Kurang Aktivitas Fisik Bisa Picu Obesitas pada Anak
›
Kurang Aktivitas Fisik Bisa...
Iklan
Kurang Aktivitas Fisik Bisa Picu Obesitas pada Anak
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hampir separuh anak di Indonesia kurang beraktivitas fisik. Hal ini bisa mengakibatkan berbagai gangguan metabolisme tubuh anak, khususnya obesitas. Jika masalah ini tidak ditanggapi secara serius, penyakit degeneratif bisa mengancam, seperti diabetes, jantung, liver, dan kolesterol tinggi. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada masa depan anak tetapi juga menjadi beban negara.
Kasus obesitas pada anak cukup tinggi di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi obesitas pada anak balita sebesar 8 persen. Jumlah ini menurun dari tahun 2013 yakni 11,9 persen. Akan tetapi obesitas pada usia dewasa di atas 18 tahun semakin meningkat menjadi 21,8 persen dari tahun 2013 sebanyak 15,49 persen.
Ketua Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Damayanti Rusli Sjarif menyampaikan, obesitas terjadi karena asupan kalori yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak dari kalori yang dikeluarkan. “Selain karena kalori dari karbohidrat dan lemak yang berlebih, kebanyakan karena anak memang kurang gerak,” ujarnya kepada Kompas di Jakarta, Rabu (23/1/2019).
Secara fisik, tambah Damayanti, anak yang obesitas bisa langsung terlihat dari bentuk tubuhnya yang lebih gemuk dari rata-rata anak seusianya. Namun, menentukan anak obesitas perlu dihitung secara pasti melalui indeks massa tubuh.
Sesuai dengan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak usia di bawah dua tahun disebut obesitas jika kenaikan berat badannya lebih dari persentil tiga. Sementara, pengukuran obesitas pada anak di atas usia dua tahun merujuk pada Pusat Pengendalian Penyakit (CDC). Apabila kenaikan indeks massa tubuh di atas persentil 95, anak mengalami obesitas.
Faktor lingkungan
Menurut Damayanti, 90 persen obesitas pada anak disebabkan oleh faktor lingkungan dan 10 persen dari faktor genetik. “Yang diturunkan oleh orangtua itu gaya hidup dan pola makan yang salah kepada anaknya. Belum lagi persepsi anak gemuk itu lucu juga masih banyak dipahami. Anak perlu makan cukup, gerak cukup, dan gizi seimbang,” katanya.
Ketua Umum Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan (Pergizi Pangan) Indonesia Hardinsyah menambahkan, gaya hidup modern juga menjadi pemicu timbulnya obesitas pada anak. Dalam keseharian, anak sering mengonsumsi makanan cepat saji yang biasanya berlemak dan mengandung gula tinggi. Belum lagi ketika dihadapkan dengan permainan daring, anak bisa duduk selama berjam-jam dengan minim gerakan fisik.
Untuk itulah, kesadaran bagi orangtua dan guru menjadi sangat penting dalam upaya mengatasi masalah obesitas pada anak. “Yang bisa dididik soal ini (kesadaran kesehatan anak) kan orangtua dan guru, bukan anaknya. Langkah sederhana bisa dilakukan seperti mengadakan kembali senam kesehatan jasmani (SKJ) paling tidak 15 menit setiap hari sebelum masuk kelas,” tuturnya.
Pemerintah pun diharapkan bisa memberikan perhatian lebih terkait masalah obesitas anak. Sejumlah program sudah dijalankan namun belum dilaksanakan secara masif di masyarakat. Ruang publik seperti ruang terbuka hijau seharusnya dibangun di setiap lingkungan rumah warga. Sekolah pun perlu punya inisiatif untuk menyelenggarakan olahraga dan makan sehat bersama bagi murid-murid.
Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Subandi Sardjoko menyampaikan, negara menghadapi masalah gizi ganda, yakni stunting atau gizi buruk kronis serta obesitas.
Terkait obesitas, sejumlah strategi dan kebijakan telah dibuat oleh pemerintah. Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, disebutkan enam kegiatan besar. Kegiatan itu, antara lain melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi pangan sehat dan bergizi, melakukan deteksi dini, melakukan perilaku hidup sehat, dan menciptakan lingkungan sehat.
“Berdasarkan inpres itu banyak kementerian dan lembaga melakukan kegiatan untuk penurunan obesitas, seperti di Kementerian Kesehatan dengan pendidikan gizi seimbang termasuk kampanye Isi Piring Ku, meningkatkan pemahaman keluarga untuk mengurangi konsumsi GGL (gula, garam, dan lemak), serta meningkatkan sosialisasi gemar beraktivitas fisik,” ujarnya.
Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun telah mengembangkan program kantin sehat, program gizi anak sekolah, pembudayaan dan fasilitas kegiatan aktivitas fisik di sekolah, dan pendidikan keluarga untuk hidup sehat. Kegiatan untuk menurunkan obesitas juga terdapat di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Terkait asupan pada anak, data Survei Diet Total 2014 memperlihatkan, balita yang mengonsumsi energi lebih besar dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (>130 persen Angka Kecukupan Energi atau AKE) sebesar 17,1 persen. Secara nasional rerata asupan energi penduduk umur 0-59 bulan di perkotaan dan perdesaan sebesar 1.137 Kkal, diatas AKE (1.118 kilo kalori atau KKal). Asupan energi di perkotaan terlihat lebih tinggi (1.190 Kkal) dibandingkan dengan perdesaan(1.081 Kkal).
“Dalam jangka panjang, pemerintah akan mendorong setiap kementerian dan lembaga agar meningkatkan program untuk kegiatan aktivitas fisik pada masyarakat dan pemberian gizi seimbang,” kata Subandi.