Tantangan Generasi Islam Pembaru di Tengah Politik Identitas
JAKARTA, KOMPAS — Generasi Islam pembaru sedang menghadapi tantangan politik identitas yang merebak saat ini, khususnya pada masa pilkada dan pemilu.
Sikap inklusif dan menghargai perbedaan menjadi kunci agar Islam pembaru bisa terus berkembang.
Cendekiawan Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar-Abdalla, menjelaskan, generasi Islam pembaru saat ini sedang dihadapi dengan tiga tantangan utama.
”Pertama ialah merebaknya politik identitas. Kedua, menguatnya polarisasi politik akibat demokrasi terbuka. Ketiga, kurangnya kegelisahan para cendekiawan Muslim dalam melakukan terobosan,” ujar Ulil dalam kegiatan Tahlil bagi Djohan Effendi dan Para Pembaru Islam Indonesia di Omah Btari Sri, Ragunan, Jakarta Selatan, Sabtu (16/12).
Ulil menyebutkan, politik identitas ini cenderung menggunakan agama sebagai tunggangan politik untuk meraih kekuasaan. Hal ini tentunya dapat merusak toleransi dan kerukunan antarumat.
Menurut Ulil, periode tahun 1970-an hingga 1990-an menjadi masa keemasan munculnya Islam pembaru di Indonesia.
Politik identitas cenderung menggunakan agama sebagai tunggangan politik untuk meraih kekuasaan. Hal ini dapat merusak toleransi dan kerukunan antarumat.
”Sosok Djohan Effendi membawa aspek lain dalam gerakan pembaruan Islam, yaitu pentingnya melakukan dialog dengan kelompok minoritas. Djohan, bersama dengan Gus Dur dan Cak Nur, dapat kita anggap sebagai sosok yang menyadarkan umat tentang pentingnya keberagaman,” tutur Ulil.
Djohan Effendi, cendekiawan Muslim yang pernah menjabat Menteri Sekretaris Negara pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Jumat, 17 November, malam berpulang pada usia 78 tahun.
Almarhum dikenal sebagai sosok pemikir Muslim yang progresif, sekaligus perintis teologi kerukunan hidup beragama di Indonesia.
Ulil mengatakan, nama-nama lain seperti Utomo Dananjaya, Ekky Syachruddin, Syubah Asa, dan Aswab Mahasin juga aktif dalam membentuk komunitas epistemik dan menulis banyak jurnal ilmiah pada tahun 1980-an.
”Saat ini, Islam pembaru kerap dianggap sebagai penyesatan oleh sekelompok pihak tertentu. Hal ini juga menjadi tantangan bagi generasi sekarang untuk kembali memunculkan masa keemasan Islam pembaru,” ujar Ulil.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang turut hadir dalam kegiatan tersebut mengatakan, para cendekiawan Islam pembaru terdahulu telah selesai menjalankan tugasnya. Saat ini merupakan masa generasi penerus untuk melanjutkannya.
”Dalam konteks kekinian, tantangannya semakin tidak sederhana. Kita semakin merindukan sosok pembaru dalam kondisi Indonesia yang sedang diuji saat ini. Kita harus mampu menjaga jati diri Indonesia yang religius dan beragam,” tutur Lukman.
Lukman mengatakan, saat ini, dialog antaragama cenderung jarang dan sifatnya cenderung sporadis. Butuh konsistensi dalam melakukan dialog antarumat beragama, seperti Kelompok Studi Proklamasi pada tahun 1980-an. Menurut dia, dialog ini semakin diperlukan menjelang tahun politik pada 2018 hingga 2019.
”Sekarang yang diperlukan dialog di antara kita. Perbedaan itu tidak harus disatukan. Setiap pihak bisa memahami latar belakang pikirannya dan bisa saling melengkapi. Bukan saling menegasikan dan menghilangkan satu dan yang lain,” lanjut Lukman.
Saat ini, dialog antaragama jarang dan sifatnya cenderung sporadis.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga menjabat Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie mengungkapkan, untuk menghadapi tantangan ini, masyarakat perlu memiliki sikap inklusif dalam kehidupannya.
”Sikap inklusif ini artinya mau bergaul dengan siapa saja dan kalangan mana pun. Selain itu, kita dapat menarik nilai bangsa yang universal seperti Pancasila untuk menyatukan kita,” kata Jimly.
Jimly menjelaskan, tantangan media sosial juga memunculkan perspektif kebenaran pribadi oleh tiap kelompok. Padahal, informasi yang tersebar di media sosial terkadang salah.
Meski dihadapkan pada berbagai tantangan, Jimly tetap optimistis akan muncul generasi penerus Islam pembaru ini.
”Saya yakin, akan muncul generasi muda penerus Islam pembaruan meski banyak kontroversinya. Setiap masyarakat tentunya punya identitas, dan yang minoritas bisa melengkapi mayoritas agar perkembangan bangsa menjadi lebih dinamis,” kata Jimly. (DD05)