JAKARTA, KOMPAS — Kasus suap-menyuap di lembaga yudikatif menunjukkan reformasi peradilan di bawah Mahkamah Agung masih setengah hati. Mahkamah Agung tidak pernah melakukan perubahan menyeluruh, bahkan cenderung resisten terhadap tuntutan reformasi lembaga peradilan.
”Reformasi lembaga peradilan itu masih setengah hati. Tidak ada tindakan ataupun kebijakan yang menyeluruh, komprehensif untuk memperbaiki dunia peradilan,” kata mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Azyumardi Azra, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (9/10).
Menurut Azra, berdasarkan pantauan terhadap sejumlah lembaga, peradilan di Indonesia merupakan lembaga yang paling resisten terhadap reformasi. Hal itu setidaknya terlihat dari tidak adanya ketegasan sanksi bagi para hakim, panitera, atau pegawai lainnya yang melakukan pelanggaran, termasuk suap. Sanksi yang paling banyak diberikan berupa mutasi jabatan dan semacamnya.
Bahkan, tidak sedikit hakim yang dinilai bermasalah oleh Komisi Yudisial (KY) tetap dikaryakan. Padahal, semestinya hakim-hakim bermasalah, apalagi mereka yang tersangkut suap-menyuap, langsung diberhentikan dari jabatannya.
”Jadi, seharusnya tidak ada ampun sama sekali karena hakim itu, kan, penegak hukum. Ini malah ada hakim-hakim bermasalah tetap dikaryakan,” tutur Azra.
Tidak hanya itu, lembaga peradilan juga dinilai kurang transparan. Publik selalu kesulitan mengakses kebijakan serta putusan-putusan yang diambil oleh lembaga peradilan, dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung. Kondisi ini berbeda dengan Mahkamah Konstitusi yang selalu memublikasikan setiap putusan yang diambil majelis hakim konstitusi.
Ketidaktransparanan itulah yang sebenarnya membuka peluang jual-beli atau transaksi putusan sehingga mafia peradilan pun sulit untuk diberantas.
Apabila kondisi tersebut terus dibiarkan, lanjut Azra, lembaga peradilan akan semakin kehilangan kredibilitas. Publik tidak akan lagi percaya pada lembaga peradilan dan memilih mengambil jalan sendiri untuk mendapatkan keadilan.
”Rasa keadilan akan hilang. Kalau sudah begitu, akan semakin banyak orang yang main hakim sendiri. Jadi semakin kacau,” ujarnya.
Oleh karena itu, Azra yang juga menjabat sebagai Staf Khusus Wakil Presiden bidang Reformasi Birokrasi menyarankan agar MA segera melakukan reformasi menyeluruh. Perubahan dilakukan mulai dari proses rekrutmen, promosi, dan mutasi hakim, hingga proses peradilan. MA harus lebih transparan dalam menentukan majelis hakim untuk sebuah perkara serta memublikasikan seluruh putusan sidang.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.