Biduan, dari Hotel Bintang Lima Bergeser ke Dusun
Susilo, penyanyi band Medenasz, meninggal karena ditembak tiga perampok yang menunggang skuter. Susilo dan Anto Sudiro, personel band lainnya, mengejar perampok yang merampas skuter dari pemiliknya di Jalan Cikini, Jakarta. Setelah tertembak, Anto sempat ke luar dari mobil Fiat 1100.
Susilo, bungsu dari enam bersaudara ini, meninggal pada usia 21 tahun. Ia seakan telah mendapat firasat akan kematiannya. Lagu rekaman terakhirnya berjudul ”Walk Away”. Pada saat proses perekaman, Susilo berkata kepada Hamid, pengasuh band Medenasz, ”Ini lagu saya yang terakhir.”
Berita tentang meninggalnya biduan bernama Constantinus S Djokosusilo, yang populer di kalangan anak muda tersebut, dimuat Kompas, 17 November 1966 atau tepat 51 tahun lalu.
Kematian Djokosusilo sempat menimbulkan wacana tentang bagaimana sebaiknya masyarakat bersikap saat melihat kejahatan berlangsung di depan mata. Bagaimana seharusnya orangtua atau guru mendidik anak/siswa apabila menghadapi situasi seperti itu?
Haruskah si anak membantu korban kejahatan dengan risiko nyawa melayang atau membiarkan saja kejahatan itu berlangsung asalkan nyawa selamat? Mengajari anak/siswa membiarkan saja kejahatan berlangsung bisa berarti memupuk rasa pengecut. Sebaliknya, mengajari mereka berempati dan membantu korban kejahatan dengan risiko kematian jelas mengembangkan rasa berani dan empati.
Apa pun pilihannya, yang jelas peristiwa itu telah menjadikan biduan Djokosusilo menjadi hero. Dia gugur dengan pakaian lengkap band Medenasz. Peristiwa itu terjadi ketika Djokosusilo dan Anto dalam perjalanan menuju Hotel Indonesia. Malam itu mereka akan pentas di hotel tersebut. Namun, suratan takdir berkata lain (Kompas, 15 November 1966).
Polisi berhasil menangkap para perampok. Salah seorang di antaranya bernama Darman bin Darta dikenai hukuman penjara 14 tahun (Kompas, 25 Mei 1967). Sementara pelaku lainnya, Praka Suhaemi, dijatuhi hukuman 16 tahun penjara karena sebagai intel seharusnya dia melindungi masyarakat (Kompas, 21 September 1968).
Lepas dari peristiwa kriminal yang menyebabkan Djokosusilo, biduan idola kaum muda itu terbunuh, Djokosusilo adalah satu dari para penyanyi pada era 1960-1980-an yang menjadikan hotel berbintang sebagai salah satu tempat manggung. Tak hanya di dalam negeri, tetapi di luar negeri pun penyanyi dan musisi Indonesia laris bermain di hotel berbintang.
Tiga Dara Sitompul, misalnya, mendapat sambutan hangat saat tampil di hotel di Singapura. Trio yang terdiri dari kakak-beradik Rika, Nessy, dan Mona itu juga tampil di Hotel Indonesia (HI), Jakarta (Kompas, 31 Juli 1967). Sampai tahun 1970-an, HI menjadi salah satu tempat di mana para biduan dan musisi menyapa penggemarnya.
Beberapa penyanyi yang kerap tampil di HI adalah Broery Marantika, Bob Tutupoly, Erni Djohan, dan Koes Hendratmo. Selain di HI, Bob Tutupoly, misalnya, juga tampil di Hotel Hilton, Jakarta (Kompas, 18 Februari 1979). Sementara pemusik jazz Indonesia yang lama bermukim di Australia, Bill Saragih, pun tampil di Hotel Indonesia Sheraton pada 14 dan 18 September 1979 (Kompas, 12 September 1979).
Itu adalah penampilan awal Bill Saragih setelah sekitar 15 tahun dia meninggalkan Indonesia. Dalam penampilannya tersebut, Bill ditemani Bubi Chen (pada piano), Jack Lesmana (gitar), Perry Petiselano (bas), dan Abdul Karim (drum).
Seiring dengan bertambahnya hotel berbintang di Jakarta, para biduan dan musisi pun turut mengisi berbagai acara di hotel. Kompas, 22 Juni 1980 misalnya, mencatat adanya pertunjukan yang menghadirkan lagu-lagu tahun 1950-1960-an di Hotel Hilton, Jakarta.
Dengan penonton tak kurang dari 500 orang, tampil Bob Tutupoly antara lain dengan lagu-lagu dari Harry Belafonte. Sementara Erni Djohan mendendangkan beberapa lagu dari penyanyi Brenda Lee dan Koes Hendratmo tampil dengan lagu-lagu dari Johnny Mathis. Dengan konsep yang kurang lebih sama, para penyanyi tersebut sebelumnya tampil di Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta.
Hotel berbintang sebagai panggung para biduan dan musisi masih muncul pada 1986. Kompas, 13 April 1986 mencatat, penyanyi dengan warna suara jazz, Ermy Kullit, yang bergabung dengan musisi Ireng Maulana Associates tampil antara lain di Hotel Borobudur, Jakarta, dan Hotel Hilton, Jakarta.
Biduan asing
Bukan hanya biduan dan musisi Tanah Air yang menjadikan hotel sebagai salah satu panggung untuk menyapa para penggemar, tetapi biduan asing pun pada tahun 1970-an sampai 1990-an tampil di hotel-hotel berbintang. Pada Oktober 1975, misalnya, Ray Charles muncul di Hotel Borobudur, Jakarta.
Ray Charles, penyanyi tunanetra, sejak usia 10 tahun itu tampil dengan membawa serta 18 pemain orkes pengiringnya dan gadis-gadis penyanyi pendampingnya yang disebut The Five Raelettes. Dia antara lain populer lewat lagu ”I Can’t Stop Loving You”, ”Georgia”, dan ”Take These Chains from My Heart” (Kompas, 14 Oktober 1975).
Selain Ray Charles, biduan asal Amerika Serikat (AS) yang juga tampil di Hotel Borobudur, Jakarta, adalah Matt Monro (Kompas, 22 Maret 1976). Tiga kali pertunjukan dalam dua malam, Monro berhasil menarik perhatian sekitar 3.000 penggemarnya.
Monro muncul antara lain dengan lagu-lagu tahun 1960-an yang berhasil melejitkan namanya. Sebut di antaranya ”Walk Away”, ”Born Free”, dan ”From Russia with Love”. Tak sekadar bernyanyi di panggung, Monro pun menyapa penonton antara lain dengan bersalaman, ikut duduk bersama, sampai menawarkan minuman dari gelasnya.
Sementara penyanyi asal Spanyol, Julio Iglesias, menyumbangkan hasil pertunjukannya di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, untuk Yayasan Pemeliharaan Anak-anak Cacat (YPAC). Iglesias yang menjadi idola banyak perempuan itu melantunkan antara lain ”To All the Girl I Loved Before”, ”When I Need You”, dan ”Monalisa” (Kompas, 7 Desember 1990).
Sementara penyanyi asal Malaysia yang tinggal di Singapura, Anita Sarawak, tampil antara lain di Hotel Mandarin, Jakarta, pada 1980. Selama enam hari, 24-29 Desember, dia mengadakan pertunjukan tunggal. Sebelumnya, tahun 1978, Anita juga menyanyi di Hotel Sari Pacific, Jakarta.
Anita Sarawak termasuk penyanyi asing yang kerap tampil di Indonesia. Kompas, 21 Januari 1990 menulis, Anita yang pernah menjadi istri penyanyi Broery Pesolima ini lebih dari 10 kali selama tujuh tahun berturut-turut mengadakan pertunjukan di Hotel Mandarin, Jakarta.
Berteman televisi
Ada anggapan, tampilnya para penyanyi dan musisi di hotel berbintang karena terbatasnya panggung bagi mereka. Tahun 1960-an sampai pertengahan 1980-an, masyarakat hanya mengenal TVRI. Stasiun televisi milik pemerintah ini memang menjadi satu-satunya wadah bagi para biduan dan musisi tampil di layar kaca.
Tahun 1989, RCTI muncul sebagai televisi swasta di Tanah Air. Ini juga berarti para biduan dan musisi punya pilihan wadah lain agar dikenal masyarakat lewat layar kaca. Namun, faktanya, selain tampil di layar kaca, para biduan dan musisi tetap mengisi panggung di hotel berbintang.
Dali Tahir misalnya, selain menjadi pembawa acara dan bernyanyi di televisi, dia juga memiliki jadwal tetap di panggung Captain Bar, Hotel Mandarin, Jakarta (Kompas, 10 Februari 1991). Dua minggu sekali, pria yang tenar dengan gelar MBA alias makin botak aje itu tampil di Hotel Mandarin.
Di samping itu, berbagai ajang kompetisi tarik suara yang disiarkan di layar kaca pun diselenggarakan di hotel berbintang. Misalnya Voice of Asia sebagai ajang bibit penyanyi dari Asia diselenggarakan di Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta (Kompas, 15 September 1991). Dari 20 finalis, keluar sebagai juara adalah Irma June (Kompas, 17 September 1991).
Pada 1991 pula New York Symphonic Ensemble tampil dalam pertunjukan amal di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Hasil bersih pergelaran kelompok musik klasik yang tampil pada 15-16 November 1991 itu disumbangkan untuk Palang Merah Indonesia (PMI) dan YPAC (Kompas, 27 September 1991).
Contoh lain adalah penyelenggaraan Jakarta Music Festival di Hotel Sahid, Jakarta (Kompas, 17 November 1991). Di sini 14 penyanyi dari 9 negara bertarung. Dari Indonesia ada Pakarock (Ahmad Albar, Ikang Fawzi, Nicky Astria), Atiek CB, Ruth Sahanaya, Rhoma Irama, Broery Pesolima, dan Emilia Contessa. Penyanyi lain di antaranya Jenon You Na (Korsel), Kuang Ming Chieh (Taiwan), Maizurah (Singapura), Hacken Lee (Hong Kong), dan Pawecena Chariffsakul (Thailand).
Bahkan, Lomba Cipta Lagu dan Penyanyi Dangdut (LCLPD) pun diadakan di Hotel Hilton. ”Saya ingin menaikkan harkat musik dangdut bahwa musik yang sangat disukai di Indonesia bukan hanya terdengar di gang becek, melainkan juga bisa berkumandang di hotel bintang lima,” kata Yongky Manalu, ketua panitia yang juga bos Radio CBB FM seperti dikutip Kompas, 22 November 1992.
Hotel bintang lima juga masih menjadi pilihan George Benson saat berhadapan dengan penggemarnya di Indonesia. Biduan asal AS itu tampil di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, pada 29-30 Mei 1992 (Kompas, 29 Mei 1992). Lagu-lagu yang membuat namanya populer antara lain ”The Greatest Love of All”, ”Never Give Up”, dan ”In Your Eyes”.
Sampai tahun 2009, terutama pada saat pergantian tahun, biduan asing masih mengisi slot hiburan di hotel berbintang. The Gipsy King yang antara lain populer dengan lagu ”Volare” muncul di Hotel Mulia pada 2008 (Kompas, 6 Januari 2008), lalu Boyz II Men yang berasal dari Philadelphia, AS, juga tampil di Hotel Mulia tahun 2009 (Kompas, 4 Januari 2009).
Tak hanya biduan asing yang laris mengisi malam pergantian tahun di hotel bintang lima, tetapi biduan seperti Ruth Sahanaya dan Glenn Fredly juga mengisi pergantian tahun di Hotel Melia. Sementara Hotel Sultan menampilkan grup Ecoutez.
Nostalgia
Tahun 1996 hotel berbintang juga menjadi pilihan mereka yang ingin bernostalgia. Kompas, 15 Juli 1996, menulis tentang orkestra yang dimainkan Abadi Soesman bersama 24 pemusik dan 12 penyanyi membawakan lagu-lagu yang populer pada tahun 1960-an di Hotel Sahid Jaya.
Sekitar 1.000 orang hadir malam itu, 12 Juli 1996. Biduan yang tampil antara lain Mira Soesman, Nunung Wardiman, dan Helen Sparingga. Maka meluncurlah lagu-lagu seperti ”Kiss Me Good Bye”, ”To Sir with Love”, dan ”I Started a Joke”.
Meskipun sebelumnya, sejak tahun 1979, Abadi Soesman Band Orchestra sebenarnya sudah memainkan lagu-lagu nostalgia. Mereka memainkannya antara lain di HI. Namun tetap saja pertunjukan di Hotel Sahid Jaya dipenuhi pengunjung.
Rupanya lagu-lagu nostalgia menjadi ”bisnis kenangan” yang tak lekang dimakan waktu. Banyak orang senang reuni sekaligus mengenang dan melantunkan lagu-lagu lawas yang populer saat mereka berusia belasan sampai awal 20 tahun. Para biduan dan musisi pun mengemas pertunjukan tak hanya di hotel berbintang, tetapi juga di kafe-kafe.
Kompas, 15 Februari 1997, mencatat beberapa band yang setiap malam mendendangkan lagu-lagu nostalgia, yakni Bharata, Flashback, SOS (Sound of Sixties), Yeah Yeah Boys, dan Crossroad. Mereka antara lain bermain di Wisma Nusantara, Gedung ATD Jalan Thamrin, News Cafe, Hotel Sari Pan Pacific, Hotel Ambhara, dan HI.
Lagu-lagu yang diminati pengunjung umumnya lagu yang pernah populer pada 1960-an sampai awal 1990-an. Ini berarti mulai dari lagu seperti ”Unchained Melody” (Rightous Brothers, 1965), ”Love is Blue” (1960-an), ”Love is Many Splendoured Things, lalu ”Reflection of My Life” (The Marmalade, 1970-an), ”If I Only Had Time” (John Rowles), sampai ”Power of Love” (Celine Dion), ”Save the Best for Last” (Vanessa Williams), dan ”That’s Why You Go Away” (Michael Learns To Rock).
Bukan monopoli
Musik kembali menunjukkan diri sebagai bahasa universal. Musik tidak bisa dimonopoli. Biduan dan musisi tidak hanya menjadi bagian dari derap kehidupan kota besar seperti Jakarta, tetapi juga mampu menghangatkan sudut-sudut sepi di berbagai dusun di Tanah Air.
Maraknya pertunjukan musik di berbagai pelosok Indonesia itu antara lain ditulis Kompas, 15 Juli 2012. Kali ini di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, dinginnya kawasan kaki Gunung Bromo, Jawa Timur, itu menghangat antara lain dengan penampilan Iga Mawarni dalam perhelatan Jazz Gunung 2012.
Pertunjukan jazz itu digelar di Desa Wonotoro, Kabupaten Probolinggo, Jatim, sejak tahun 2009. Dusun pun gemebyar antara lain dengan penampilan Iga Mawarni yang bersuara lembut. Dia melantunkan beberapa lagu, di antaranya ”Kasmaran”, ”Andai Saja”, ”Esok Kan Masih Ada” (Utha Likumahuwa), dan ”I Don’t Wanna Miss A Thing” (Aerosmith).
Muncul pula di sini pemusik ayah-anak, Benny dan Barry Likumahuwa, mendendangkan antara lain lagu ”Alamku”, ”Show Them What You Feeling”, dan ”Sesaat Kau Hadir” (Utha Likumahuwa). Selain mereka, dalam perhelatan yang berlangsung dua hari itu tampil pula di antaranya Djaduk Ferianto, Dewa Budjana, Ring of Fire Project, duo Glenn Fredly dan Tompi, dan Muchi Choir dari Yogyakarta.
Jazz juga menyapa warga di Desa Sidokarto, Kecamatan Godean, Sleman, DI Yogyakarta (Kompas, 17 November 2013). Di tengah kampung itu berdiri lima panggung sederhana. Bertajuk ”Ngayogjazz 2013”, di sini terlibat setidaknya 37 band dengan 260 orang pendukungnya.
Tampil dalam acara ini antara lain Idang Rasjidi, Monita Tahalea, Oele Pattiselano Trio, Peni Chandrarini, juga Baraka (band berformat trio dari Jepang) dan Jerry Pellegrino (pianis dari AS). Ngayogjazz yang digelar sejak tahun 2007 merupakan hajatan gratis yang penyelenggaraannya dari dana patungan berbagai sponsor.
Tahun 2007, Djaduk Ferianto menyiapkan Ngayogjazz di Desa Kembaran, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. ”Saya ingin jazz itu tidak jadi elite, tapi neng ndeso (di desa),” kata Djaduk yang mempunyai kelompok musik Kua Etnika seperti dikutip Kompas, 15 Oktober 2007.
Untuk menggambarkan maraknya pertunjukan musik di sejumlah daerah, Kompas, 11 Mei 2014, menurunkan tulisan berjudul ”Jazz ’Blusukan’ ke Mana-mana”. Di Tulungagung, Jatim, misalnya, ada Open Jam Session, sementara di Manado, Sulawesi Utara, digelar Torang pe Jazz by the Sea Festival. Bali pun menggelar Ubud Village Jazz Festival 2014 yang berlangsung selama dua hari, 8-9 Agustus 2014 (Kompas, 1 Agustus 2014).
Semakin maraknya perhelatan musik di berbagai pelosok Indonesia tak berarti hotel sepi pertunjukan. Di Whiz Prime Hotel, Jakarta, misalnya, Tommy Page, biduan asal Glen Ridge, New Jersey, AS, ini menggelar pertunjukan. Penyanyi yang populer pada 1990-an itu antara lain muncul dengan lagu ”I Still Believe in You and Me” dan ”Shoulder to Cry On” (Kompas, 12 Juni 2016).
Sementara di Hotel Raffles, Jakarta, Lea Simanjuntak bersama Iwan Fals dan Afgan muncul dalam konser Raising Hope (Kompas, 6 Agustus 2017). Konser ini digelar sebagai bagian dari panggalangan dana. Maka, Afgan pun melantunkan ”Bukan Cinta Biasa”, Iwan Fals muncul dengan ”Seperti Matahari”, serta Lea antara lain mendendangkan ”Damai Bersamamu” dari Chrisye dan ”The Power of Love” dari Celine Dion.
Biduan dan para musisi terus mengisi relung hati setiap manusia di mana pun berada. Musik tak hanya bisa dinikmati di hotel berbintang, tetapi di dusun pun kita bisa berdendang. Semuanya berawal dari niat baik untuk berbagi kebahagiaan, tak peduli jenis musiknya, apalagi suku dan agamanya.