Banyak Camat Belum Menjalankan Fungsinya secara Optimal
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Peran strategis camat sebagai wakil pemerintah kabupaten/kota sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah belum sepenuhnya dipahami oleh para camat di Indonesia. Masih banyak camat yang belum memahami tugas dan fungsi pokoknya sehingga sering menempatkan posisi lebih rendah dari kepala polisi sektor atau komandan rayon militer.
Direktur Jenderal Administrasi Perwilayahan Kementerian Dalam Negeri Budi Sudarmadji dalam rapat kerja dengan 324 camat se-Nusa Tenggara Timur di Kupang, Rabu (13/12), mengatakan, camat harus menjadi koordinator pembangunan di wilayah yang dia pimpin. Camat wajib melaksanakan setiap peraturan daerah yang dikeluarkan gubernur dan bupati.
”Peran camat itu sangat strategis di wilayah itu, tetapi sampai saat ini peran tersebut belum diimplementasikan. Camat masih sangat bergantung pada pemerintah kabupaten atau kota. Padahal, regulasinya jelas dalam UU No 23/2014, camat sebagai wakil pemerintah kabupaten di wilayah itu. Camat sebagai koordinator, penggerak, dan motivator pembangunan di wilayah itu,” kata Budi.
Yang selama ini terjadi justru peran kapolsek dan danramil di wilayah itu lebih menonjol dibandingkan camat. Camat sendiri pun menempatkan diri sebagai bawahan dari kapolsek dan danramil. Ini terbukti antara lain dengan selalu memberi hormat dan sapaan ”komandan” kepada mereka.
UU No 23/2014 menempatkan camat sebagai kepala pemerintahan tertinggi di wilayah itu. Camat harus mendapat penghormatan tertinggi. Dalam semua urusan dan pengambilan keputusan, camat sebagai penentu terakhir.
UU No 23/2014 itu juga memberikan kewenangan kepada camat untuk mengeluarkan izin usaha untuk sektor usaha tertentu di wilayah kecamatan itu. Tidak semua izin usaha harus dikeluarkan bupati atau satuan kerja perangkat daerah di kabupaten/kota. Jika peran dan tanggung jawab ini dilaksanakan, beban tugas bupati/wali kota dan SKPD di daerah itu menjadi lebih ringan.
Selanjutnya, UU No 6/2014 tentang dana desa, camat diberi kewenangan melakukan pengawasan dan kontrol terhadap pelaksanaan dan realisasi dana desa di setiap desa di wilayah itu. Jika ada 15 desa di wilayah kecamatan itu, kemudian tujuh kepala desa di antaranya terlibat korupsi dana desa, camat semestinya ikut bertanggung jawab karena ia tidak menjalankan tugas dan peran dengan baik.
Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Timor Tengah Selatan Nikson Noemleni mengatakan, sampai hari ini, pedoman pelaksanaan UU No 23/2014 belum ada sehingga camat tidak bisa bekerja leluasa. Belum ada pedoman penataan kewenangan dan urusan antara gubernur, bupati/wali kota, SKPD, dan camat.
”Jika peraturan pelaksanaan dari UU No 23/2014 itu jelas dan rinci, camat dapat menjalankan peran strategis itu secara leluasa sehingga peraturan tentang kewenangan camat, SKPD, bupati, dan gubernur di wilayah kecamatan itu dapat disoalisasikan kepada masyarakat,” kata Noemleni.