Dibalik Megahnya Candi Borobudur
Matahari masih di peraduan, tetapi di beberapa bagian Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah sudah dipenuhi orang. Mereka rela mengurangi jam tidur, demi melihat langsung terbitnya sang surya dari Candi Borobudur. Kehijauan pohon-pohon di perbukitan sekitar dan kabut yang melingkupinya, perlahan-lahan disapu kuning-merahnya matahari membuat mata enggan terpenjam.
Kesan mistis mengiringi sang surya yang muncul perlahan-lahan di antara stupa-stupa candi. Tak hanya mata kita yang terlena dengan keindahan itu, tetapi telinga pun rela meresapi kicauan burung-burung yang beterbangan di sekitar Borobudur. Sayang, suasana yang ingin kita nikmati selama mungkin itu, terganggu keriuhan serombongan pengunjung yang sibuk berswafoto sambil meloncat beramai-ramai!
Ingatan kita langsung melayang pada upaya dan kerja keras yang dilakukan banyak orang dari berbagai bangsa demi mempertahankan kemegahan Candi Borobudur. Tak hanya uang, tetapi juga tenaga dan pikiran yang dicurahkan demi mempertahankan keberadaan Borobudur.
Semua itu sudah dilakukan sejak keberadaan Borobudur diketahui Letnan Gubernur Jenderal Sir Stamford Raffles sebagai Perwakilan Serikat Dagang Inggris di Hindia Timur, sekitar tahun 1814 (Kompas, 18 Februari 2012). Borobudur yang rusak berat dan tertutup semak belukar itu, dari waktu ke waktu terus mengalami perbaikan demi perbaikan sampai sekarang.
Namun ancaman dari ulah “iseng” sebagian manusia yang mengunjungi Borobudur, juga terus terjadi sampai sekarang. Selain itu ada pula ancaman alami pada Borobudur, candi Buddha yang diperkirakan dibangun tahun 800 Masehi semasa kejayaan Dinasti Syailendra (750-850 Masehi), penganut Buddha Mahayana.
Tahun 2011 misalnya, saat Gunung Merapi erupsi, abu vulkanik yang ditimbulkannya menutupi bangunan candi megah ini. Untuk membersihkannya diperlukan waktu lebih satu tahun, dan melibatkan sekitar 550 relawan masyarakat sekitarnya. Dana yang dikucurkan sekitar 360.000 dollar AS yang merupakan sumbangan dari lebih 10 negara dan perusahaan multinasional dunia (Kompas, 20 November 2011).
Oleh karena itulah, ketika ada pengunjung Borobudur yang bertingkah laku “tak ramah” pada candi yang termasuk warisan budaya dunia ini, seharusnya ada “rasa nyeri” di dada kita. Untuk membuat Borobudur bisa dinikmati anak-cucu nanti, kalaupun tak bisa turut merawat warisan nenek moyang ini, sebaiknya kita turut menjaganya.
Kompas, 2 Maret 1972 atau tepat 46 tahun lalu memuat berita tentang film berjudul Borobudur The Cosmic Mountain, produksi Zodiac Films Ltd Hongkong yang diedarkan ke seluruh dunia. Film berdurasi 42 menit ini melukiskan Candi Borobudur dalam tata warna. Film ini dijual dan diputar di seluruh dunia dengan tujuan menggalang dana untuk memperbaiki Borobudur. Dana untuk perbaikan candi itu tak mungkin hanya dipikul bangsa Indonesia.
Ketika itu, tahun 1972, air menjadi penyebab utama kerusakan batu-batuan Borobudur. Air yang masuk di antara celah-celah batuan candi mengikis tanah di bawah batu-batuan. Air yang mengandung beragam mineral itu juga menimbulkan reaksi yang merusak batu-batuan candi.
Komitmen
Sebelumnya, pada 1968 UNESCO, organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB, sudah berkomitmen membantu Indonesia memperbaiki Borobudur (Kompas, 28 Februari 1968). Perbaikan candi itu diperkirakan memerlukan waktu minimal 10 tahun.
Awalnya UNESCO menyediakan bantuan 2,8 juta dollar, lalu naik menjadi 3,5 juta-4 juta dollar (Kompas, 22 April 1969). Walaupun begitu, perbaikan atau restorasi Borobudur terancam macet, karena dananya belum juga tersedia. Bantuan UNESCO tak semuanya berupa uang, tetapi berupa tenaga ahli dan berbagai peralatan.
Padahal untuk mulai mengerjakan restorasi awal diperlukan dana sekitar Rp 1,4 miliar (Kompas, 22 Juli 1969). “Saya harus yakin lebih dulu bahwa biaya sudah tersedia. Ini penting supaya pekerjaan tidak terhenti di jalan,” kata Ir Samingun, Ketua Proyek Restorasi Borobudur waktu itu.
Setelah itu bantuan demi bantuan berdatangan. Arsip harian Kompas menunjukkan berbagai kalangan dari berbagai bangsa turut berpartisipasi dalam penggalangan dana untuk merestorasi Borobudur. Bantuan antara lain datang dari India, Jerman, Belanda, Belgia, Perancis, Italia, Cyprus, Spanyol, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Iran, Malaysia, Thailand, Singapura, Myanmar, dan Filipina.
Pemberi bantuan itu tak hanya pemerintah negara bersangkutan, tetapi juga masyarakat sipil. Misalnya, pengumpulan dana yang dilakukan Perhimpunan Persahabatan Jerman-Indonesia dan warga Kota Braunschweig (Kompas, 28 Februari 1970). Di Belanda, perkumpulan International Correspondence and Hobby Club mendesak pemerintahnya mengeluarkan perangko khusus untuk restorasi Borobudur (Kompas, 6 April 1970).
Di AS, mantan Konsul AS di Surabaya, Gilbert Kinney mengkoordinasi kegiatan Borobudur Incorporation cabang AS untuk mengumpulkan dana dari perseorangan maupun organisasi yang bersimpati pada pemugaran Borobudur. Uang yang berhasil dikumpulkan sekitar 1,2 juta dollar (Kompas, 4 Juli 1974).
Sementara Jepang membentuk Association for the Restoration of Borobudur sebagai wadah untuk mengumpulkan sumbangan (Kompas, 13 Juni 1970). Selain itu, lewat Japan’s Asian Cultural Centre for UNESCO, badan semi Pemerintah Jepang untuk pemeliharaan peninggalan kebudayaan kuno di Asia, memberi sumbangan 600.000 dollar selama enam tahun, atau 100.000 dollar per tahun.
Di dalam negeri, penggalangan dana juga digalakkan. Sumbangan bagi Borobudur antara lain datang dari Yayasan Mitra Budaya dan PN Pertamina. Selain itu, setiap siswa diminta menyumbang Rp 1.Hal ini lebih untuk menunjukkan, seluruh bangsa Indonesia ikut menyumbang pemugaran Borobudur (Kompas, 13 November 1972).
Sampai tahun 1970 pengerjaan restorasi Borobudur tersendat-sendat karena keterbatasan dana. Padahal ancaman kerusakannya terus berlangsung. “Dindingnya sudah miring dan menggelembung, melesak ke dalam tanah. Batu-batuannya rapuh karena air yang bercampur lumpur itu tak ada jalan ke luarnya. Air yang meresap ke batu-batuan dan proses panas-dingin yang berlangsung ratusan tahun, merusak batu-batuan Borobudur,” kata Drs R. Soekmono, Kepala Dinas Purbakala (Kompas, 14 Maret 1970).
Biaya membengkak
Seiring dengan tingkat kerusakan Borobudur yang semakin parah, keperluan dana restorasinya pun membengkak. Untuk Keperluan pembelian tanah dan membuat laboratorium pemeriksaan batu-batuan Borobudur diperlukan sekitar Rp 80 juta (Kompas, 26 Januari 1972). Dana itu di luar biaya pemugaran yang diperkirakan mencapai 7 juta-8 juta dollar (Kompas, 13 November 1972).
Tahun 1976 biaya pemugaran naik lagi menjadi sekitar 11,9 juta dollar (Kompas, 19 November 1976). Sedangkan Kompas, 20 November 1980 mencatat, untuk pemugaran Borobudur, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan dana 14 juta dollar. Secara keseluruhan pemugaran menghabiskan biaya lebih dari 18,5 juta dollar. Jumlah itu di luar dana sekitar 300.000 dollar untuk perawatan dan pendidikan ahli konservasi Indonesia (Kompas, 25 Februari 1983).
Pemugaran Borobudur diperkirakan selesai tahun 1980-1981. Akan tetapi perkiraan itu mundur sekitar akhir 1982. Faktanya, seperti dicatat Kompas, 26 Juni 1983, pemugaran Borobudur masih terus berlanjut. Di selatan candi misalnya, masih ada bangunan besi berukuran 70 x 80 meter seberat 160 ton yang harus dibongkar. Bangunan itu semula digunakan untuk “rumah sakit” batu-batuan candi.
Pemugaran Borobudur meliputi pekerjaan membongkar, mencatat, membersihkan, mengawetkan, menyusun dan membangun kembali candi di atas fondasi lapisan beton yang kuat. “Borobudur tidak hanya menjadi milik bangsa Indonesia, melainkan menjadi milik dunia,” kata Dr V. Prakash, pejabat Perwakilan UNESCO di Indonesia seperti dikutip Kompas, 20 November 1980.
Di luar perkiraan biaya pemugaran tersebut, ada pula bantuan ahli dan peralatan dari berbagai pihak. Misalnya, alat-alat metereologi, dokumen, kendaraan, semen, besi beton, sampai penyediaan para ahli dari berbagai bidang seperti arkeologi, geologi, arsitektur, teknik sipil, ahli gempa, juga ahli pengawetan batu pahatan dan laboratorium.
Satu demi satu
Meskipun sebelumnya sudah dilakukan berbagai persiapan pemugaran, namun secara resmi pemugaran Candi Borobudur baru dilakukan mulai 10 Agustus 1973. Presiden Soeharto yang meresmikan dimulainya pemugaran tersebut (Kompas, 9 Agustus 1973).
Salah seorang tenaga ahli dari Belgia, Von Combruge memperkirakan Borobudur bisa bertahan sampai sekitar 1.000 tahun setelah dipugar. Ini antara lain karena pemugaran candi dilakukan menyeluruh. Semua batu-batuan satu demi satu dirawat dan diperbaiki, sebelum disusun kembali.
Kompas, 19 November 1976 menulis, pengecoran beton pelindung Borobudur sekitar 2.000 meter kubik, yang kemudian meluas menjadi sekitar 4.000 meter kubik (Kompas, 26 Juni 1983). Pengecoran ini pun melewati “syarat ketat”. Misalnya, semen yang digunakan untuk membeton candi harus sudah dicor, maksimal sebulan setelah ke luar dari pabrik. Oleh karena itulah, untuk pemugaran Borobudur ada perjanjian khusus antara tim pemugaran dan pabrik semen di Jawa Timur.
Pembetonan dilakukan untuk menjaga stabilitas bangunan agar tak mudah goyah. Mengingat saat didirikan sekitar abad ke-8, batu-batuan candi disusun tanpa penguat. Lapisan beton dari tingkat pertama sampai keempat candi mendukung bangunan itu bagai sebuah jembatan kokoh.
Selain pembetonan, dibuat pula lapisan kedap air pada batu-batuan candi sebelah dalam. Juga dibangun saluran air untuk menampung air hujan dan melancarkan jalan air menerobos batu-batuan candi. Untuk melindungi batu-batuan candi, dipasang lapisan tembaga kedap air di sela-sela batu candi yang sudah diawetkan dengan bahan kimia tertentu.
Pimpinan Proyek Pemugaran Borobudur Drs R. Soekmono memastikan sebelum disusun kembali seperti bentuknya semula, semua batu-batuan candi sudah melewati proses pengawetan. Diakuinya, menyusun kembali sekitar 25.000 meter kubik batu-batuan candi ke tempatnya semula itu ruwet. Untuk mencatat letak sekitar 300.000 batuan candi dilakukan dengan komputer.
Perjalanan panjang
Penyelamatan Candi Borobudur sebenarnya sudah berlangsung pada 1900. Tahun 1905 Pemerintah Belanda yang menjajah Indonesia, menunjuk arsitek Theodore van Erp untuk memugar Borobudur dan dimulai tahun 1907. Pemugaran itu berlangsung sampai tahun 1911 (Kompas, 9 Agustus 1973).
Seiring berjalannya waktu, Borobudur terus mengalami kerusakan. Kondisinya semakin memprihatinkan karena proses oksidasi yang merusak batu-batuan candi dan semakin miringnya dinding-dinding Borobudur. Tahun 1948 Pemerintah Republik Indonesia yang baru merdeka mengundang ahli purbakala dari India untuk meneliti Borobudur. Sayang, laporan penelitian itu hilang. Tahun 1960 Candi Borobudur resmi dinyatakan dalam keadaan darurat.
Tahun 1968 dibentuk panitia nasional untuk menyelamatkan Borobudur, Namun usaha yang bisa kita lakukan tak mampu menahan kerusakan candi itu. Tahun 1970 dibentuk lagi sebuah panitia untuk Borobudur. Sebelumnya, tahun 1967 ketua proyek pemugaran Soekmono yang mengikuti Kongres Orientalis Internasional di AS, berhasil menarik perhatian UNESCO dan peserta kongres terhadap Borobudur. Secara aklamasi UNESCO dan peserta kongres berkomitmen pada pemugaran candi ini.
Sampai sekitar akhir 1970-an ancaman alami Borobudur yang menjadi kekhawatiran para ahli adalah air hujan. Air yang menerobos celah di antara batu-batuan itu merusak ukiran batu, hiasan pada dinding dan memengaruhi kestabilan bangunan candi (Kompas, 19 November 1976).
Di samping itu, Soekmono menunjukkan, batu candi yang telah dibersihkan dan kembali diletakkan di tempatnya semula, dalam waktu sekitar enam bulan ternyata ditumbuhi lumut. Rupanya faktor kelembaban lingkungan sangat berpengaruh pada berkembangbiaknya lumut di batu candi.
Untuk menghilangkan lumut dari batu candi menjadi tantangan tersendiri bagi para ahli yang terlibat dalam pemugaran Borobudur. Selain lumut, batuan candi juga rentan terhadap beberapa jenis algae. Pestisida yang digunakan untuk melapisi batu-batuan candi tak mampu menghentikan tumbuhnya lumut.
Sampai tahun 1983 kompleks Candi Borobudur masih terus dibenahi. Beberapa kali perhatian dunia kembali menoleh pada bangunan kuno ini, seperti saat terjadi gerhana matahari total pada 11 Juni 1983 yang melintas tepat di atas candi (Kompas, 26 Juni 1983).
Warisan
Tahun 1990 Indonesia mengajukan Kompleks Candi Borobudur, Mendut dan Pawon menjadi Warisan Budaya Dunia ke UNESCO, di samping Kompleks Candi Prambanan dan Sewu, Situs Prasejarah Sangiran Solo, dan Kompleks Lukisan Gua Maros Sulawesi Selatan (Kompas, 11 September 1990).
Candi Borobudur yang menjadi salah satu warisan budaya dunia ini, kemudian berkembang menjadi salah satu tujuan utama pariwisata. Prof Dr R. Soekmono yang terlibat dalam pemugaran Borobudur mengingatkan, meskipun menjadi obyek wisata, kepentingan candi sebagai obyek arkeologi dan spiritual harus pula dikedepankan (Kompas, 25 Mei 1991).
Soekmono bercerita, tahun 1960-an sempat muncul ide membangun dan mengoperasikan kereta listrik gantung di atas Candi Borobudur. Ada pula ide membangun lapangan tenis dan kolam renang di kompleks candi ini. “Padahal suara musik dari kaset yang dibawa pengunjung saja sudah merupakan gangguan serius terhadap spiritual candi,” katanya.
Tahun 1980-an di sekitar Borobudur kerap terdengar suara musik sampai teriakan pedagang asongan. Semua itu memecah keheningan Borobudur dan mencemari nilai spiritual sang candi. Sejak sekitar tahun 1980 pengelolaan Borobudur berada dibawah PT Taman Wisata Candi Borobudur (Kompas, 15 Juli 1991).
Instansi tersebut antara lain “menjual” 20 kamar tamu yang dibangun di kompleks Candi Borobudur. Semula bangunan itu digunakan para peneliti berkaitan dengan Borobudur. Untuk menutupi biaya operasional sekitar Rp 1 miliar per tahun, PT Taman Wisata Candi Borobudur antara lain mendapatkan dana dari penjualan karcis masuk, suvenir, parkir sampai toilet.
Pengalaman memugar Candi Borobudur melahirkan sejumlah ahli. Pada lingkup ASEAN, Borobudur menjadi pusat pelatihan tenaga pemugaran candi. Tak heran, ketika UNESCO terlibat dalam pemugaran situs Ankor Wat di Kamboja, tenaga ahli dari Indonesia pun diikut-sertakan (Kompas, 8 Maret 1995).
Secara keseluruhan, pemugaran Candi Borobudur memerlukan waktu lebih dari 15 tahun, menghabiskan dana tak kurang dari 20 juta dollar, dan melibatkan setidaknya 27 negara (Kompas, 4 Juni 2007). Vijay K Khandelwal, doktor teknik sipil dalam laporannya tahun 1975 antara lain menyebutkan komputer berperan dalam pengendalian proyek, meregistrasi batuan dan memadupadankan batuan yang hilang, rusak atau terlepas dari susunannya.
Sedangkan untuk penataan kawasan Candi Borobudur dikucurkan dana tak kurang dari Rp 72,5 miliar (Kompas, 15 Agustus 2007). Sekitar 3.000 pedagang dan warga di sekitarnya berpenghasilan dari Borobudur. Oleh karena itulah ketika Gunung Merapi meletus tahun 2010, dan abu vulkaniknya menutupi candi sampai setebal 5-7 sentimeter, kawasan ini ditutup (Kompas, 8 November 2010). Para pedagang terpaksa mencairkan tabungan mereka demi memenuhi kebutuhan hidup.
Penutupan harus dilakukan untuk membersihkan candi dari abu vulkanik yang mengandung kadar Ph 4-5, dan dapat merusak arca maupun lempeng timah hitam yang melapisi dinding candi. Abu itu juga menyumbat sistem drainase bangunan Borobudur (Kompas, 11 November 2010). Untuk memulihkan candi dan sekitarnya, UNESCO mengucurkan sekitar 3 juta dollar (Kompas, 18 Februari 2011).
Dengan segala upaya yang sudah dilakukan demi keberadaan Candi Borobudur, alangkah tak eloknya bila kita sampai hati untuk “merusaknya” lewat perbuatan “iseng” seperti meloncat-loncat, berteriak atau memutar lagu keras-keras, apalagi sampai tega mencorat-coret bebatuan candi. Semoga Borobudur tetap berdiri megah sampai lebih dari 1.000 tahun...