Anak-anak Berkebutuhan Khusus Membingkai Masa Depan dari Rumah
›
Anak-anak Berkebutuhan Khusus ...
Iklan
Anak-anak Berkebutuhan Khusus Membingkai Masa Depan dari Rumah
Rumah jadi pusat belajar dan ilmu pengetahuan penuh bagi anak berkebutuhan khusus selama pandemi. Ada yang tetap bisa sekolah dari rumah, tetapi beberapa putus sekolah lantaran perekonomian orang tua terdampak Covid-19.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
KOMPAS/SUCIPTO
Fitriani (45) di tengah kedua putranya, Haris Octavianto (20) di kiri dan Arief Fadillah (16), di sebelah kanannya, di sela-sela belajar di rumah di Kelurahan Gunung Bahagia, Balikpapan Selatan, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (20/7/2020). Selama masa pandemi, Fitriani merangkap menjadi guru dan orangtua mendampingi kedua putranya yang berkebutuhan khusus.
Selama pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, rumah kembali menjadi pusat pembelajaran dan ilmu pengetahuan penuh bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Orangtua, siswa, dan guru berjibaku dengan jarak agar terus terhubung dan membuat rumah jadi tempat paling aman bagi anak. Beberapa anak terpaksa berhenti sekolah karena perekonomian orang tua terdampak pandemi.
Fitriani (45) baru saja pulang dari Sekolah Luar Biasa Tunas Bangsa Balikpapan, Kalimantan Timur, sekitar pukul 10.30 Wita, Senin (20/7/2020). Ia membawa amplop coklat berisi belasan lembar bahan ajar untuk Arief Fadillah (16), putra keduanya yang tengah berbaring menonton televisi di ruang tengah.
Mengenakan kaos olah raga SLB Tunas Bangsa, Arief kemudian bangkit perlahan. Ia mendekati Fitriani dengan bantuan tangannya untuk menopang tubuh agar bisa berpindah tempat. Itu cara Arief untuk bergerak sebagai penyandang cerebral palsy atau lumpuh otak, penyakit yang menyebabkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh.
Hari itu adalah minggu ketiga tahun ajaran baru bagi Arief yang baru saja naik ke kelas 3 SMA. Selama pandemi Covid-19, rumahnya di Jalan Pialing, Kelurahan Gunung Bahagia, Balikpapan Selatan, adalah sekolah dan tempat bermain paling aman bagi Arief. Adapun sang ibu merangkap menjadi pendidik, pengasuh, dan perawat Arief—pekerjaan yang sebelumnya dibagi sebagian kepada guru di sekolah.
KOMPAS/SUCIPTO
Fitriani (45) mendampingi putranya, Arief Fadillah (16), siswa SLB Tunas Bangsa Balikpapan, saat belajar di rumah di Kelurahan Gunung Bahagia, Balikpapan Selatan, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (20/7/2020).
Fitriani kemudian membuka lembaran berisi gambar-gambar. Ia menunjuk setiap gambar, kemudian Arief menyebutkan aktifitas orang di gambar itu. “Cuci tangan… mandi… tidur…,” kata Arief sambil fokus melihat lembaran kertas yang dipegang ibunya.
Fitriani kemudian membuka lembaran selanjutnya. Terdapat lirik dan notasi lagu ”Bagimu Negeri” karya Kusbini. Fitriani menatap hangat Arief dan memberi aba-aba. Arief kemudian bernyanyi tanpa melihat lirik lagu hingga selesai.
”Arief memang senang menyanyi. Selama pandemi Covid-19, saya harus sebisa mungkin bikin anak tidak jenuh karena dia sering bilang kangen main di sekolah ketemu teman,” kata Fitriani.
Meski di tahun ajaran baru kali ini sudah mulai diberlakukan kegiatan belajar mengajar, belum semua orangtua berani melepas anak ke sekolah. Jadwal tatap muka di sekolah yang dijadwalkan seminggu sekali, ternyata hanya dihadiri sedikit siswa. Bahkan, hanya Arief seorang diri di kelas yang hadir saat jadwal tatap muka dengan guru.
Fitriani harus bersiasat agar putranya tak jenuh. Ia dibantu putra sulungnya, Haris Octavianto (20), penyandang autis yang sudah lulus dari SLB Tunas Bangsa dua tahun lalu. Jika Fitriani sedang melakukan pekerjaan rumah, Haris kerap bermain lempar bola dengan Arief sambil menonton televisi. Itu dilakukan agar motorik Arief terlatih.
Selain itu, Haris juga mendampingi Arief ketika mengerjakan tugas di rumah. Saat Kompas berkunjung ke rumah mereka, Haris ikut membantu menjawab ketika ibunya membacakan soal untuk Arief. Fitriani mengibaratkan, kedua putranya itu ibarat tongkat dan juru bicara yang saling melengkapi: sang kakak seperti tongkat yang membantu adiknya untuk bergerak, sedangkan sang adik lebih terdengar jelas berbicara dibanding kakaknya.
”Aku senang menyanyi dan main komputer. Bantu adik belajar juga,” kata Haris.
Fitriani sebisa mungkin mengimbangi aktivitas anak-anaknya agar tak melulu di rumah. Jika sudah luang dan cuaca cerah, Fitriani kerap mengajak kedua putranya berkeliling ke luar rumah. Mereka berjalan ke taman atau sekadar berkeliling di sekitar perumahan.
”Aku senang menyanyi dan main komputer. Bantu adik belajar juga,” kata Haris.
KOMPAS/SUCIPTO
Fitriani (45) mendampingi putranya, Arief Fadillah (16) (kanan), saat belajar di rumah di Kelurahan Gunung Bahagia, Balikpapan Selatan, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (20/7/2020). Arief yang menyandang tunadaksa harus didampingi penuh oleh ibunya selama belajar dari rumah.
Belajar jarak jauh juga membuat guru sekolah luar biasa bekerja lebih ekstra. Yuliatin Chasanah, wali kelas V SDLB Tunas Bangsa Balikpapan, misalnya. Ia harus rutin membuat bahan ajar untuk diberikan kepada orangtua setiap minggu. Setiap siswa di kelasnya memiliki kebutuhan materi berbeda-beda. Jadi, setiap materi yang diberikan kepada siswanya berbeda-beda pula.
Hanya materi pengenalan teman satu kelas dan guru yang ada di setiap bahan ajar siswa. Isinya berupa foto guru dan teman kelas yang diberi nama. Selebihnya, Yuliatin membedakan sesuai kebutuhan siswa dengan penyandang autis, tuna daksa, atau tunarungu. Setiap pekan, orang tua mengirimkan video melalui aplikasi pesan Whatssap. Dari sana, guru bisa melihat perkembangan anak memahami materi.
”Pada tahun ajaran baru ini memang butuh kerja lebih ekstra. Sebab, kami juga butuh mengenal kepribadian dan kemampuan siswa agar bisa memberi bahan ajar sesuai kebutuhan dan itu butuh tatap muka,” ujar Yuliatin.
Saat ini ia masih berkomunikasi dengan para orang tua untuk mengambil langkah terbaik bagi para siswa. Jika orang tua memercayakan para siswa untuk pergi ke sekolah satu atau dua kali dalam seminggu, itu bisa memudahkan guru untuk bertemu langsung anak didiknya.
KOMPAS/SUCIPTO
Yuliatin Chasanah, wali kelas 5 Sekolah Dasar Luar Biasa Tunas Bangsa Balikpapan melihat video kiriman orang tua siswa yang berisi proses siswanya belajar dari rumah di Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (20/7/2020).
Beberapa siswa Yuliatin dipercayai orang tua mengoperasikan gawai secara mandiri. Hal itu membuat komunikasi anak dengan guru lebih intens. Hal-hal lucu kerap dilakukan siswa ketika berkomunikasi langsung dengan guru melalui aplikasi pesan Whatssap.
Seorang muridnya hampir setiap waktu mengirimkan pesan suara kepadanya. Isinya berupa laporan, misalnya ia belum menjalankan shalat. Jika Yuliatin belum membalas pesan itu, siswanya mengirim emoticon marah sampai ia membalasnya.
”Waktu memang jadi lebih banyak melihat gawai, tapi lucu dan kangen juga sama anak-anak kalau melihat pesannya begini,” katanya sambil memperlihatkan pesan-pesan dari siswanya.
Perjuangan untuk belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus juga tak selalu mulus di saat pandemi ini. Sejak Covid-19 masuk di Kalimantan Timur, perekonomian banyak terdampak. Beberapa orang tua siswa juga terkena imbasnya dan menunggak biaya sekolah.
KOMPAS/SUCIPTO
Suasana pelajaran tatap muka di Sekolah Luar Biasa Tunas Bangsa Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (20/7/2020).
Pada 2017, Badan Pusat Statistik mencatat terdapat 1,6 juta anak berkebutuhan khusus yang terbesar di Indonesia. Dari jumlah itu, hanya 128.510 anak yang menempuh jenjang pendidikan formal di sekolah luar biasa (Kompas.id, 15/5/2020).
Sejak tahun 2017 hingga 2019, BPS mencatat putus sekolah masih terjadi pada anak berkebutuhan khusus. Angka putus sekolah pada jenjang pendidikan luar biasa mengalami kenaikan dari 522 anak pada tahun 2017 menjadi 1.909 anak pada tahun 2019. Pada masa pandemi ini, angka itu berpotensi naik.
Kepala Sekolah SLB Tunas Bangsa Balikpapan Susan mengatakan, beberapa orang tua memutuskan untuk memberhentikan anaknya sekolah karena alasan perekonomian. Mereka berencana akan melanjutkan pendidikan anaknya ketika perekonomian membaik di tahun ajaran baru nanti.
”Kami juga maklum karena kondisi memang sedang sulit saat ini. Sementara sekolah juga butuh operasional. Kami berpesan, agar anak tetap belajar meski di rumah,” kata Susan.
Pada 2017, Badan Pusat Statistik mencatat terdapat 1,6 juta anak berkebutuhan khusus yang terbesar di Indonesia. Dari jumlah itu, hanya 128.510 anak yang menempuh jenjang pendidikan formal di sekolah luar biasa (Kompas.id, 15/5/2020).
KOMPAS/SUCIPTO
Fitriani (45) membuat catatan saat menndampingi putranya Arief Fadillah (16), siswa SLB Tunas Bangsa Balikpapan ketika belajar di rumah di Kelurahan Gunung Bahagia, Balikpapan Selatan, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (20/7/2020).