Vitamin C Optimalkan Penyerapan Zat Besi dalam Tubuh
›
Vitamin C Optimalkan...
Iklan
Vitamin C Optimalkan Penyerapan Zat Besi dalam Tubuh
Kekurangan zat besi bisa menghambat tumbuh kembang anak. Untuk mengoptimalkan penyerapan zat besi dalam tubuh, masyarakat dianjurkan mengonsumsi makanan ataupun minuman yang mengandung vitamin C.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi makanan ataupun minuman yang mengandung vitamin C dianjurkan untuk membantu penyerapan zat besi di dalam tubuh. Kurangnya asupan zat besi pada anak usia dini dapat menghambat tumbuh kembang, bahkan bisa berdampak pada masalah gizi di masa depan.
Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Sandra Fikawati di Jakarta, Senin (25/1/2021), menyampaikan, konsumsi makanan yang berasal dari lauk hewani, seperti daging merah dan daging unggas, sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan zat besi dalam tubuh. Selain itu, pemilihan jenis makanan tertentu perlu diperhatikan agar penyerapan zat besi bisa optimal.
”Kita juga perlu mengonsumsi makanan yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, terutama makanan yang tinggi mengandung vitamin C, seperti jeruk, kiwi, stoberi, dan jambu. Lebih baik dikonsumsi sebelum makan karena situasi asam dalam tubuh membuat zat besi lebih mudah diserap,” tuturnya.
Sebaliknya, Sandra menambahkan, konsumsi makanan ataupun minuman tertentu juga dapat menghambat proses penyerapan zat besi, seperti teh, kopi, dan cokelat, yang tinggi akan kandungan tanin. Karena itu, jika ingin mengonsumsi jenis makanan dan minuman tersebut, minimal 2 jam sebelum atau setelah makan. Minuman bersoda juga sebaiknya dihindari.
Pemenuhan zat besi terutama pada anak usia prasekolah penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Zat besi juga diperlukan untuk meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, meningkatkan kinerja kognitif, serta meningkatkan produktivitas secara fisik. Hal ini karena zat besi merupakan unsur utama dari hemoglobin yang berfungsi mengantarkan oksigen ke seluruh tubuh.
Kita perlu mengonsumsi makanan yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, terutama makanan yang tinggi mengandung vitamin C, seperti jeruk, kiwi, stoberi, dan jambu.
Apabila kekurangan zat besi, seorang anak akan mengalami anemia atau kadar hemoglobin yang rendah dalam tubuh. Dalam sehari, setidaknya anak berusia 1-3 tahun perlu mengonsumsi 7 miligram zat besi. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, jumlah anak balita yang mengalami anemia mecapai 38,5 persen. Ini meningkat dari tahun 2013 yang tercatat sebesar 28,1 persen.
”Anak yang mengalami anemia dapat dikenali dengan tanda dan gejala, antara lain, sulit konsentrasi saat belajar, produktivitas menurun, bagian bawah mata pucat, pandanganan sering berkunang-kurang, kuku dan telapak tangan pucat, serta sering lemah, letih, dan lesu,” kata Sandra.
Ia menuturkan, anak yang kekurangan zat besi dapat berakibat performa intelektual serta kognitifnya terganggu. Anak juga rentan mengalami gangguan pada perkembangan psikomotorik. Kekurangan zat besi di awal perkembangan pun dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel otak yang tidak dapat diperbaiki di kemudian hari.
Dalam jangka panjang, jika kondisi anemia yang dialami tak diatasi, hal itu bisa berlanjut sampai usia dewasa. Padahal, ketika usia dewasa, terutama pada perempuan, anemia bisa menyebabkan gangguan di masa kehamilan dan kelahiran. Anak yang dilahirkan pun bisa mengalami anemia serta kurang gizi.
Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) Netti Herawati menyampaikan, pandemi Covid-19 memperburuk kondisi gizi anak di Indonesia. Dari survei daring yang dilakukan oleh Hanna dan Olken pada 2020, ketahanan pangan keluarga menurun akibat pandemi. Seridaknya 36 persen dari responden pada survei tersebut menyatakan telah mengurangi porsi makan karena terkendala ekonomi.
Hal serupa ditunjukkan pada survei yang dilakukan Himpaudi pada Desember 2020. Dari 25.935 responden, sebanyak 33,80 persen telah mengurangi pengeluaran untuk makanan dan minuman. ”Ini membuat kebutuhan gizi keluarga, khususnya anak, menjadi terganggu,” ucapnya.
Menurut dia, kurangnya gizi yang dikonsumsi anak, termasuk zat besi, amat berpengaruh pada respons stimulasi yang diterima. Stimulasi tidak akan optimal jika tidak didukung dengan kebutuhan gizi yang baik. Pada jangka panjang, kemampuan numerasi, literiasi, emosi, dan belajar anak akan menurun. Generasi yang seharunya menjadi bonus demografi pun justru menjadi beban demografi bagi bangsa.
”Kita harus kerja bersama antara guru, lembaga PAUD, keluarga, dan pemerintah. Intervensi melalui program holistic integrative amat penting untuk menyelamatkan generasi masa depan. Guru PAUD juga diharapkan bisa menjadi agen penggerak untuk mengubah pola makan keluarga menjadi lebih baik melalui pembelajaran,” tutur Netti.