Mencium Bahaya, Diancam, lalu Ditolong
Dalam melakukan peliputan, jurnalis kerap bertemu bahaya. Namun, dalam setiap bahaya yang ditemui selalu ada tangan-tangan penolong.
Menjadi jurnalis memang tidak mudah. Paling tidak itu kata-kata wartawan senior Kompas, almarhum Banu Astono. Tidak mudah karena bakal sering mencium bahaya.
Masih lekat di ingatan saya kata-kata yang dilontarkan Mas Banu, begitu kami memanggilnya, sebelum saya dilepas ke Pulau Kalimantan. Pada Oktober 2015, saya resmi bertugas di Kalimantan Tengah bersama wartawan Kompas lainnya yang lebih dulu beberapa tahun bertugas di sana, Megandika Wicaksono atau DKA inisialnya.
Baru setahun saya tinggal di provinsi yang luasnya 1,3 kali Pulau Jawa itu, saya langsung dihadapkan dengan beragam masalah. Selasa, 29 November 2016, sekitar pukul 06.00 WIB, Mas DKA mengirimi saya pesan singkat bahwa ada keributan di sebuah tempat prostitusi, tepatnya di Jalan Tjilik Riwut Kilometer 12.
Pada jam yang sama, dengan sangat mengantuk saya berusaha mencerna isi pesan itu. Beberapa saat setelah kesadaran terkumpul, saya bergegas. Mencuci muka, lalu memacu sepeda motor.
Sampai di lokasi, benar saja. Porak-poranda. Kaca-kaca berserakan, lemari kaca tinggal rangka, televisi layar datar tak datar lagi, sofa-sofa dibuang keluar dari rumah, serta ragam botol minuman beralkohol dari yang murah sampai mahal berhamburan dan pecah.
Pagi itu, polisi masih sibuk mengumpulkan bukti, menanyai saksi, memasang garis polisi. Pada saat yang sama, saya mencoba bertanya, seperti polisi, mencari saksi mata kejadian itu. Dari semua orang yang saya tanya, mereka memberikan jawaban yang relatif sama. Pelakunya sekitar 40 orang, berbadan tegap, rambut cepak, dan atletis.
Ceritanya, si teman rambut cepak yang juga cepak ini berebut wanita dengan salah satu pengunjung beberapa jam sebelum kejadian. Adu mulut, sempat adu jotos, lalu si pengunjung yang tidak cepak rambutnya kabur.
Kesal karena emosinya belum disalurkan, ia berusaha mencari orang yang kabur itu dengan teman-temannya. Satu saksi kunci yang saya dapatkan di lokasi adalah seorang ibu tua yang merupakan penjaga warung kelontong di dekat situ.
Tak ada orang yang bertanya kepadanya. Saya pun bisa sampai di situ tidak sengaja, lantaran haus. Ternyata di tempat itulah mobil orang-orang atletis itu diparkir. ”Sopirnya masih mengenakan seragam,” kata ibu tersebut.
Sopirnya masih mengenakan seragam.
Berita saya buat hari itu juga, saya kirim ke Jakarta. Tugas saya selesai. Sore sekitar pukul 17.00 WIB, saya menuju sebuah warung kopi pinggir jalan tempat biasa berkumpul dengan kawan seprofesi. Di sana sempat mengobrol, bahkan bermain video game. Terlihat biasa sampai satu jam kemudian saya dijemput oleh beberapa pria yang ciri-cirinya lebih kurang sama dengan pelaku pemukulan.
Baca juga: Lapak Jaru Dirusak
Mereka memaksa saya untuk ikut ke kantor. Sempat bertanya alasan, tetapi tak djawab dengan jelas. Hanya mendapatkan kata-kata ”atasan ingin bertemu”.
Sampai di sana, dua jam lebih saya diceramahi. Isinya hanya satu. ”Tolong jangan kirim berita itu, saya sudah pecat anak buah saya yang bikin kacau itu,” kata pimpinannya.
Berkali-kali saya jelaskan kalau saya hanya bertugas menulis berita, naik cetak atau tidak itu wewenang atasan saya. Namun, mereka tidak mau tahu, beragam tawaran saya tolak, beragam ceramah dari yang lembut sampai keras masuk di kuping kanan dan keluar di kuping kiri saya.
Dalam hati, saya tidak akan dipulangkan dari ruangan kosong yang hanya berisi dua tempat duduk dan satu meja ini kalau tidak mengikuti keinginan mereka. Di ruangan itu saya hanya berbicara dengan satu orang, tetapi di belakang saya berdiri beberapa orang, keluar-masuk ruangan.
Baca juga: Taman Hutan Dirusak Petambang Emas
Lalu, saya memutuskan menelepon atasan saya, Mas Banu. Diangkat dan langsung dijawab, ”Kenapa, Do?”. Saya berusaha menjelaskan sepadat dan sesingkat mungkin, loudspeaker di telepon saya nyalakan. ”Mas, ini saya gak dipulangin ini,” rengek saya kepada Mas Banu.
Lalu, telepon itu saya berikan kepada orang yang sedari tadi bicara. Saya mendengar Mas Banu menghardik, ”Kamu siapa? Pangkatmu apa? Kalau enggak mau diberitakan, ya, jangan buat begitu. Pokoknya kalau adik saya enggak pulang malam ini kamu tahu akibatnya.”
Singkat cerita, saya dipulangkan beberapa menit setelah telepon itu. Berita tetap naik keesokan harinya. Beberapa pejabat kena mutasi. Saya hanya bisa bilang, wow. Itu kenangan saya dengan Mas Banu yang baru saja berpulang pada Senin (28/12/2020).
Lapak Jaru
Dua tahun setelah kejadian itu, satu pagi pada Februari 2016, Direktur Yayasan Rekam Nusantara Een Irawan menelepon saya. Ia mengajak saya ke Kabupaten Gunung Mas untuk meliput bersama.
Bang Een, begitu saya memanggilnya, memang kerap memberikan informasi berharga yang sulit saya dapatkan dari banyak orang. Entah bagaimana ia mendapatkannya, tetapi saat itu ada penambangan emas ilegal di wilayah Taman Hutan Raya Lapak Jaru. ”Banyak pejabat dan petugas di belakangnya,” begitu Bang Een memberi informasi.
Kami berangkat, lima orang. Empat wartawan dari tiga media dan Bang Een. Jarak 184 kilometer kami tempuh, lalu menginap di sebuah penginapan. Kami sempat menemui dan mengajak beberapa teman wartawan di wilayah tersebut, tetapi mereka menolak dengan beberapa alasan, keamanan salah satunya.
Menurut mereka, itu isu yang mereka hindari lantaran banyak sekali kepentingan dan keterlibatan penguasa. Mendengar hal itu, kian mendidihlah darah ini. Pulang ke penginapan seusai makan malam sekitar pukul 20.00 WIB. Berusaha istirahat. Saya tidur. Namun, tidur saya terganggu dengan ketukan pintu, waktu itu jam menunjukkan pukul 24.00 WIB. Bang Een mengetuk pintu dan mengajak saya keluar. ”Ada yang mau ketemu,” ujarnya.
Sampai di luar penginapan ada tiga orang sudah duduk dengan masing-masing segelas kopi. Terlihat kopi itu sisa setengah gelas. ”Wah, diskusinya sudah dari tadi,” ucap saya dalam hati.
Baca juga: Tiga Petambang Emas Tewas Tertimbun Material
Saya tidak kenal mereka sampai Bang Een menjelaskan latar belakang para pejabat dan aparat yang datang. Tidak tahu bagaimana mereka bisa tahu kami ingin meliput ke kawasan tahura, tetapi tujuan mereka satu. Mereka melarang kami ke lokasi. ”Sudahlah, biarkan kami selesaikan masalah itu sendiri,” ujar pejabat itu.
Diskusi malam itu ditutup dengan ketidakjelasan. Kami tidak meng-iya-kan, tidak juga menolak pergi. Esok pagi, beberapa kawan yang ikut memutuskan pulang kembali ke Palangkaraya, tetapi saya tetap ingin melanjutkan.
Hari itu, saya mengenakan celana pendek, meminjam pancingan, mengganti sepatu bot dengan sandal jepit. Katanya, sih, menyamar, tapi saya tak yakin dengan samaran saya sendiri.
Masuklah kami ke hutan. Hanya saya dan seorang teman, Indra Nugraha, wartawan Mongabay.co.id. Kami terpaksa tidak mengaku sebagai wartawan karena dari informasi yang kami dapat, pekerja tambang emas di sana tidak suka difoto, apalagi diwawancara.
Tibalah di lokasi. Hutan yang sebelumnya lebat dan rindang sudah dibuka. Jalan sepanjang 12 kilometer terbentang, kayu-kayu ulin (Eusedorxylon swaegeri) tumbang, beberapa situs budaya, seperti batu salib, berantakan diempas alat berat.
Baca juga: Menyantap Keheningan di Air Terjun Bawin Kameloh
Alat berat itu masih terparkir di situ. Ada satu tenda beratap terpal biru, di dalamnya para pekerja sedang tidur. Kami lewati saja. Kami mengambil gambar, merekam, memotret, hingga tiba saat pulang. Kami melewati tenda itu lagi. Kali ini kami dihentikan pekerja yang tampaknya baru bangun.
”Baru pulang mancing,” jawab saya saat ditanya. Mereka lalu menggunakan bahasa daerah setelah melihat kameraku yang masih tergantung di leher.
Saya mencoba mendekati dengan maksud bertanya dan mengobrol. Belum sempat mendekat, satu orang mencabut parang dari pinggangnya, lalu mengarahkannya persis di bawah dagu saya. Saya berhenti. Tampaknya jantung saya juga berhenti sejenak.
Satu orang lagi di tenda berjongkok mengasah pisau. Mereka masih terus berbicara dengan bahasa daerah yang masih asing di telinga saya. Cara bicara mereka lantang, kian lama nadanya kian tinggi seirama dengan urat yang kian tegang di lehernya. Saya mundur beberapa langkah, tangan Indra menarik baju saya. Kami tidak berjalan ke motor, tetapi melompat langsung ke atas motor, lalu tancap gas. Kami pun melesat meninggalkan orang-orang yang mulai meninju udara dengan parangnya.
Keesokan harinya berita naik, lengkap dengan foto kerusakan. Mulai hari di mana berita itu naik, beragam nomor tidak dikenal menelepon, diangkat lalu mati. Sampai satu ketika ada telepon masuk dari nomor asing. Ternyata pengacara.
Ia ingin menggugat berita saya. Begitu saya tahu namanya, saya tahu betul ia merupakan satu di antara pejabat yang namanya ada di balik sebuah perusahaan yang mendanai para pekerja untuk menambang di wilayah lindung.
Hingga kini, tuntutan itu tidak datang, yang datang malah para penegak hukum dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menutup tambang emas ilegal tersebut. Tak ada yang diadili memang, tetapi paling tidak taman itu saat ini kembali rimbun.
Perkataan Mas Banu memang benar. Mencium bahaya itu sudah menjadi risiko jurnalis. Namun, bantuan selalu datang dari orang-orang baik.