Wartawan Mengalami Kekerasan dan Alat Kerja Dirampas
›
Wartawan Mengalami Kekerasan...
Iklan
Wartawan Mengalami Kekerasan dan Alat Kerja Dirampas
Kekerasan terhadap wartawan dan perampasan alat kerja wartawan saat melakukan tugas jurnalistik merupakan bentuk penyensoran dan pengontrolan kerja wartawan. Selain melanggar hukum, ini juga melanggar kebebasan pers.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap wartawan yang tengah meliput unjuk rasa kembali terjadi. Lembaga Bantuan Hukum Pers dan Aliansi Jurnalis Independen mencatat, paling tidak 12 wartawan mengalami berbagai kekerasan saat meliput unjuk rasa tolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada Kamis (8/10/2020).
Jumlah wartawan yang menjadi korban kekerasan tersebut masih mungkin bertambah karena LBH Pers dan AJI masih terus menelusuri dan memverifikasi perkara. Sebanyak 12 wartawan itu terdiri dari tujuh wartawan yang meliput unjuk rasa di Jakarta dan lima wartawan yang meliput unjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur.
Mereka tidak hanya mengalami kekerasan fisik, dipukul, ditendang, diseret, tetapi peralatan kerja mereka, seperti kamera, telepon seluler, serta kartu memori berisi file foto/video dihapus, dirampas, dan dirusak. Bahkan seorang wartawan merahputih.com, Ponco Sulaksono, selain mengalami kekerasan, juga ditangkap dan ditahan di Polda Metro Jaya.
Hampir semua pelaku kekerasan terhadap wartawan tersebut aparat kepolisian, ada satu kasus di Surabaya dengan pelaku peserta unjuk rasa. Meskipun wartawan telah melengkapi diri dengan atribut pers dan identitas pembeda saat meliput unjuk rasa, tetap saja wartawan menjadi sasaran kekerasan, justru karena melaksanakan tugas jurnalistiknya.
Dalam pernyataan tertulis yang ditandatangani Ketua AJI Surabaya Miftah Faridl dan Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Yovinus Guntur Wicaksono, Jumat (9/10/2020), AJI Surabaya mengecam tindakan aparat kepolisian yang melakukan kekerasan terhadap wartawan dan merampas alat kerja wartawan yang meliput unjuk rasa tersebut. Ini merupakan bentuk penyensoran untuk mengontrol kerja wartawan.
AJI Jakarta, LBH Pers, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat menyatakan, penganiayaan dan menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang Pers berlaku secara nasional untuk seluruh warga negara sehingga semua pihak, termasuk aparat kepolisian harus menghormati semua ketentuan dalam UU ini.
”Dalam Peraturan Dewan Pers diatur bahwa terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugasnya, alat-alat kerjanya tidak boleh dirusak, dirampas, dan kepada wartawan yang bersangkutan tidak boleh dianiaya, apalagi dibunuh,” kata Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari dalam keterangan tertulisnya.
Pelanggaran berat
Jika wartawan yang meliput unjuk rasa tolak RUU Cipta Kerja sudah menunjukkan identitas dirinya dan melakukan tugas sesuai kode etik jurnalistik, kata Atal, seharusnya mereka dijamin dan dilindungi secara hukum. Karena itu, merusak dan merampas alat kerja wartawan, termasuk menganiaya dan mengintimidasi wartawan yang tengah melakukan kerja jurnalistik, merupakan pelanggaran berat terhadap kemerdekaan pers.
”Perbuatan para oknum polisi itu bukan saja mengancam kelangsungan kemerdekaan pers, melainkan juga merupakan tindakan yang merusak sendi-sendi demokrasi. Ini merupakan pelanggaran sangat serius,” ujar Atal.
Karena itu, kata Atal, Kepolisian Negara Republik Indonesia harus segera mengusut tuntas dan melakukan langkah hukum terhadap oknum polisi yang telah menghalangi dan melakukan kekerasan terhadap wartawan saat meliput unjuk rasa tolak RUU Cipta Kerja. Termasuk di sini, memberikan sanksi kepada oknum aparat kepolisian yang sengaja menghambat kemerdekaan pers tersebut.
AJI Jakarta dan LBH Pers juga meminta Polri menindaklanjuti pelaporan kasus serupa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Hampir semua kasus serupa tidak diselesaikan sesuai undang-undang (impunitas).
Dalam catatan AJI Indonesia, pada April 2019-Mei 2020, ada 31 kasus kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan oleh anggota Polri. Dua momen kekerasan terjadi ketika wartawan meliput unjuk rasa besar pada Mei dan September tahun lalu. Pada medio 2006-September 2020, sebanyak 785 wartawan menjadi korban kekerasan.
AJI Jakarta dan LBH Pers juga mengimbau pimpinan redaksi ikut memberikan pendampingan hukum kepada wartawannya yang menjadi korban kekerasan aparat sebagai bentuk pertanggungjawaban. Para wartawan korban kekerasan intimidasi aparat juga diimbau berani melaporkan kasusnya.
AJI Jakarta dan LBH Pers juga mendesak Kepala Polri membebaskan wartawan dan wartawan pers mahasiswa yang ditahan. Selain wartawan merahputih.com, paling tidak ada lima wartawan pers mahasiswa yang ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya, bersama sejumlah peserta unjuk rasa.
Berjanji usut
Dalam akun YouTube Kompas TV, Jumat (8/10/2020), Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyebut kekerasan oleh aparat kepolisian terhadap jurnalis saat meliput unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja disebabkan oleh situasi yang kacau dan tidak dapat diprediksi. ”Kita memang harus jujur mengakui bahwa kita seharusnya melindungi wartawan ya, kadang-kadang kalau sudah situasinya itu chaos dan kemudian anarki, kadang-kadang anggota sendiri pun melindungi dirinya sendiri, ”katanya.
Argo berjanji akan mengusut kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat kepolisian. ”Nanti kami akan cross-check dulu, kami selidiki seperti apa ya di sana," ujar Argo.
Dalam kesempatan yang sama, Argo kembali mengimbau jurnalis untuk agar menunjukkan identitas yang jelas saat meliput aksi unjuk rasa. Argo juga mendorong agar jurnalis berkomunikasi dengan petugas serta berdiri di lokasi yang aman, misalnya di belakang barikade polisi.
”Sampaikan saja di sana bahwa saya seorang wartawan, saya ingin meliput,” kata Argo.