Bus Kota, Si Raja Jalanan yang Tetap Ugal-ugalan

Chris Pudjiastuti
Setidaknya 37 pengemudi bus kota yang ugal-ugalan ditahan polisi. Ulah mereka seperti ngebut, melanggar ketentuan lampu lalulintas dan membahayakan pemakai jalan lainnya telah menimbulkan gangguan ketertiban umum. Mereka terjaring dalam dua hari operasi yang dilakukan Satlantas Komdak Metro Jaya. Sebagai “peringatan”, mereka ditahan selama 2 x 24 jam.
Berita tersebut terdapat di harian Kompas yang terbit tanggal 19 Januari 1978, atau tepat 40 tahun lalu.
Itu berarti dalam kurun 40 tahun kita belum berhasil menyediakan transportasi umum yang nyaman dan aman bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Sekadar contoh, Kompas, 23 Desember 2017 “masih” memberitakan kecelakaan Metromini di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan (Jaksel) yang mengakibatkan seorang korban tewas dan setidaknya dua orang terluka.
Saksi mata mengatakan, dua bus Metromini melaju dengan kecepatan tinggi sebelum kecelakaan. Salah satu pengemudi Metromini kemudian kehilangan kendali sehingga menabrak sejumlah mobil, menerobos pembatas jalan, dan melindas sepeda motor.

Sopir metromini S 610 jurusan Blok M-Pondok Labu memberhentikan transjakarta 1E yang dianggap mencaplok trayek resmi mereka, Selasa (9/1). Mereka tidak terima karena masih mengantongi izin trayek hingga 2018.
Pelayanan angkutan umum seperti Metromini, Kopaja, mikrolet maupun angkot sering dikeluhkan warga. Sebagian dari fisik kendaraan itu pun secara kasat mata tak laik jalan. Bannya gundul, badan mobil keropos di sana-sini, dan lampu-lampu mobilnya pun tak lagi utuh. Hal itu tak hanya membahayakan pengemudi dan penumpang, tetapi juga pengguna jalan lainnya. Keadaan itu diperparah perilaku sebagian pengemudi yang suka ngebut dan mengemudikan kendaraan ugal-ugalan tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri, apalagi orang lain!
Sementara warga tak punya pilihan lain, karena angkutan umum itulah sarana transportasi yang terjangkau. Apa pun kondisinya, sebagian warga terpaksa menumpang angkutan umum yang tak laik jalan sekalipun. Penumpang hanya bisa mengingatkan sopir, berteriak, atau hanya mengelus dada bila pengemudi angkutan umum memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi atau malah berlama-lama mengetem.
Sementara warga tak punya pilihan lain, karena angkutan umum itulah sarana transportasi yang terjangkau.
Angkutan umum dengan kondisi seperti itu sampai sekarang masih berseliweran di jalan-jalan Jakarta. Di sisi lain, sejak pertengahan tahun 2000-an, pemerintah giat menyelesaikan proyek mass rapid transit atau MRT serta mengembangkan transportasi terpadu kereta komuter dan bus Transjakarta.
Proyek mimpi
Kompas, 11 April 2000 mencatat, sampai tahun 2000 atau 18 tahun yang lalu MRT masih disebut sebagai proyek mimpi. Mengapa? Karena, rencana membangun MRT sudah ada sejak tahun 1985, atau 33 tahun lalu!

Pengerjaan proyek depo transportasi massal cepat (MRT) di Lebak Bulus, Jakarta, Jumat (29/12/2017). Rute MRT Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia berjarak 16 kilometer dengan jumlah stasiunnya sebanyak13 stasiun. Rencananya MRT Jakarta akan mulai beroperasi pada Maret 2019.
Beberapa Gubernur DKI biasanya lebih suka menjual “mimpi” kepada warga kota bahwa mereka akan membangun sistem angkutan massal seperti MRT. Namun rencana itu tak kunjung terwujud, sampai sang gubernur silih berganti. Sempat muncul wacana pembangunan bus layang untuk jalur Blok M – Kota yang rencananya beroperasi tahun 1993. Ini pun tak terwujud (Kompas, 25 Mei 1992).
Baru pada 2005-2006 proyek MRT menggeliat dan setahap demi setahap pembangunan proyek ini terlihat nyata di lapangan. Pembangunan MRT fase pertama melayani jalur Terminal Lebak Bulus sampai Bundaran Hotel Indonesia (HI). Di jalur sepanjang sekitar 16 kilometer itu, akan ada 13 stasiun untuk naik-turun penumpang. MRT direncanakan beroperasi mulai tahun 2019.
Selain membangun MRT, lewat PT Kereta Api Indonesia Commuter Jabodetabek (KCJ) pemerintah membenahi kereta komuter. Pembenahan itu membuahkan hasil. Semua kereta komuter dilengkapi pendingin ruangan, relatif bebas macet dan tepat waktu. Hal ini membuat kereta komuter menjadi salah satu pilihan warga untuk bepergian. Diperkirakan sekitar satu juga orang per hari menggunakan jasa kereta komuter (Kompas, 1 April 2011).

Stasiun Palmerah, Jakarta, di hari kedua lebaran, Senin (26/6/2017) ini ramai oleh warga yang akan melakukan kunjungan lebaran atau liburan dengan kereta KRL.
Pengelolaan bus Transjakarta juga terus dibenahi. Selain manajemen dan kelaikan kendaraan, rute-rute bus Transjakarta dievaluasi dan ditambah. Halte-halte bus diperbarui dan disesuaikan dengan kebutuhan warga. Harian Kompas, 2 Oktober 2017 mencatat, sekitar 460.000 - 470.000 orang per hari menggunakan bus Transjakarta.
Pembenahan jenis angkutan umum dan kebijakan Pemprov DKI tersebut merupakan upaya mendorong warga agar beralih menggunakan transportasi umum. Semakin banyak warga yang beralih memakai angkutan umum, bisa mengurangi kemacetan Jakarta.
Banyak jenis
Kesemrawutan dan kemacetan Jakarta antara lain karena banyaknya jenis angkutan umum yang beroperasi. Mantan Wakil Gubernur DKI bidang Pembangunan, Dr Ir Bun Yamin Ramto SE mengatakan, bercampurnya kendaraan lambat dengan kendaraan cepat berpengaruh pada kemacetan lalu lintas Jakarta (Kompas, 8 Desember 1991).
Misalnya, mobil maupun bus tidak bisa berjalan cepat bila di depannya melintas bajaj yang berkecepatan lambat. Kondisi itu akan berpengaruh pada kelancaran lalu lintas secara keseluruhan. Apalagi sampai sekarang jenis angkutan umum yang beroperasi di Jakarta masih beragam, mulai bus kota, bus mikro seperti Metromini dan Koantas Bima, sampai angkot seperti mikrolet, juga bajaj.
Jenis angkutan umum itu bisa bertambah lagi dengan becak, bila keinginan Gubernur DKI Anies Baswedan untuk kembali “memanggil” becak sebagai angkutan umum di Jakarta itu benar-benar terwujud.
Jenis angkutan umum itu bisa bertambah lagi dengan becak, bila keinginan Gubernur DKI Anies Baswedan untuk kembali “memanggil” becak sebagai angkutan umum di Jakarta itu benar-benar terwujud. Memang di beberapa ruas jalan di Jakarta, bajaj dilarang melintas. Ini serupa dengan keinginan Anies untuk memberi keleluasaan becak hanya beroperasi di perkampungan (Kompas, 17 Januari 2018).

Sean (61), pengemudi becak di Rawa Badak Utara, Jakarta Utara menyambut suka cita rencana pelegalan becak beroperasi di DKI Jakarta, Selasa (16/1/2018).
Tetapi dengan keterbatasan jumlah petugas, tidak ada yang bisa menjamin bahwa bajaj (dan becak) hanya melintas di jalan lingkungan atau perkampungan sesuai peraturan Pemprov DKI. Terbayang perebutan penumpang akan semakin sengit di antara bajaj, ojek, serta ojek daring (dan becak). Sebagian badan jalan pun akan mereka gunakan untuk tempat mangkal.
Sekarang saja “gesekan” antara ojek dan ojek daring masih terjadi, apalagi bila ditambah becak. Antisipasi kemungkinan adu otot dan pertarungan di antara jenis “angkutan umum” yang beroperasi di jalan lingkungan dan perkampungan itu patut dipikirkan dan dipertimbangkan sedini mungkin. Keputusan yang mengedepankan unsur preventif lebih baik daripada terpaksa bertindak represif.
Di samping itu, penyederhanaan jenis angkutan umum untuk mengurai kemacetan Jakarta yang sudah dirintis sejak awal 1990-an bisa gagal total. Orang enggan beralih naik angkutan umum, karena sepeda motor bisa menjelajah ke semua sudut Jakarta. Kesemrawutan dan kemacetan justru meningkat karena pengemudi sepeda motor umumnya dengan “enteng” melanggar peraturan lalu lintas dan tidak memikirkan kepentingan pengguna jalan lainnya.

Salah satu perusahaan aplikasi transportasi bekerja sama dengan Rifat Drive Lab, sebuah konsultan berkendara aman, untuk memberikan pelatihan terhadap calon pengendara ojek di daerah Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Kamis (10/8).
Perilaku
Berbicara mengenai angkutan umum di Jakarta, tak hanya soal fisik kendaraan, tetapi perilaku pengemudinya pun memegang peranan penting. Perilaku sebagian sopir angkutan umum yang suka ngebut sudah terjadi sejak tahun 1967 sampai sekarang. Sudah lebih 50 tahun atau setengah abad, kondisi itu tak berubah.
Kompas, 11 Mei 1967 mencatat tentang pengemudi skuter yang menabrak mobil di depannya, gara-gara bus kota PPD (Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta) yang mengeluarkan asap hitam pekat dari knalpotnya di Jalan Matraman Raya. Ada pula bus Robur yang membiarkan pintu kendaraannya terbuka dan ngebut, tanpa mengindahkan keselamatan penumpang dan pemakai jalan lainnya.
Tahun 1970 polisi menangkap tak kurang dari 19 bus dan sopirnya karena ngebut dan melanggar peraturan lalu lintas (Kompas, 19 Juni 1970). Namun hal itu tak membuat sopir angkutan umum jera. Buktinya, Kompas, 18 November 1970 memuat berita tentang sopir bus yang ngebut meskipun kemacetan terjadi di jalan-jalan karena tengah ada pengerjaan galian dan mobil parkir di badan jalan. Ini mengakibatkan jalan semakin sempit dan macet. Namun, tetap saja sopir bus bertindak ugal-ugalan.

Bus PPD Terbakar - Bus Kota PPD jurusan Kampung Rambutan-Grogol, Minggu (19/8/2007) pukul 12.30, terbakar di depan kompleks Gedung Polda Metro Jaya. Pengemudi bus dengan nomor polisi B 7179 BX, Burhanuddin (50) mengatakan, ketika mengemudi, ia mendengar seorang penumpang berteriak, bagian belakang bus berasap. Bus menepi dan berhenti. Sedikit penumpang tergesa turun. Peristiwa berlangsung menjelang rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melintas jalan itu. "Saya segera menepi dan menghentikan bus.
Mengapa sopir angkutan umum suka ngebut? Alasan demi mengejar setoran sudah menjadi kisah klasik. Kompas, 29 Juli 1971. sudah menulis berita tentang sopir bus yang beralasan terpaksa ngebut demi memenuhi setoran yang diwajibkan pengusaha angkutan. Sampai 47 tahun kemudian, tahun 2018, alasan serupa muncul dari sebagian sopir angkutan umum.
Kompas, 29 Juli 1971. sudah menulis berita tentang sopir bus yang beralasan terpaksa ngebut demi memenuhi setoran.
Ketika sistem karcis diterapkan untuk mengatasi masalah mengejar setoran, tak juga berjalan mulus. Ini karena jumlah karcis yang dikeluarkan dengan jumlah uang yang diterima pengusaha tak cocok. Alasan sopir karena lebih banyak penumpang pelajar yang membayar separuh tarif daripada penumpang biasa.
Umumnya sopir angkutan umum juga tak memiliki rasa “ikut memiliki” kendaraan yang menjadi tanggung jawabnya sehari-hari. Mereka memacu kencang kendaraannya, seperti pengemudi bus Medal Sekarwangi yang menghantam pohon kenari di Jalan Barito, Jaksel. Badan bus penyok, sang pengemudi dan kondekturnya melarikan diri (Kompas, 4 Juni 1973).
Kecelakaan bus kota kembali terjadi di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Kompas, 8 Maret 1978 melaporkan, bus Pelita Mas Jaya jurusan Lapangan Banteng – Terminal Cililitan ngebut sejak berangkat dari Lapangan Banteng dan terjungkir karena sopir tak bisa menguasai kendaraan saat berusaha menghindari tabrakan dengan kendaraan roda tiga. Tak ada korban jiwa, tetapi 5 penumpang luka dan 40 orang lainnya terjepit dan terlompat dari tempat duduknya.

Bus metromini jurusan Blok M - Lebak Bulus melompati separator dan melawan arus untuk mendahului bus lainnya di jalan Melawai, Jakarta Selatan, Senin (7/12/2015). Perilaku ugal-ugalan supir bus di jalan tidak hanya membahayakan keselamatan penumpang tetapi juga pengguna jalan lainnya.
Pernah pula terjadi serombongan ibu-ibu mendatangi petugas di Terminal Pasar Minggu karena sopir Metromini jurusan Depok – Pasar Minggu menurunkan mereka di tengah jalan (Kompas, 31 Oktober 1981).
Tewas
Sebagian sopir angkutan umum seakan tak menyesal atau tak peduli bila terjadi kecelakaan akibat perilaku mereka. Kompas, 19 Agustus 1971 menulis tentang seorang pengemudi sedan di Jalan Letjen Suprapto, Cempaka Putih yang terpaksa banting setir untuk menghindari bus yang ngebut dari arah Pasar Senen. Akibatnya pengemudi sedan itu menabrak becak dan pejalan kaki. Bus kabur, tinggallah pengemudi sedan yang dihukum karena insiden itu mengakibatkan 3 orang tewas.
Kompas, 17 Juli 1976 mencatat, selama tahun 1975 terjadi 1.846 pelanggaran lalu lintas yang dilakukan sopir bus kota. Sementara dalam enam bulan pertama tahun 1976 terdapat 908 perkara. Dari jumlah tersebut, 34 orang meninggal dan 64 orang luka berat.
Tahun 1981 kecelakaan yang menewaskan seorang pengemudi skuter dan dua orang luka berat terjadi di Jalan Oto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Kecelakaan itu melibatkan bus Pelita Mas Jaya yang ngebut dan tak terkendali karena remnya blong (Kompas, 1 Desember 1981).
Kecelakaan yang menewaskan seorang penumpang dan lima orang lainnya terluka kembali terjadi beberapa hari kemudian. Kali ini akibat ulah sopir Metromini jurusan Blok M – Joglo Kebayoran Lama yang ngebut, sehingga kendaraan oleng, lalu roboh (Kompas, 8 Desember 1981).

Kondisi Metromini B 80 jurusan Kalideres - Jembatan Lima hancur setelah tertabrak kereta rel listrik (KRL) dari arah Stasiun Kota menuju Stasiun Duri di perlintasan kereta api Jalan Tubagus Angke, Jakarta Barat, Minggu (6/12/2015). Metromini terseret sekitar 100 meter hingga terhenti di Stasiun Angke. Kecelakaan akibat supir metromini menerobos palang perlintasan kereta api tersebut menyebabkan 16 orang meninggal dunia termasuk sopir metromini.
Korban tewas sampai 32 orang terjadi pada kecelakaan Metromini jurusan Semper – Senen pada 1994. Itu karena sopir batangan (sopir yang tak berhak mengemudikan bus) yang baru empat hari bekerja berlaku ugal-ugalan, dan mengakibatkan kendaraan terjun ke Kali Sunter, Jakarta Utara (Kompas, 8 Maret 1994).
Kejadian serupa, sopir Metromini ugal-ugalan yang mengakibatkan kecelakaan, kembali terjadi di kawasan Mampang, Jaksel (Kompas, 4 April 2011). Lalu, Metromini jurusan Blok M – Ciledug juga mengalami kecelakaan di Jalan Barito, Jaksel, dan Metromini yang lain dengan trayek Pondok Kopi – Senen menabrak pohon di Jalan Pemuda, Jaktim (Kompas, 13 Agustus 2011).
Dua Kopaja jurusan Lebak Bulus – Senen saling kebut-kebutan yang mengakibatkan 9 penumpang terluka setelah kendaraan mereka menabrak pohon dan tiang listrik (Kompas, 4 April 2012). Kompas, 11 Agustus 2013 mencatat kecelakaan Koantas Bima jurusan Ciputat – Tanah Abang di bundaran Pondok Indah yang mengakibatkan satu orang meninggal dan 17 orang terluka.
Kecelakaan lalu lintas yang berkaitan dengan angkutan umum tetap menonjol. Tahun 1985 tercatat 694 kasus kecelakaan bus kota yang mengkibatkan 59 orang meninggal dan 230 orang luka berat (Kompas, 20 Maret 1986).
Tahun 1991 pelanggar peraturan lalu lintas terbanyak adalah sopir angkutan umum, yakni 48,88 persen. Meskipun jumlah kendaraan umum hanya 42.500 unit dengan sekitar 100 pengemudi. Sekadar perbandingan, jumlah sepeda motor sekitar satu juta unit, dan kendaraan pribadi 440.000 unit (Kompas, 8 Desember 1991).

Remaja duduk atap bus Kopaja yang tengah melaju saat hujan mengguyur kawasan Pejompongan, Jakarta, Rabu (16/12/2015).
Tahun 1993 jumlah angkutan umum yang beroperasi di Jakarta tercatat 54.394 unit. Dari jumlah itu, 17.907 adalah taksi, dan 18.141 unit berupa mikrolet, KWK, bus sedang, bus besar dan bemo (Kompas, 5 Mei 1994). Pada 1996 jumlah kendaraan angkutan umum naik menjadi sekitar 70.000 unit. Jumlah itu relatif kecil dibanding jumlah kendaraan di Jakarta yang sekitar 2,7 juta unit (Kompas, 2 Mei 1996).
Razia
Agar sopir angkutan umum taat peraturan dan tidak ngebut, polisi merazia pada waktu-waktu tertentu. Kompas, 11 Januari 1984 menulis tentang operasi penertiban yang membuahkan 167 kendaraan angkutan umum ditilang, dan 5 di antaranya ditahan.
Setiap tahun petugas melakukan razia, namun ada saja sopir maupun pengusaha angkutan umum yang melanggar peraturan. Pada razia yang dilakukan tahun 2014 misalnya, terjaring 91 kendaraan yang melanggar peraturan (Kompas, 11 Februari 2014).
Sebagian warga pun hilang kesabaran menghadapi ulah sopir angkutan umum yang ugal-ugalan. Sebuah Metromini jurusan Blok M – Pasar Minggu dibakar massa karena menabrak dua anak di Jalan Warung Buncit, Jaksel (Kompas, 3 Juli 1984).
Tahun 1998, dua bus Metromini U-24 dibakar massa di kawasan Sunter. Peristiwa itu terjadi karena sebelumnya salah satu Metromini tersebut menabrak hingga tewas dua orang yang tengah mendorong mobil mogok (Kompas, 19 Maret 1998).
Teladan
Untuk memotivasi sopir angkutan umum agar taat peraturan lalu lintas dan tidak ngebut, ada perusahaan angkutan umum yang mengadakan kompetisi memilih pengemudi teladan. Kompas, 11 Juli 1973 mencatat, Sarengat menjadi salah satu pengemudi teladan dari perusahaan Pelita Mas Jaya. Sedangkan dari perusahaan Merantama yang terpilih antara lain Mansyur.
Keduanya mengaku berusaha bekerja sebaik mungkin dan tak terlalu berpikir tentang uang setoran. Dalam sehari rata-rata mereka bisa berjalan sampai 10 rit. Mereka tidak ngebut, tetapi bisa memahami bila ada sopir angkutan umum yang ngebut demi mengejar setoran.
Rezeki itu tak usah dikejar sebab bisa merugikan diri sendiri. Bekerjalah yang baik, itu sudah cukup
Pemilihan pengemudi teladan juga dilakukan Rotary Club. Salah seorang di antara pengemudi teladan itu adalah Purwanto yang selama 10 tahun menjadi sopir bus PPD. “Rezeki itu tak usah dikejar sebab bisa merugikan diri sendiri. Bekerjalah yang baik, itu sudah cukup,” ucap Purwanto seperti dikutip Kompas, 26 November 1986.
Kompas, 27 Desember 1979 menulis hasil wawancara dengan beberapa sopir bus kota. Mereka justru merasa terjepit di antara penumpang dan pengusaha angkutan umum. Selama 8 jam setiap hari mereka harus menjalankan bus untuk 8 rit. Padahal kondisi jalan tak bisa diperkirakan. Kalau jumlah rit tak terpenuhi uang makan dipotong. Semisal ban bus kempes, sopir hanya bisa jalan 7 rit. Ini berarti uang makannya dipotong.

Lokasi tersangkutnya bus Transjakarta (kiri) di bawah jembatan kereta api Jatinegara yang melintasi jalan Matraman Raya, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (22/11). Bus tersebut menabrak besi portal jembatan hingga bengkok.
“Kalau kami ngebut mengejar minimum wajib angkut penumpang (WAP), dimaki-maki penumpang. Mereka mencap kami sopir-sopir brengsek. Di perusahaan, kalau tiga hari berturut-turut tak penuhi target minimum WAP, diskors. Menunggu, sampai ada keputusan direksi. Terkadang keputusannya sampai lama belum juga turun,” keluh seorang sopir bus PPD.
Meski ada perusahaan angkutan umum yang mau menanggung berbagai biaya siluman, tetapi biasanya komponen biaya siluman itu menjadi tanggungan sopir. Biaya siluman itu antara lain ongkos cuci kendaraan, uang siaga untuk oknum polisi, uang untuk penguasa terminal, uang untuk calo penumpang, sampai uang preman (Kompas, 24 Januari 1993).
“Kita ini sapi perahan, dan semua itu terjadi di depan mata polisi dan petugas DLLAJR,” kata seorang pengemudi di Terminal Grogol, Jakarta Barat (Kompas, 26 September 1997). Jumlah uang siluman itu sehari sekitar Rp 20.000 – Rp 30.000, sementara tarif per penumpang berkisar Rp 300 – Rp 700 kecuali Patas AC Rp 2.300 (Kompas, 11 April 2000).
Sopir dan kondektur bus juga mengeluh dengan perilaku sebagian penumpang. Menurut mereka, pelajar dan penumpang yang naik untuk jarak dekat sering tak membayar ongkos bus. Sopir dan kondektur juga berharap penumpang pun disiplin, hanya menunggu dan turun di halte. Mereka juga berharap polisi dan petugas DLLAJR benar-benar bekerja demi menegakkan peraturan semata (Kompas, 26 September 1997).

Bila dibandingkan dengan jumlah kendaraan di Jakarta, total angkutan umum amat sedikit, hanya sekitar 2,6 persen. Tetapi angkutan umum-lah yang menjadi nadi transportasi bagi warga kota. Meskipun sudah lebih setengah abad berlalu, tetapi pelayanan angkutan umum Jakarta relatif tidak beranjak. Masih banyak kendaraan dan sopir angkutan umum yang ugal-ugalan, kemacetan lalu lintas pun tetap menjadi ciri khas ibukota. Walaupun di sisi lain, pembenahan kereta komuter dan bus Transjakarta menunjukkan hasil positif.
Untuk membenahi angkutan umum Jakarta secara menyeluruh, diperlukan komitmen, kesungguhan, serta kerja keras Gubernur DKI dan jajarannya. Bukan sekadar menambah jenis angkutan umum dan malah menggunakan jalan raya untuk keperluan lain. Kalau begitu kebijakannya, sampai kapan pun kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas Jakarta tak bakal teratasi!