JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Agung memastikan akan menggelar sidang peninjauan kembali atau PK yang diajukan oleh kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta, pekan depan, 26 Februari 2017. Menurut rencana, sidang PK itu digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, tempat pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara Basuki dalam kasus penodaan agama.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah, Selasa (20/2) di kantornya di Jakarta menuturkan, akta peninjauan kembali (PK) telah disampaikan oleh penasihat hukum Basuki pada 2 Februari 2018.
Dalam nota PK tersebut, kuasa hukum Basuki menyebut adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam putusan hakim pada pengadilan tingkat pertama. Kuasa hukum Basuki antara lain mendasarkan pengajuan PK tersebut pada putusan Pengadilan Negeri Bandung, 14 November 2017, terhadap terdakwa Buni Yani.
Dalam persidangan di Bandung, majelis hakim menyatakan Buni Yani terbukti melanggar Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pasal itu mengatur tentang orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik. Tindakan Buni Yani itu terkait dengan pidato Basuki di Kepulauan Seribu, September, 2016. Buni Yani divonis 2 tahun penjara, dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan (Kompas, 15 November 2017).
Dihubungi terpisah, kuasa hukum Basuki, Josefina A Syukur, enggan menanggapi lebih jauh pengajuan PK tersebut dan alasannya. “Lebih jauh mengenai permohonan PK itu nanti bisa sama-sama disaksikan oleh publik, 26 Februari,” ujarnya.
Tergantung hakim
Abdullah mengatakan, majelis hakim PN Jakarta Utara akan mempertimbangkan apakah permohonan PK tersebut bisa diterima ataukah tidak.
“Majelis hakim nanti yang menilai pertimbangan hakim mana yang disebut kekhilafan hakim atau merupakan kekeliruan yang nyata. Bukti-bukti dari pemohon akan diperiksa, apakah pemohon bisa meyakinkan majelis bahwa memang telah terjadi kekhilafan hakim, dan kekeliruan yang nyata itu,” katanya.
Namun, ada ketentuan di dalam Pasal 69 UU Nomor 14 Tahun 1984 tentang Kekuasaan kehakiman mensyaratkan, tenggang waktu pengajuan permohonan PK yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 (kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata) adalah 180 hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Bila ditilik dari ketentuan tersebut, permohonan PK Basuki telah melewati tenggat waktu tersebut. Basuki diputus pada 9 Mei 2017, dan sejak itu menjalani masa hukuman.
“Ketentuannya berbunyi seperti itu, namun hal itu dikembalikan kepada pertimbangan hakim,” ujarnya.
Abdullah mengatakan, setelah persidangan pertama dan kedua PK telah digelar, yakni untuk memeriksa materi permohonan, dan meminta tanggapan pemohon, majelis hakim di PN Jakut membuat Berita Acara Pendapat (BAP). BAP itu lalu dikirimkan ke MA beserta keseluruhan berkas perkara untuk diperiksa hakim agung.
Mengenai apakah suatu putusan perkara yang belum inkrah (putusan Buni Yani, sebab Buni Yani mengajukan banding) bisa dijadikan pertimbangan dalam permohonan PK, Ketua MA Hatta Ali menyerahkan hal itu kepada majelis hakim yang menangani perkara.
“Itu berkaitan dengan masalah teknis, sehingga harus didalami betul, dan bergantung kepada hakim. Harus dilihat dulu apakah ini bisa dibuat sebagai novum (bukti baru) atau tidak, sebab tidak otomatis putusan suatu perkara bisa menjadi bukti baru,” katanya.
Namun, Hatta memastikan perkara Basuki akan selesai dalam waktu tiga bulan, sebagaimana diatur di dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2014. SEMA itu menyatakan bahwa perkara PK atau kasasi harus diselesaikan dalam waktu paling lama tiga bulan sejak berkas perkara itu dikirimkan ke MA.