JAKARTA, KOMPAS — Manajemen MRT Jakarta menyiapkan pembahasan soal tarif dan besaran subsidi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Besarannya ditargetkan keluar bulan Agustus 2018, jelang pembahasan APBD 2019.
Penghitungan besaran tarif (farebox) dimulai dari survei jumlah penumpang yang dilakukan konsultan independen. ”Dari situ didapat tarif komersial. Lalu, pemerintah akan menentukan tarif operasi yang dikenakan ke rakyat. Selisih antara tarif komersial dan operasi akan menjadi subsidi,” kata Direktur Utama PT MRT Jakarta William P Sabandar, Selasa (29/5/2018).
Untuk survei jumlah penumpang terangkut, sebetulnya MRT sudah memilikinya. Namun, sejalan perkembangan, diperlukan survei lagi untuk memperoleh gambaran terkini potensi jumlah penumpang yang mendasari penghitungan besaran tarif.
”Hasil survei sudah ada. Kami memilikinya. Itu sebabnya saat ini kami menyiapkan bahan untuk pembahasan lengkap dengan pemprov. Pembahasannya akan melibatkan SKPD terkait, di antaranya Dinas Perhubungan, Bappeda, dan Badan Pengelola Aset Daerah,” kata William.
Untuk besaran subsidi (public service obligation/PSO), nantinya akan berpengaruh pada biaya operasi dan pemeliharaan MRT. ”Biaya operasi dan pemeliharaan ini akan ditentukan MRT. Berapa aset yang akan diberikan kepada MRT Jakarta oleh Pemprov DKI,” katanya.
Seperti diberitakan, untuk pembangunan fase 1 MRT merupakan proyek penugasan. Fase 1 sepanjang 16 kilometer itu senilai Rp 16 triliun yang terdiri dari aset konstruksi dan operasi (rolling stock, signal system).
”Kalau dalam pergub disebutkan, aset yang sifatnya konstruktif akan dikembalikan kepada pemerintah. Sementara yang sifatnya operasi akan dikembalikan kepada MRT. Apakah akan seperti itu? Ini belum pasti karena semakin banyak aset semakin banyak biaya pemeliharaan. Siapa yang menanggung? Di tahun tahun awal saat MRT belum memiliki pendapatan sehingga yang menanggung ya pemerintah. Itu yang sedang dihitung dengan hati-hati sekali,” ujar William.
Sekretaris Komisi B DPRD DKI Darussalam mengatakan, pihak legislatif belum memperoleh kajian detail besaran tarif ataupun subsidi. ”Harapannya, tarif MRT akan menarik dan terjangkau seperti halnya tarif naik transjakarta sehingga masyarakat mau menggunakan MRT,” ujarnya.
Ia berharap MRT Jakarta membuat program-program yang menarik sehingga bukan hanya masyarakat yang selama ini memang menggunakan angkutan umum yang akan menggunakan MRT. Namun, masyarakat yang selama ini memilih naik kendaraan pribadi juga akan berpindah.
Langkah itu, kata Darussalam, akan memberi pengaruh pada pendapatan MRT dari aspek tiket. Namun, MRT Jakarta juga mesti mengembangkan upaya memiliki pendapatan dari nontiket untuk mengurangi besaran subsidi.
Dengan memperhatikan aspek kehati-hatian itu, MRT Jakarta menargetkan besaran tarif dan subsidi bisa ditetapkan pada Agustus 2018. Waktu itu dipilih supaya bisa dibahas dalam pembahasan APBD 2019.
William menjelaskan, aspek pendapatan nontiket juga tengah dibahas karena pendapatan dari nontiket juga penting. Untuk nonfarebox yang sudah dikembangkan adalah periklanan, telekomunikasi, dan ritel.
Nantinya itu akan berkembang ke kawasan berorientasi transit (TOD) dan hak penamaan stasiun.