Keindahan Buka Bersama Kebinekaan di Wihara Tiga Abad
Sejumlah anak muda dan dewasa bersila di atas tikar di lantai II Wihara Dharma Jaya Sin Tek Bio, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Minggu (20/5/2018). Di dalam wihara berusia 320 tahun itu, buka bersama kebinekaan diisi saling menguatkan dan berbagi unek-unek tentang isu toleransi antarumat beragama di Indonesia yang dilukai serangkaian teror bom di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, sepekan sebelumnya.
Anak-anak muda itu tidak mau situasi mencekam ini berlarut-larut. Mereka pun mengajak anak-anak muda yang peduli untuk berkumpul dan bersuara di dalam acara bertajuk ”Bukber Bhinneka”.
Meski acaranya bertema buka bersama, tetapi diikuti peserta lintas agama. Mereka yang beragama Nasrani pun ikut dalam kegiatan yang digagas oleh Ayu Kartika Dewi (35), perempuan berhijab yang membagi-bagikan bunga mawar putih di Gereja Katedral dan Gereja Paroki Santo Ignatius Loyola, pada hari yang sama saat tiga teror bom menyerang Surabaya, Minggu lalu.
Aksi Ayu bersama sahabatnya itu diapresiasi Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo Pr. Ia juga mendapatkan pujian karena aksinya beredar viral di media sosial.
Mengetahui aksinya direspons baik publik, Ayu kembali berinisiatif mengumpulkan teman-temannya dari grup Whatsapp dan medsos. Ia mengundang siapa pun yang peduli tentang toleransi untuk bergabung dalam buka bersama bertema ”Bhinneka Tunggal Ika”. Dalam sepekan, ia berhasil mengumpulkan 20 peserta.
Ia juga berhasil mengumpulkan donasi untuk menyediakan beragam menu takjil. Pengelola wihara ikut menyambut baik kegiatan itu. Mereka menyediakan aneka makanan, minuman, dan permen untuk peserta buka bersama.
Masih banyak orang yang peduli dan ingin merawat toleransi.
Tiza (33), salah satu peserta, mengungkapkan, ada banyak kecemasan soal virus intoleransi yang mengemuka usai serangkaian teror kemarin. Di lingkup keluarganya sendiri pun, Tiza merasakan perbedaan agama justru semakin memperlebar jarak. Ada yang gemar membagi-bagikan kabar bohong (hoaks) dan propaganda di medsos. Ada pula yang menolak berempati terhadap korban teror bom.
Hal itu membuat perempuan yang bekerja sebagai aktivis lingkungan ini merasa perlu mencari jawaban. Di forum buka bersama Bhinneka, dia merasa optimistis karena masih banyak orang yang peduli akan toleransi. ”Saya cemas dengan fenomena yang terjadi belakangan ini. Saya tidak tahu bagaimana mengatasinya. Makanya saya di sini,” ungkap Tiza.
Desi Bonita (27), yang beragama Kristen, juga cemas dan khawatir dengan kondisi akhir-akhir ini. Ia bahkan sempat takut untuk beribadah di gereja pasca-serangkaian teror bom di Surabaya.
Namun, pandangannya berubah saat melihat posting-an di medsos tentang aksi bagi-bagi bunga mawar putih yang dilakukan Ayu dan sahabatnya. Menurut Desi, itulah hal yang lebih banyak dibutuhkan masyarakat saat ini. Mereka yang menjunjung tinggi keberagaman dan toleransi masih banyak.
Ia merasa harus turut serta dalam gerakan ini sekaligus memanggungkan bahwa toleransi warga Indonesia masih kuat. ”Jadi tidak hanya ramai-ramat hashtag #kamitidaktakut saja di medsos. Kita harus bisa melakukan apa saja yang kita bisa di sini,” kata Desi.
Novi Dwi Jayanti (24), yang dibesarkan dalam keluarga berbeda agama, bahkan terisak saat berbagi dengan peserta buka bersama. Ia tak sanggup menahan air mata, lidahnya tercekat, dan kalimatnya terbata-bata.
Terorisme sangat mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Sejak kecil, Novi sudah melihat toleransi pada ibunya yang Nasrani dan ayahnya yang Muslim. Keduanya dapat bertoleransi dan memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya.
”Saya melihat sendiri sejak kecil sampai sekarang, ayah dan ibu saya bisa bertoleransi. Kenapa itu tidak bisa dilakukan masyarakat?” ujar perempuan yang akrab disapa Dije itu dengan suara bergetar.
Inisiator acara buka bersama Bhinneka, Ayu Kartika Dewi, mengatakan, semua orang bisa menyikapi isu intoleransi dengan cara sederhana. Pada bulan Ramadhan ini, ia ingin membuat acara dengan simbol merawat toleransi yang kuat. Ternyata, dalam waktu singkat, ia bisa melaksanakan acara itu. Ia berharap kegiatan ini dapat menularkan virus ke masyarakat sehingga gerakan-gerakan bertema menghargai perbedaan dapat muncul ke permukaan.
”Ini adalah upaya kami untuk menunjukkan bahwa masih banyak orang yang peduli dan ingin merawat toleransi. Kami juga berempati sekaligus merasakan kepedihan teman-teman Nasrani,” kata Ayu.
Selain aktif di isu-isu toleransi dan keberagaman, Ayu juga merupakan salah satu pendiri program Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali (Sabang Merauke). Ini adalah program pertukaran pelajar antardaerah dengan tujuan menanamkan toleransi, pendidikan, dan keindonesiaan. Dengan tinggal di keluarga angkat yang berbeda latar agama, budaya, atau suku selama 2-3 minggu, peserta yang semuanya adalah pelajar diharapkan dapat mengalami sekaligus merasakan toleransi.
Pihak wihara pun sangat mendukung acara yang dilaksanakan oleh anak-anak muda tersebut. Santoso (72), Ketua Yayasan Wihara Dharma Jaya, Pasar Baru, mengatakan, ia terharu kegiatan buka bersama bisa dilaksanakan di wihara. Menurut dia, wihara selalu terbuka untuk semua agama. Tak jarang, sejumlah turis tertarik untuk mengunjungi wihara tua tersebut.
”Saya bangga, bangunan ala kadarnya seperti ini justru mau dikunjungi,” kata Santoso.
Dalam kesehariannya pun, wihara sudah tidak asing dalam kegiatan bertema toleransi. Pengelola wihara kerap melakukan bakti sosial berupa pembagian beras ataupun pengobatan gratis tanpa memandang suku dan agama. Selain itu, wihara juga kerap membantu seseorang yang keluarganya meninggal tetapi tidak punya dana untuk penguburan. Wihara biasanya membantu memberikan kain kafan atau peti mati.
”Seharusnya kita selalu bisa hidup rukun karena negara ini berdasarkan Pancasila. Semoga toleransi semakin kuat,” kata Santoso.
Peserta buka bersama sepakat, toleransi tidak akan muncul sekejap dengan doktrin dan ceramah. Toleransi akan lebih berarti dan mengena saat setiap individu merasakan pengalaman sendiri. Contohnya, bisa dengan berbuka bersama di rumah ibadah pemeluk agama lain. Dalam perbedaan pun ada keindahan.