Beban Antraks di Tengah Covid-19
Antraks masih menjadi endemi di sejumlah wilayah Indonesia. Endemi antraks terjadi di sebagian wilayah yang memiliki tingkat penularan Covid-19 tinggi.
Ketika penyakit Covid-19 mulai masuk ke Indonesia, ada wabah penyakit lain yang juga sama-sama mengancam, yakni antraks. Pada akhir Desember 2019, penyakit yang pernah mewabah di Indonesia tahun 1960-an ini muncul kembali di kawasan Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Endemi artinya sebuah penyakit berjangkit di suatu daerah tertentu atau di suatu golongan masyarakat tertentu. Endemi antraks secara nasional terpetakan di 14 provinsi. Sebagian dari provinsi endemi antraks kini mencatat tingkat penularan Covid-19 yang tinggi.
Di Pulau Jawa, daerah endemi antraks ialah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Adapun di Sumatera, endemi antraks terjadi di Sumatera Barat dan Jambi. Di pulau lainnya, antraks menjadi endemi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Barat, serta Nusa Tenggara Timur.
Menurut data per 23 Januari 2021 yang dipublikasikan laman Badan Nasional Penanggulangan Bencana, penularan Covid-19 paling banyak terjadi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
Wilayah pandemi Covid-19 yang juga menjadi kawasan endemi antraks semestinya mendapatkan perhatian khusus. Hal ini penting mengingat antraks merupakan satu dari 25 penyakit hewan menular strategis, yang mematikan serta mudah menular pada ternak.
Kasus antraks memang dapat muncul kapan saja dan berdampak mematikan. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang bisa membentuk spora. Spora ini bisa bertahan ratusan tahun di tanah karena tahan dalam kondisi lingkungan yang ekstrem dan sulit dimatikan dengan disinfektan biasa.
Kemampuan bertahan hidup spora tersebut menyebabkan pemberantasan atau pembasmiannya menjadi hal yang tidak mungkin. Karena itu, sebetulnya tidak ada negara yang bisa mengklaim bahwa wilayahnya sama sekali bebas dari antraks. Swedia, misalnya, mengalami kembali kasus antraks setelah 27 tahun tidak pernah terjadi.
Antraks merupakan penyakit yang harus diawasi karena dapat mengakibatkan kerugian ekonomi tinggi bagi petani peternak serta menuntut pengendalian yang berkesinambungan. Antraks juga bisa mengakibatkan kematian manusia.
Dalam kajian ilmiah Asih Rahayu, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, antraks di Indonesia (Hindia Belanda) pertama kali ditemukan di Teluk Betung, Lampung, tahun 1884. Antraks kemudian berlanjut ditemukan di Bali, Palembang (1885), Banten, Padang, Kalimantan Barat, hingga Kalimantan Timur (1886).
Pada 1906-1957, sejarah juga mencatat terjadinya epidemi pada sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi di 28 kota di Indonesia. Epidemi merupakan wabah penyakit menular yang berjangkit dengan cepat di daerah yang luas serta menimbulkan banyak korban.
Faktor lingkungan
Mengapa antraks masih terus terjadi di Indonesia? Hal ini tak lepas dari kurangnya pengetahuan masyarakat, budaya, ataupun impitan masalah ekonomi. Pada akhirnya, peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat, terutama mengenai dampak penyakit antraks, berperan besar dalam pemberantasan penyakit ini.
Boyolali pernah mengalami kejadian luar biasa (KLB) pada tahun 1990, dan kasus antraks terus terjadi pada 1992 sampai 2012. Laporan bertajuk ”Analisis Spasial Faktor Lingkungan Fisik Daerah Endemik Antraks” (Ira Abawi dan Arulita, HIGEIA Journal of Public Health Research and Development, 2019) menunjukkan, kondisi suhu dan curah hujan, vegetasi dan topografi Boyolali menjadi faktor yang membuat bakteri tahan pada lingkungan tersebut.
Sementara itu, wabah dipicu oleh kontaminasi dari bangkai hewan yang sebelumnya sudah terinfeksi, peristiwa alam (periode lama cuaca panas atau kering setelah hujan lebat dan banjir), atau timbulnya hujan setelah kekeringan lama.
Baca juga: Pukulan Telak bagi Peternak Rakyat
Aspek lain yang harus diperhatikan ialah perilaku masyarakat yang meningkatkan peluang infeksi antraks pada manusia. Banyak kasus bermula dari konsumsi daging hewan terinfeksi ataupun memakai produk dari hewan yang terkontaminasi.
Kasus KLB Boyolali (2011) menunjukkan sapi merupakan investasi utama warga untuk segala kebutuhan hidup. Praktik menyembelih sapi dalam kondisi sakit untuk kemudian dijual di lingkungan sekitar bukan hal baru di daerah itu.
Tak jarang hal ini diperparah lagi dengan ketidaktahuan masyarakat akan asal-usul daging, hingga tanda-tanda terkontaminasi. Akibatnya, banyak kasus terlambat dilaporkan pada instansi kesehatan yang ada.
Perilaku lainnya yang juga berbahaya ialah membuang bangkai atau mencuci jeroan hewan yang sakit di sungai sehingga terjadi penyebaran spora. Air dapat menjadi media penularan antraks.
Baca juga: Daging Tercemar Kuman, Layak atau Tidak?
Hasil penelitian menunjukkan, masih banyak warga menganggap antraks sebagai penyakit hewan, tetapi tak tahu penyebabnya. Banyak juga yang masih menyangka penyakit ini tidak menular pada manusia.
Pengobatan antraks dilakukan melalui terapi antibiotik. Ada empat bentuk antraks, yaitu antraks kulit (kutaneus), saluran pencernaan, paru-paru, dan meningitis. Komplikasi medis yang ditimbulkan antraks meliputi pendarahan hebat pada organ dalam dan berakhir dengan kematian.
Masyarakat harus waspada jika ada kasus ternak menunjukkan gejala terinfeksi atau mati mendadak. Menyembelih atau mengonsumsi daging hewan sakit pun dilarang, terutama kalau sudah menunjukkan tanda terserang antraks.
Jenis dan gejala
Kasus antraks di seluruh dunia diperkirakan berjumlah antara 20.000-100.000 kasus per tahun, sedangkan antraks pada manusia berkisar 2.000-20.000 kasus per tahun. Kematian terjadi pada manusia umumnya karena penyakit ini tak terdiagnosis dengan baik dan pengobatan dilakukan secara tidak tepat.
Hewan yang sakit tidak boleh dibawa keluar wilayah agar penyakit tidak menyebar ke daerah lain. Segala hal yang berkaitan dengan lalu lintas hewan, terutama perdagangan hewan di daerah itu, harus segera ditutup.
Harus ada penyelidikan kasus, vaksinasi, hingga karantina wilayah sampai tidak ada lagi gejala wabah. Pencegahan dan pengendalian selanjutnya bisa dilakukan lewat vaksinasi (hewan), mematuhi prosedur dan aturan dari pemerintah, serta memperkuat surveilans pada hewan dan manusia.
(LITBANG KOMPAS)