persen per tahun,” katanya.
Besaran biaya bisa dikumpulkan menggunakan instrumen keuangan yang lebih tinggi atau setidaknya memenuhi laju inflasi biaya pendidikan tersebut. Jika kampus yang dituju saat ini menetapkan uang masuk Rp 50 juta, target uang masuk kuliah yang diperlukan delapan tahun mendatang adalah Rp 70 juta.
Ike mengingatkan, apa yang dia sampaikan ini untuk pendidikan berbiaya relatif tinggi dan mungkin relevan untuk mereka yang punya ruang fiskal keluarga cukup leluasa. Sementara dalam spektrum lebih luas, peran negara tetaplah sangat signifikan untuk menyediakan pendidikan layak bagi semua warga negaranya.