Perempuan, Garda Terdepan untuk Menjaga Perdamaian
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan Indonesia memiliki potensi menjadi agen toleransi dan perdamaian, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Perempuan bahkan bisa menjadi garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai persaudaraan antarwarga demi perdamaian dan kesejahteraan Indonesia.
Peran perempuan tersebut akan mendorong terciptanya kerukunan hidup antarsesama warga negara, menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika, serta setia kepada Pancasila.
Hal tersebut menjadi komitmen dan tekad perempuan Indonesia dalam Deklarasi ”Perempuan Berdaya, Komunitas Damai” yang dibacakan sembilan perempuan dari perwakilan 30 desa dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, saat hadir pada puncak acara Festival Toleransi Rakyat dengan tema ”Perempuan Berdaya, Komunitas Damai” di Mal Gandaria City, Jakarta Selatan, Sabtu (10/2).
Mereka juga menyuarakan kepada masyarakat di Indonesia agar terus menjaga keberagaman seperti dalam salah satu poin deklarasi yang dibacakan, yakni ”Kami perempuan Indonesia, bersama masyarakat dan pemerintah desa bertekad hidup dalam cinta dan damai dengan segenap lapisan masyarakat apa pun sukunya, agama, dan keyakinannya”.
Festival Toleransi Rakyat digelar Wahid Fondation; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; dan UN Women selama tiga hari, Jumat (9/2) hingga Minggu (11/2) di Jakarta, yang melibatkan sekitar 30 desa dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selain menampilkan karya-karya kerajinan dan kuliner, serta pertunjukan fesyen, festival juga diisi dengan unjuk bicara dengan narasumber sejumlah tokoh.
Perempuan-perempuan yang membacakan deklarasi perempuan berdaya, komunitas damai berasal dari desa-desa yang didampingi Wahid Foundation selama beberapa tahun terakhir. Bahkan, di beberapa desa telah mendeklarasikan Desa Damai yang dipelopori ibu-ibu di perdesaan didukung pemerintah setempat.
Selain mendorong masyarakat di desanya untuk hidup dalam damai, para perempuan bersama pemerintah desa mendorong pemberdayaan ekonomi, pelestarian kearifan lokal, dan terlibat dalam konservasi alam di daerahnya. Hasilnya, selain aktif memelihara perdamaian di desanya, sejumlah perempuan menjadi motor perekonomian di desanya melalui berbagai kegiatan pemberdayaan perempuan.
Beberapa karya mereka ditampilkan pada puncak acara yang dihadiri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, UN Women Representative Indonesia for ASEAN Sabine Machl, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Vennetia R Danes, serta Nyonya Sinta Nuriyah (istri presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid).
Tak hanya itu, para undangan yang hadir dalam acara tersebut disambut dengan atraksi barongsai yang dimainkan kelompok barongsai dari lintas agama.
Direktur Wahid Fondation Yenny Zannuba Wahid mengungkapkan, kepedulian untuk menjaga dan memelihara perdamaian harus ditanamkan kepada semua perempuan di Tanah Air, mulai dari desa hingga kota besar. Festival tersebut digelar dalam rangka merayakan perdamaian dan toleransi di tengah masyarakat Indonesia.
”Kami ingin desa-desa di seluruh Nusantara mengelola perbedaan. Mau agama apa pun bebas beribadah, mau etnis apa pun boleh tampil,” ujar Yenny yang menegaskan Indonesia merupakan negara yang banyak dicontoh negara-negara di dunia.
Yenny menegaskan, upaya menjaga perdamaian sangat penting karena jika terjadi konflik di tengah masyarakat, aktivitas perekonomian akan terganggu dan masyarakat tidak bisa berkarya dan mempromosikan produk-produknya.
Peran perempuan sangat penting. Bahkan, hasil survei Wahid Fondation dan Lembaga Survei Indonesia menyebutkan bahwa 80,7 persen perempuan mendukung hak kebebasan menjalankan agama dan keyakinan.
Pemerintah mengapresiasi
Eko Putro Sandjojo memberikan apresiasi terhadap para perempuan dan pemerintah desa yang merintis desa damai dan membangun desanya. Ia mengajak masyarakat di perdesaan untuk bangkit berkarya, mengelola potensi alam, dan menampilkan keanekaragaman budaya di daerahnya menjadi kekuatan ekonomi masyarakat. ”Tapi semua itu tidak akan terjadi kalau tidak ada kedamaian,” kata Eko yang memberikan bantuan-bantuan permodalan bagi perempuan dan pemerintah desa.
Apresiasi atas festival dan gerakan perdamaian tersebut juga disampaikan Sabine Machl dan Vennetia Danes. Vennetia menyatakan mewujudkan perdamaian merupakan tugas semua pihak. Selama ini perempuan masih belum dianggap berkontribusi secara nyata. Keterwakilan dalam pemberdayaan perempuan dan partisipasi untuk mencegah konflik dan perunding perdamaian belum dilaksanakan secara maksimal.
”Perempuan hendaknya dapat mengambil posisi di garda terdepan dalam rangka mencegah konflik dan menjadi perunding perdamaiaian, termasuk memberikan perlindungan kepada kelompok perempuan dan anak-anak dalam menyikapi konflik,” ujar Vennetia.
Pemberdayaan perempuan untuk mendorong toleransi dan mencegah konflik sosial dapat dilakukan masyarakat bersinergi dengan kebijakan pemerintah yang terkait. Seperti program Kampung Damai yang digagas Wahid Foundation, yang mendukung implementasi pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) Tahun 2014-2019.
Sugeng Mulyadi, Kepala Desa Nglinggi, Kecamatan Klaten Selatan, Kabupaten Klaten, Jateng, mengungkapkan, di desanya masyarakat hidup rukun tanpa melihat latar belakang agama dan suku. (son)