Warga Pulau Pari berunjuk rasa di depan Kantor Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya, Jakarta, Senin (9/4/2018) pagi. Aksi ini dilakukan dalam rangka menyambut Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman terhadap sengketa tanah Pulau Pari.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional/BPN DKI Jakarta diminta menginventarisasi data warga Pulau Pari disertai pengukuran dan pemetaan ulang kepemilikan hak atas tanah di sana. Langkah itu untuk mengembalikan hak lahan pada warga yang berhak.
Bila dalam pemeriksaan ditemukan alas hak warga, itu perlu segera diproses untuk diperjelas status kepemilikannya. "Supaya jelas," kata Pelaksana Tugas Ketua Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Dominikus Dalu di Jakarta, Selasa (10/4).
Senin lalu, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya menggelar jumpa pers soal maladministrasi proses terbitnya 76 sertifikat tanah di Pulau Pari: 62 sertifikat hak milik (SHM) dan 14 sertifikat hak guna bangunan (SHGB).
Selain evaluasi penerbitan sertifikat, Ombudsman meminta pengembalian Pulau Pari sebagai kawasan permukiman penduduk nelayan. Itu sesuai Pasal 171 Ayat 2 Huruf e Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.
Pengembalian kawasan pemukiman itu sekaligus upaya perlindungan terhadap pulau-pulau kecil, nelayan, lingkungan, dan ekosistem laut. “Bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengembangkan Pulau Pari sebagai salah satu kawasan wisata di Kepulauan Seribu, pembangunan pariwisata itu agar mengintegrasikan kepentingan warga Pulau Pari,” ujar Dominikus.
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno tiba di Kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya, Senin (9/4/2018) pagi. Sandiaga memenuhi panggilan Ombudsman sebagai pihak yang terkait sengketa Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
Soal Pulau Pari sebagai kawasan wisata, Senin lalu Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan bahwa Pulau Pari dan Kepulauan Seribu lain akan dikembangkan sebagai kawasan wisata olahraga berwawasan lingkungan.
Pengembangan itu dimaksudkan agar lapangan kerja dan peluang usaha tetap tersedia bagi warga. Namun, tetap membuka peluang investasi perusahaan.
Monopoli kepemilikan
Dugaan maladministrasi diterima Ombudsman RI dari Forum Peduli Pulau Pari setahun lalu. Mereka menyoroti penerbitan SHM dan SHGB atas nama PT Bumi Pari Asri di Pulau Pari.
Ombudsman menindaklanjuti dengan serangkaian pemeriksaan, yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara dan jajarannya, serta Kementerian ATR/BPN dan Pemprov DKI Jakarta. Ombudsman juga investigasi lapangan, minta keterangan ahli, dan menelaah dokumen terkait laporan.
Simpulannya, maladministrasi sejumlah hal, mulai pengukuran yang tak diinformasikan hingga penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan monopoli hak atas lahan. "Warga Pulau Pari tidak memiliki kesempatan menyatakan keberatan terhadap pengukuran,” kata Dominikus.
Penerbitan 62 SHM juga tak mengikuti prosedur Pasal 18 Ayat 1, 2, 3, dan 4, serta Pasal 26 Ayat 1, 2, dan 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam penerbitan 62 SHM itu, kata Dominikus, juga ditemukan penyalahgunaan wewenang. Menyebabkan monopoli kepemilikan hak atas tanah dan peralihan fungsi lahan. Itu bertentangan Pasal 6, 7, dan 13 Ayat 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Adapun untuk penerbitan 14 SHGB yang dikuasai PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Raya Griyanusa, Ombudsman menemukan penyalahgunaan wewenang yang bertentangan berbagai UU dan peraturan terkait rencana tata ruang wilayah DKI Jakarta 2030 hingga UU tentang adminisrasi pemerintahan.
Penerbitan itu juga mengabaikan fungsi sosial tanah, monopoli kepemilikan hak, mengabaikan kepentingan umum pemanfaatan ruang, melanggar RTRW (kawasan permukiman), dan melanggar asas-asas pemerintahan yang baik.
Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara pun dinilai mengabaikan kewajiban hukum untuk evaluasi dan mengawasi pemegang SHGB. “Korporasi pemegang SHGB sejak 2015 tak melakukan aktivitas di atas tanah atau membiarkan tanah telantar,” kata Dominikus.
Pidana berlanjut
Meski laporan akhir hasil pemeriksaan Ombudsman menemukan maladministrasi, proses pidana dugaan penyerobotan lahan oleh arga Pulau Pari berlanjut. Padahal, sertifikat lahan yang dijadikan dasar mendakwa Sulaiman (36) itu termasuk yang dinyatakan maladministrasi.
“Kami menilai hasil Ombudsman itu harus segera ditindaklanjuti Kejaksaan (Negeri Jakarta Utara) dengan mencabut dakwaannya,” tutur anggota Tim Hukum Koalisi Selamatkan Pulau Pari yang juga mendampingi Sulaiman, Tigor Hutapea.
Proses hukum Sulaiman terkait sengketa lahan Pulau Pari antara warga dengan PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Raya Griyanusa, anak perusahaan Bumi Raya Utama Group. Ada 14 SHGB atas nama dua perusahaan itu dan 62 SHM yang nama-nama pemiliknya terkait kedua perusahaan. Penerbitan 76 sertifikat itu membuat kedua perusahaan menguasai 90 persen lahan.
Oleh Kepolisian Resor Kepulauan Seribu, Sulaiman dituduh menyerobot lahan, mendirikan bangunan, dan menyewakan lahan orang lain. Ia diperiksa atas laporan Direktur Utama PT Bumi Pari Asri.