Perbaikan rantai pasok dan pemasaran, yang menjadi masalah klasik dalam agrobisnis, menjadi solusi yang tepat untuk keluar dari jebakan pandemi Covid-19.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Adaptasi kebiasaan baru di masa pandemi Covid-19 penting dilakukan pelaku agrobisnis. Hal ini mengingat pembatasan sosial dan ketidakstabilan ekonomi yang mengarah pada krisis membuat industri yang berkaitan dengan pertanian, termasuk peternakan dan perikanan, terdampak.
Center of Indonesian Policy Study (CIPS) memprediksi, produksi pertanian dalam negeri akan turun 1,64 hingga 6,2 persen karena terganggunya rantai pasokan, penurunan tenaga kerja, dan investasi.
Survei Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) pada 163 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) binaan yang bergerak di sektor agrobisnis mencatat, 65 persen UMKM alami penurunan omzet. Sementara itu, 21 persen UMKM memiliki omzet tetap dan 14 persen lainnya alami kenaikan.
Dari sisi tenaga kerja, 85 persen UMKM mempertahankan jumlah tenaga kerja, sementara 15 persen lainnya alami penurunan. Catatan itu menjadi temuan survei yang dilakukan pada pelaku usaha di wilayah Bontang, Kutai Timur, Tapin, Paser, dan Tabalong selama 27 April sampai 18 Mei 2020.
”Ini menjadi gambaran bagaimana kondisi sebagian besar UMKM binaan kita, mungkin juga jadi gambaran sebagian pelaku usaha pertanian, perikanan, dan peternakan saat ini,” kata perwakilan YDBA, Rama Pradipta, dalam diskusi virtual berjudul ”Masa Depan Agribisnis Indonesia”, Kamis (30/7/2020).
Untuk keluar dari kendala selama pandemi tersebut, pelaku pengembangan kompetensi dan pemasaran UMKM, Basyori Saini, mengatakan, perbaikan rantai pasok dan pemasaran, yang menjadi masalah klasik dalam agrobisnis, menjadi solusi yang tepat.
Ia menjelaskan, over demand over supply (ODOS) menjadi permasalahan klasik di sektor agrobisnis. Masalah itu membuat petani sering merasa produknya tidak ada yang membeli. Akibatnya, ada kejadian petani di Malang membagi-bagikan gratis sayuran, petani Banyuwangi membuang buah naga ke sungai, atau petani di Bangka tebang pohon lada karena harganya rendah.
Sementara pasar menangkap adanya kelangkaan produk sehingga masyarakat mengeluhkan kekurangan pasokan atau kenaikan harga produk pertanian. ”ODOS ini masalah klasik yang sering terjadi. Kuncinya di inovasi pemasaran,” ujarnya.
Managing Director Codiac.id tersebut pun menjelaskan peranan penting platform rantai pasok dan pemasaran digital produk pertanian, sebagaimana proyek AGRetail yang tengah dikembangkan. Proyek yang awalnya direncanakan beroperasi pada 2021 dipercepat awal tahun 2020 untuk menghadirkan solusi di masa pandemi.
Proyek tersebut mulai dibangun dengan membuka jaringan di 60 kota di seluruh Indonesia. Mitra petani bisa memasarkan produknya atas nama badan usaha atau pribadi ke platform daring mereka. Didukung marketplace dan e-dagang serta berbagai perusahaan logistik, produk petani yang dikontrol kualitasnya akan didistribusikan ke seluruh Indonesia.
”Kita bikin AGRetail agar siapa saja petani bisa kita bawa ke konsumen yang ingin mengakses produk lewat platform usaha rintisan. Di sela-sela itu, platform ini juga disiapkan untuk menjangkau pasar ekspor,” tutur Basyori.
Sampai Juli 2020, AGRetail memiliki lebih dari 1.500 stock keeping unit (SKU) produk. Dengan basis data digital, platform rantai pasok itu diharapkan bisa memunculkan perdagangan lintas batas. Dengan demikian, petani bisa mendistribusikan langsung kelebihan produksi mereka ke daerah lain yang permintaannya tinggi setiap saat.
Strategi tersebut bisa menciptakan perdagangan yang efisien, menguntungkan petani karena menyederhanakan rantai distribusi, dan menurunkan harga beli di konsumen.
Diversifikasi produk
Pandemi juga mendorong pelaku agrobisnis untuk berinovasi dengan menyesuaikan perubahan kebiasaan dan permintaan pasar. Seperti yang dilakukan Deni Rusmawan selaku Direktur CV Dejeefish, yang berkecimpung di bisnis perikanan air tawar di Cibaraja, Sukabumi.
”Kita perlu banyak berinovasi karena ini kejadian yang tidak diduga di hampir di seluruh negara. Bisnis kita terhambat akses distribusi darat dan udara. Ekspor juga masih terbatas dan menjadi hambatan buat kita di sektor perikanan,” katanya.
Tidak terserapnya produk perikanan karena berhentinya operasional restoran dan hotel, yang menyerap 40 persen produk mereka, membuat Deni mencari alternatif lain sebagai inovasi untuk tetap berproduksi.
Inovasi yang dimaksud, misalnya, menjual produk siap masak daripada ikan hidup untuk konsumsi rumah tangga. Selain itu, ia juga menjual ikan hias, yang permintaannya naik lebih dari 50 persen saat pandemi, seperti cupang, koki, arwana, dan siklid.
Usahanya kini juga menangkap permintaan budidaya ikan di ruang sempit, seperti budidember (budidaya di dalam ember) dan aquaponik untuk ketahanan pangan.
”Kami belajar bahwa bergerak lebih baik daripada diam. Inovasi lebih baik daripada menerima kenyataan. Kita senantiasa harus bergerak, berpikir bagaimana ke depan, agar kita lebih baik,” ujarnya.