Berbunga-bunga Jadi Bapak Rumah Tangga
Menjadi bapak rumah tangga adalah pekerjaan dan peran mulia walau belum terlalu populer dan kerap dipandang sebelah mata. Sejumlah pelaku berbagi cerita tentang itu.

Andylala Waluyo (49) tengah memasak bekal makan siang putra bungsunya, Mikail (10). Bento makan siang itu juga akan dia antarkan ke sekolah si bungsu. Sebagai bapak rumah tangga, Andylala terbiasa mengerjakan beragam tugas rumah di apartemen keluarga mereka di Tokyo, Jepang.
Pilihan seorang suami terlibat dalam urusan domestik merupakan hal yang membanggakan. Istri leluasa mengejar cita-cita, anak terurus, keluarga pun bahagia. Seperti mereka ini, tak perlu minder karena semua pekerjaan rumah perlu diselesaikan bersama dengan sukarela dan hati berbunga.
Lagu ”Money” band rock progresif Inggris, Pink Floyd, terdengar dari salah satu unit di lantai enam apartemen kediaman Andylala Waluyo (49), istri, dan anak bungsunya. Wajah pria penggemar band-band rock klasik itu serius sambil menumis sayuran untuk bento bekal makan siang si bungsu di sekolahnya.
Kegiatan membuat dan mengantar bekal makan siang ke sekolah adalah salah satu hal rutin yang dilakukannya sejak merantau ke Jepang. Lima tahun lalu, dia menyusul sang istri, Sri Lestari (46), yang bekerja di salah satu perusahaan media di sana.
Kedua anak mereka juga ikut, Arkananta Damareswara alias Adam (17) dan Arvirendra Mikail Dewangkara alias Mikail (10). Adam beberapa tahun lalu kembali ke Tanah Air untuk melanjutkan studi, sementara si adik tetap bersama ayah bundanya.
”Yang penting ada nasi, sayuran, dan lauk. Biasa gue variasikan lauknya, bisa ikan atau ayam goreng tepung. Bisa dadar telur dengan tahu atau daging cincang. Untuk sayurannya, antara bayam, sup wortel, dan salad. Paling, ya, semua itu yang gue bisa masak. Ha-ha-ha,” ujarnya.
Andylala juga bersih-bersih rumah, mencuci, dan menyetrika. Itu biasa baginya, bahkan sejak masih bujangan. Makanya, ketika menikah, tak perlu ada semacam kesepakatan kaku siapa melakukan apa di rumah.
Aktivitas menjadi bapak rumah tangga juga sangat dinikmati Mirza Idham Saifuddin (30), pengusaha sekaligus konsultan pendidikan asal Nganjuk, Jawa Timur. Sejak awal menikah dan belum ada anak, pria jago masak ini kerap membantu sang istri, Aldilia (29), di rumah.
Ketika istrinya studi S-2 setahun penuh di Universitas Warwick, Inggris, tahun lalu, Mirza mengurus segala pekerjaan rumah, termasuk merawat dan mengajak bermain putri mereka, Aira (4). Dengan begitu, Mirza berharap sang istri bisa fokus belajar.
Mirza paham kalau menjadi bapak rumah tangga seperti itu masih belum populer, terutama di kalangan masyarakat Indonesia, yang masih menganut sistem patriarki. Dia sendiri dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan perkerabatan yang masih seperti itu.
Padahal, baginya pekerjaan macam mengantar jemput anak sekolah sangat menyenangkan. Sayangnya, banyak orang berpikir marwah laki-laki hanya sebagai pemberi nafkah dan bukan mengurus dapur.

Foto dokumentasi keluarga Andylala Waluyo (49), diaspora Indonesia di Tokyo, Jepang, tengah makan bersama sang istri, Sri Lestari (46), dan kedua anak mereka, Arkananta Damareswara alias Adam (17) dan Arvirendra Mikail Dewangkara alias Mikail (10).
”Semua itu seharusnya juga tergantung kondisi. Mendukung keluarga, kan, tak harus dengan materi, tapi juga bisa terlibat dalam berbagai urusan,” ucapnya.
Sebagai istri, Aldilia bahagia, merasa lebih dihargai, dan terbantu oleh keputusan suaminya menjadi bapak rumah tangga. Dia juga tak ragu untuk berkomunikasi secara asertif ke suami, termasuk meminta bantuan Mirza mengurus anak saat dirinya sakit atau mendapat tawaran kerja di luar kota.
Secara terpisah, Endang Budiman (48), warga Bekasi, Jawa Barat, mengaku sangat terbantu dengan keputusan sang suami mengambil peran aktif mengurus pekerjaan rumah tangga. Awalnya, menurut Endang, sang suami, Benny, bekerja di perusahaan telekomunikasi yang mengharuskannya rutin bepergian ke banyak tempat di luar kota.
Saat anak mereka lahir, sang suami memutuskan berhenti dan bekerja sendiri secara paruh waktu dari rumah. Kebetulan, tambah Endang, suaminya juga seorang yang ringan tangan, resik, sangat menjaga kebersihan, dan perfeksionis. ”Kalau menyeterika dan melipat baju dia malah jauh lebih rapih lho daripada saya. Ha-ha-ha,” seloroh Endang.
Keyakinan bersama
Anna Surti Ariani, psikolog klinis yang juga ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia wilayah Jakarta, menekankan pentingnya kesepakatan serta keyakinan bersama pasangan. Mereka, menurut Anna, harus yakin terlebih dulu keputusan suami menjadi bapak rumah tangga memang diperlukan dan menguntungkan.
Langkah awal tadi penting agar semua pihak tak lagi bingung saat ada pihak luar mempertanyakan atau mempersoalkan hal itu. Menurut Anna, tantangan akan selalu ada, apalagi jika mengingat bahkan di negara semaju Amerika Serikat pun keberadaan househusband masih memicu pro dan kontra.
”Bahkan, di negara semodern mereka, keberadaan househusband masih belum dianggap sebagai sesuatu yang normal. Dalam lingkungan patriarki, pria masih dianggap breadwinner (pencari nafkah). Akibatnya, kehadiran househusband bisa memicu stigma yang berujung diskriminasi. Seorang bapak rumah tangga kerap menghadapi sikap yang mempertanyakan kelelakian mereka,” tutur Anna.
Dengan mempersiapkan diri menghadapi semua kemungkinan tersebut, tambah Anna, pasangan suami istri diharapkan bisa solid. Dia juga menyarankan suami dan istri perlu membahas detail bagaimana kalimat yang pas untuk mereka sampaikan jika ada anggota keluarga atau orang lain mencemooh.

”Dengan begitu, mereka bisa dengan gagah menghadapi dan menjawabnya,” ujar Anna.
Pengalaman tak mengenakkan terkait masih adanya pandangan miring terhadap peran bapak rumah tangga kerap terjadi. Salah satunya dialami Fikri Hadi (37), aparatur sipil negara di Markas Besar Kepolisian RI, saat dia tinggal di luar negeri mengikuti istrinya yang seorang diplomat.
Satu saat, dia bersama istri hadir dalam acara makan malam di pertemuan dinas kantor istrinya. Oleh karena dalam suasana dinas, keluarga diplomat yang hadir ditempatkan terpisah dari para staf lain dan pimpinan. Fikri merasa tersinggung dan memutuskan tak ikut acara itu lalu pergi ke tempat lain.
Awal pindah ke sana Fikri juga kerap dipandang aneh, terutama oleh sebagian komunitas masyarakat Indonesia sendiri. Mereka, menurut Fikri, seolah tak biasa menemui seorang suami yang berperan sebagai bapak rumah tangga. Dirinya juga kerap menerima ucapan dan perlakuan kurang nyaman.
Padahal, Fikri sejak awal bersedia cuti tanpa gaji dan tunjangan dari kantornya selama tiga tahun demi bisa ikut sang istri dan menjaga anak mereka. Kepada sang istri, Fikri di awal-awal sebelum berangkat hanya minta supaya harga dirinya sebagai lelaki dan kepala rumah tangga terjaga. Sang istri menyanggupinya.
Adapun Mirza dan Aldilia tak mau ambil pusing tentang pandangan negatif tersebut. ”Orang-orang yang mengeluarkan komentar negatif itu sebenarnya sedang memproyeksikan hidup mereka sendiri. Mungkin mereka penginpunya suami yang mendukung,” kata Aldilia.
Herpin Arbono (46), warga Ciledug, Tangerang Selatan, juga demikian. Pegawai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang berdinas di Serang, Banten, itu sudah terbiasa berbagi tugas rumah tangga dengan istrinya yang juga bekerja kantoran. Menyiapkan sarapan, menjerang air, mencuci dan menjemur baju sudah biasa dilakukan bergantian sejak mereka berdua menikah pada 2007.
”Enggak menurunkan harga diri atau menjatuhkan martabat juga. Justru, pride (kebanggaan) saya naik. Walau katanya pamali, saya cuek saja. Paling penting saya dan istri rukun dan rumah tangga lancar,” ujar Herpin sambil tersenyum.
Pro-kontra tentang bapak rumah tangga juga muncul di dunia maya. Pemilik akun media sosial yang juga social media strategist, Eno Bening, menyebut topik itu mengundang pro-kontra saat dia mencuitkannya sepekan lalu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F25%2F1c6c1ad1-e923-45e0-a982-17606e5a52d9_jpg.jpg)
Bertza Pradipta mengepel setelah istrinya berangkat ke kantor dari rumah mereka di Jagakarsa, Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Menurut Eno, kebanyakan yang kontra menganggap bapak rumah tangga hanya alasan seorang suami pemalas yang enggan bekerja mencari nafkah. Ada juga yang menolak lantaran belum bisa menerima perempuan bisa bekerja di luar rumah atau lantaran ego kelelakiannya terlalu tinggi.
”Malah ada juga merespons dengan nulis, kalau dikasih kesempatan kerja kemungkinan selingkuh perempuan lebih besar dan malah akan menceraikan suaminya. Ngeri enggak, tuh. Kok, bisa ada yang berpendapat begitu. Kalau di istilah Twitter, orang kayak begitu mainnya kurang jauh,” ujar Eno per telepon, Kamis (24/2/2023) malam.
Psikolog klinis Anna yakin peran aktif suami, terutama saat menjadi seorang bapak rumah tangga, berdampak baik bagi proses tumbuh kembang anak. Ketika istri sibuk bekerja, bukan berarti membuat anak hanya diurus si bapak. Porsi keterlibatan seorang bapak justru menjadi sama dan berimbang dengan peran sang ibu.
Berbeda situasinya jika hanya ibu yang aktif membesarkan anak, sementara suami tak terlalu aktif lantaran sibuk di luar rumah. Jadi, dengan berperan sebagai bapak rumah tangga, keterlibatan sosok seorang bapak justru bisa sama dominan dengan peran sang ibu saat keduanya berupaya membesarkan anak bersama-sama.
Nah, jadi memang sudah sepatutnya para suami berbunga-bunga menjadi mitra istri meringankan beban rumah tangga.