Pemerintah telah berkomitmen menempatkan dana Rp 22 triliun dalam dua tahap kepada PT BPUI untuk menyelamatkan Jiwasaraya. Dengan dana itu, perusahaan IFG Life dibentuk untuk pengalihan polis dan portofolio Jiwasraya.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·5 menit baca
Setelah mendapatkan kepastian mendapatkan suntikan dana Rp 22 triliun dalam dua tahap dari pemerintah, misi penyelamatan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) semakin mengerucut. Dana tersebut akan digunakan sebagai modal pembentukan Indonesia Financial Group Life, anak usaha asuransi jiwa PT Bahana Pembina Usaha Indonesia (Persero), yang akan mengambil alih polis asuransi dan portofolio Jiwasraya setelah direstrukturisasi.
Dengan cara itu, pemerintah lebih memilih skema bail-in untuk menyelamatkan Jiwasraya yang merupakan perusahaan pelat merah. Skema ini ibarat ”jeruk makan jeruk", yaitu menyelesaikan permasalahan perusahaan dengan menggunakan sumber pendanaan dari dalam perusahaan itu sendiri yang berasal dari pemegang saham.
Sembari menunggu izin legalitas operasi Indonesia Financial Group (IFG) Life keluar, Jiwasraya juga terus berproses merestrukturisasi polis nasabah. Sebab, tanpa restrukturisasi polis dan pemotongan manfaat, pada akhir 2020, selisih ekuitas Jiwasraya diproyeksikan akan minus Rp 50,9 triliun. Jika hal itu terjadi, modal awal dan penyertaan modal negara (PMN) yang dibutuhkan untuk program penyelamatan Jiwasraya menjadi semakin besar, yakni Rp 51,4 triliun.
Oleh karena itu, pemerintah memutuskan melakukan 100 persen restrukturisasi polis dengan pemotongan manfaat 40 persen. Dengan skenario itu, selisih ekuitas pada akhir 2020 diproyeksikan menjadi minus Rp 24,2 triliun. Modal awal dan suntikan PMN yang dibutuhkan pun cukup Rp 24,7 triliun.
Dalam telekonferensi pers di Jakarta, Minggu (4/10/2020) malam, manajemen PT Asuransi Jiwasraya (Persero) memastikan pembayaran klaim polis akan dilakukan secara bertahap tanpa menurunkan manfaat investasi yang signifikan.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengatakan, manajemen akan memaksimalkan dana dari pemerintah untuk mengembalikan polis para nasabah. Pembayaran klaim polis akan dipenuhi tanpa ada pemotongan manfaat investasi yang besar dengan skema cicilan jangka panjang.
”Karena liabilitas lebih besar daripada ketersediaan dana, pelunasan tidak bisa langsung semua. Sebagian dana yang ada akan dipakai untuk mencicil, sementara sebagian lagi diinvestasikan secara ketat di instrumen surat utang negara,” ujarnya.
Manajemen akan memaksimalkan dana dari pemerintah untuk mengembalikan polis kepada para nasabah. Pembayaran polis akan dipenuhi tanpa ada pemotongan manfaat investasi yang besar dengan skema cicilan jangka panjang.
Sebelumnya, pada 1 Oktober 2020, dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Kasus Jiwasraya yang digelar Komisi VI DPR, pemerintah sepakat menyuntikkan modal senilai total Rp 22 triliun kepada PT Bahana Pembina Usaha Indonesia (Persero) atau BPUI.
Suntikan modal tersebut akan terbagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, pemerintah akan mengucurkan dana senilai Rp 12 triliun untuk tahun anggaran 2021. Sisanya sebesar Rp 10 triliun akan dikucurkan pemerintah pada tahun anggaran 2022.
Namun, saat ini Hexana mengaku belum dapat menyampaikan skema penggunaan dana penempatan negara tersebut terhadap pelunasan kewajiban polis Jiwasraya secara lebih terperinci. Skema ini tengah dalam proses pematangan.
Apabila dalam perkembangannya terdapat nasabah pemegang polis yang tidak menerima skema cicilan jangka panjang, Jiwasraya akan membayarkan pokok polis dengan penyesuaian pemotongan manfaat. ”Intinya dengan realitas selisih klaim dan kebutuhan uang tunai sangat besar, maka akan dilakukan restrukturisasi polis termasuk dengan cara mencicil,” kata Hexana.
Berdasarkan data Jiwasraya, hingga 31 Agustus 2020, jumlah pemegang polis sebanyak 2,63 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 90 persen adalah pensiunan dan warga menengah ke bawah.
Per 31 Desember 2019, ekuitas Jiwasraya mengalami defisit Rp 33,66 triliun dengan nilai aset Rp 19,12 triliun dan kewajiban Rp 52,78 triliun. Defisit ini terus bertambah seiring berjalannya waktu, hingga akhir Juli 2020 defisit ekuitas Jiwasraya tercatat defisit Rp 37,7 triliun.
Direktur Utama PT BPUI Robertus Bilitea mengemukakan, pemerintah selaku pemegang saham Jiwasraya menyuntikkan dana tersebut kepada BPUI sebagai pihak yang akan melanjutkan program polis Jiwasraya. BPUI membentuk anak usaha asuransi jiwa bernama Indonesia Financial Group (IFG) Life untuk mengambil alih portofolio Jiwasraya setelah direstrukturisasi.
Ke depan, IFG Life akan menjadi anak perusahaan holding asuransi dan penjaminan BUMN dengan bisnis yang lebih fokus pada bisnis proteksi. Pada Desember 2020, IFG Life diharapkan sudah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
”Menurut rencana, perusahaan ini akan menjalankan tiga lini bisnis, yakni bisnis asuransi kesehatan, dana pensiun, dan portofolio asuransi yang dilimpahkan Jiwasraya,” ujar Robertus.
Secara terpisah, Managing Director Political Economy and Policy studies (PEPS) Anthony Budiawan berpendapat, dana penempatan pemerintah Rp 22 triliun seharusnya hanya boleh digunakan untuk mengganti kerugian para pemegang polis. Proses tersebut harus dilakukan secara transparan melalui penunjukan tim independen oleh pemerintah.
Meskipun pemerintah telah menyuntikan dana untuk Jiwasraya, upaya penelusuran terhadap keterlibatan pihak-pihak penyebab gagal bayarnya Jiwasraya tetap harus dilanjutkan. Hukuman pidana juga tetap harus diberikan kepada pihak yang terbukti melawan hukum.
”Semua pihak yang terlibat harus diusut tuntas agar hal serupa tidak terulang. Bail out dilakukan menggunakan uang rakyat. Oleh karena itu, penegakan hukum yang adil menjadi keharusan,” tuturnya.
Semua pihak yang terlibat harus diusut tuntas agar hal serupa tidak terulang. Bail out dilakukan menggunakan uang rakyat. Karena itu, penegakan hukum yang adil menjadi keharusan.
Sejak akhir 2018, nasabah Jiwasraya tidak bisa mencairkan polis mereka yang jatuh tempo. Anthony menilai perusahaan gagal bayar tidak sekadar diakibatkan penurunan ekonomi yang berimbas pada kinerja investasi, tetapi juga karena ada upaya pelanggaran hukum dan tindak korupsi.
Produk JS Saving Plan yang ditawarkan kepada publik pada akhir 2013, lanjut Anthony, terindikasi melanggar ketentuan produk asuransi jiwa karena menawarkan imbal hasil 9-13 persen selama lima tahun dengan pencairan yang bisa dilakukan setiap tahun.
Seiring berjalannya waktu, Jiwasraya tertekan untuk mengembalikan imbal hasil tinggi. Jiwasraya kemudian mulai berinvestasi pada aset berisiko tinggi, baik dalam bentuk saham maupun repo di sejumlah perusahaan dengan kinerja negatif.
Sementara itu, pengamat badan usaha milik negara (BUMN) dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengingatkan, akar permasalahan dalam tubuh Jiwasraya adalah lemahnya pengawasan, baik secara internal maupun eksternal. Kesalahan ini seharusnya menjadi pelajaran dan tidak boleh terulang oleh perusahaan-perusahaan BUMN lain.
Setiap produk keuangan yang dikeluarkan dan setiap investasi yang dijalankan harus melalui mekanisme pengawasan internal dan persetujuan Dewan Komisaris perusahaan tersebut. Sementara secara eksternal, Kementerian BUMN seharusnya turut mengawasi setiap tindak tanduk kegiatan usaha perusahaan BUMN.
”Selain itu, dari sisi industri, kinerja Jiwasraya tentu diawasi kinerjanya OJK. Jadi, patut dipertanyakan seperti apa mekanisme pengawasan yang selama ini berlangsung di OJK lantaran tidak bisa mendeteksi masalah pada Jiwasraya,” ujarnya.