JAKARTA, KOMPAS — Wacana pemberian pinjaman lunak kepada mahasiswa hendaknya turut menyumbang terhadap perencanaan jangka panjang kebutuhan sumber daya manusia, kuota pendidikan tinggi, dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini agar pemerintah bisa mengetahui pola dan waktu yang dibutuhkan bagi alumni perguruan tinggi untuk masuk ke bursa kerja sesuai bidangnya.
”Kalau sistem pemetaan berdasarkan data pemberian pinjaman lunak kepada mahasiswa dilakukan, akan tampak pola tren pendidikan tinggi dan bisa diintegrasikan dengan kebutuhan di sektor kerja,” kata Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amich Alhumami di Jakarta, Selasa (20/3).
Menurut dia, wacana pemberian pinjaman lunak merupakan hal yang positif karena memberikan akses kepada masyarakat agar bisa mengikuti pendidikan tinggi. Berdasarkan data Bappenas tahun 2017, baru 31,7 persen penduduk Indonesia berusia 19-23 tahun yang duduk di bangku kuliah. Jika dibandingkan dengan data Bank Dunia di tahun yang sama, Indonesia tertinggal dari Malaysia (34 persen), Thailand (52) persen, dan Korea Selatan (92 persen).
”Pendidikan tinggi berupa universitas, politeknik, akademi, institut, dan sekolah tinggi memungkinkan seseorang menguasai teknologi, pandai di bidang-bidang spesifik, dan inovatif yang menjadikan dia tenaga kerja terampil,” ujar Amich.
Namun, pemberian pinjaman jangan sekadar memberi akses. Harus ada langkah lanjutan untuk membaca pola penyerapan lulusan perguruan tinggi di bursa tenaga kerja. Menurut Amich, jika suatu sektor pekerjaan sudah jenuh, bisa diambil tindakan pengurangan kuota mahasiswa baru bidang ilmu tersebut di perguruan tinggi.
Tentukan penerima
Hal penting lain yang harus dipikirkan secara saksama adalah menentukan orang-orang yang boleh mendaftar untuk pinjaman tersebut di bank. Amich menyarankan agar diberikan kepada masyarakat dari kalangan ekonomi menengah-bawah. Mereka adalah orang-orang yang bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi kesulitan membiayai pendidikan tinggi.
”Bagi lulusan SMA sederajat yang berasal dari ekonomi miskin dibantu pemerintah melalui beasiswa Bidikmisi,” katanya. Per tahun 2018 terdapat 90.000 penerima Bidikmisi. Jumlah ini akan ditambah sebanyak 30.000 beasiswa pada tahun 2019.
Benahi sistem
Amich mengungkapkan, pada awal 1980-an pemerintah pernah membuat program pinjaman lunak yang gagal akibat kredit macet. Program ini dihentikan pertengahan 1980-an karena banyak alumnus perguruan tinggi tidak melunasi utang mereka kepada bank.
Menanggapi permasalahan tersebut, dosen Keuangan dan Perbankan Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Zaafri Husodo, mengingatkan pentingnya membenahi data kependudukan terintegrasi.
Nomor induk kependudukan semestinya otomatis terhubung dengan nomor rekening bank, nomor induk mahasiswa, nomor pokok wajib pajak, dan nomor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dengan demikian, pergerakan seseorang bisa dipantau pemerintah.
”Apabila individu tersebut mangkir dari kewajiban membayar utang, layanan kesehatan, transportasi, ataupun izin pergi ke luar negeri ditangguhkan,” ujar Zaafri.
Pemerintah juga bisa mencontoh Australia yang memberi waktu hingga 30 tahun untuk mencicil utang tersebut.
Di samping itu, dia juga mengusulkan untuk tidak langsung memberlakukan pinjaman lunak secara besar-besaran. Bisa dilakukan percobaan selama lima tahun di perguruan-perguruan tinggi berbadan hukum. Setelah itu dievaluasi dan diberi masa transisi selama tiga hingga lima tahun.
”Perguruan tinggi yang mapan bisa menjadi penjamin seseorang bisa mendaftar untuk pinjaman lunak ke bank. Perguruan tinggi memiliki data mahasiswa yang layak diberi pinjaman dan bisa mengelola dana tersebut,” kata Zaafri.
Masih dibahas
Secara terpisah, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, di Jakarta, Senin lalu, menyatakan kredit pendidikan untuk pelajar dan mahasiswa didorong segera terwujud. Namun, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi masih menunggu hasil pembahasan Kementerian Koordinator Perekonomian.
”Rencana student loan itu baru dibahas dengan Kementerian Koordinator Perekenomian. Ini masalah bisnis. Jadi, kami belum bahas rincian dan operasionalnya,” kata Nasir.
Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo mendorong ada kredit untuk para pelajar dan mahasiswa (student loan). Kredit ini bisa menjadi salah satu solusi untuk mendorong semua warga masyarakat mengakses pendidikan. Pemerintah masih mencari skema pengembalian kredit yang paling efektif (Kompas, 16/3/2018).
Nasir mengatakan, kredit pendidikan menjadi peluang bagi anak Indonesia untuk tetap melanjutkan pendidikan tanpa kendala dana. ”Untuk mahasiswa, nanti bisa diatur mahasiswa yang boleh mengambil kredit. Seperti mahasiswa bidang teknik informatika, misalnya, punya peluang kerja yang baik dan mampu menggerakan ekonomi,” kata Nasir.
Nasir menilai di era digital ini, termasuk dengan diberlakukannya kartu tanda penduduk elektronik, hambatan soal kesulitan pengembalian kredit bisa diatasi. Data peminjam lebih bisa terjamin seiring database penduduk yang semakin baik.
Menurut Nasir, mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi punya peluang untuk bekerja di bidang pekerjaan baru dengan berkembanganya teknologi informasi dan komunikasi, termasuk pula bermunculannya wirausaha yang memanfaatkan perkembangan era digital.