Area Antar dan Jemput Penumpang Akan Dibangun di Semua Stasiun Kereta Jabodetabek
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penumpukan angkutan umum di sekitar stasiun dinilai menjadi salah satu penyebab kemacetan di Jakarta. Oleh karena itu, sebanyak 17 stasiun di Jakarta akan ditata dengan penambahan area untuk lokasi antar dan jemput penumpang. Kenyamanan penumpang juga perlu ditingkatkan agar mau beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono mengatakan, permasalahan di sekitar stasiun merupakan hal sepele, tetapi dampaknya sangat besar. Angkutan umum, seperti angkutan kota, angkutan daring, bahkan transjakarta, menunggu penumpang di samping jalan. Hal itu membuat luas jalan menyempit.
”Sebanyak 17 titik stasiun menyebabkan kemacetan. Begitu penumpang keluar, semua menyebar. Ada yang naik ojek, angkot, ataupun transjakarta yang menunggu waktu keberangkatan. Masalahnya, semua itu ngetem di sekitar stasiun. Jadi hanya menyisakan satu lajur,” kata Bambang saat acara temu media terkait solusi kemacetan di Jabodetabek, Minggu (3/12), di Jakarta.
Permasalahan di sekitar stasiun merupakan hal sepele, tetapi dampaknya sangat besar. Angkutan umum, seperti angkutan kota, angkutan daring, bahkan transjakarta, menunggu penumpang di samping jalan.
Sebenarnya, menurut Bambang, puncak keramaian penumpang kereta hanya terjadi pada pagi dan sore hari atau saat pergi dan pulang kerja. Namun, dampak angkutan yang menunggu itu menghasilkan kemacetan yang panjang.
Menurut Bambang, yang paling parah adalah penumpukan ojek daring. Sejumlah sepeda motor itu berjajar dan menumpuk sampai menutupi lebih dari separuh jalan. Apalagi, jumlahnya sangat banyak pada saat pergi dan pulang kerja.
Untuk itu, BPTJ bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menambah fasilitas berupa area penjemputan. Jadi, penjemputan penumpang dilakukan pada titik itu dan penumpang bisa turun dan naik dari titik tersebut. Dengan demikian, kemacetan di jalan sekitar stasiun dapat diminimalisasi.
Saat ini, area penjemputan sedang dibangun di Stasiun Dukuh Atas, Manggarai, dan Tanah Abang. Di tiga stasiun itu terdapat lahan kosong yang bisa dimanfaatkan.
”Kalau untuk daerah lain, kami sedang usahakan karena tidak mudah mencari lahannya. Salah satunya Palmerah. Daerah ini masuk jangka pembangunan menengah. Jadi butuh 1-2 tahun untuk mencari dan membangun tempat pengendapan itu. Sementara yang tidak ada lahan akan diprioritaskan untuk menertibkan angkutan yang berhenti sembarangan,” tutur Bambang.
Area penjemputan sedang dibangun di Stasiun Dukuh Atas, Manggarai, dan Tanah Abang. Di tiga stasiun itu terdapat lahan kosong yang bisa dimanfaatkan.
Stasiun Manggarai memiliki lahan sekitar 4.000 meter persegi yang dapat dimanfaatkan untuk area penjemputan atau untuk pengendapan ojek daring. Manggarai menjadi salah satu yang diprioritaskan karena akan menjadi salah satu tempat perhentian kereta bandara tujuan Bandara Soekarno Hatta.
Sementara, untuk angkot dan transjakarta yang ngetem, Bambang tidak melarangnya. ”Boleh-boleh saja, tetapi harus diatur. Kalau sudah menumpuk dan menyebabkan macet, ya harus jalan,” ujarnya.
Menurut Bambang, perbaikan kemacetan di daerah stasiun menjadi krusial. Sebab, dalam beberapa tahun ke depan, pengguna kereta api listrik diperkirakan naik dua kali lipat dari 1 juta menjadi 2 juta penumpang. Kondisi tersebut akan menyebabkan kemacetan akan bertambah dua kali lipat jika tak ada upaya untuk mengatasinya.
Untuk mengatasi kemacetan di stasiun, kenyamanan peralihan dari kendaraan pribadi ke angkutan umum juga harus ditingkatkan. ”Pengelolaan ini perlu dimulai dari sekarang,” ujar Bambang.
Kendaraan pribadi
Terkait upaya mengatasi kemacetan secara keseluruhan, menurut Bambang, harus ada perubahan pola perilaku masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi menjadi angkutan umum. Berdasarkan kajian BPTJ, 60 persen warga Jabodetabek menggunakan sepeda motor dan hanya 23 persen yang menggunakan angkutan umum.
Menurut Bambang, pengguna motor yang porsinya mecapai 60 persen itu harus mulai berpindah. Ini juga untuk mengurangi angka kecelakaan. Sebab, 80 persen korban kecelakaan tewas merupakan pesepeda motor. Apalagi, di Jabodetabek, pengguna sepeda motor rata-rata menempuh perjalanan jauh, lebih dari 50 kilometer per hari. ”Idealnya kan untuk jarak dekat. Penggunaan motor itu harus dikurangi karena kita berbicara keselamatan, bukannya melarang,” katanya.
Pengurangan ini diharapkan sejalan dengan tersedianya jenis dan jumlah angkutan umum yang lebih banyak pada 2019, antara lain kereta ringan (light rapid transit/LRT) dan angkutan massal cepat (mass rapid transit/MRT). ”Nanti, sepeda motor hanya feeder sampai ke stasiun. Jadi, penggunaan sepeda motor hanya jarak dekat. Kecelakaan dan kemacetan pun bisa berkurang,” kata Bambang. (DD06)