JOMBANG, KOMPAS — Tradisi memiliki dan mengoleksi keris yang masih ada pada masyarakat Jawa menemukan momentumnya saat perayaan Tahun Baru Hijriah yang sama dengan Tahun Baru Jawa dan disebut 1 Suro.
Sudahri (47), warga Desa Miagan, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, mengatakan bahwa dirinya adalah satu-satunya perajin perawatan keris dan warangka (kayu pelindung keris) di sekitar Jombang. Menurut dia, para penggemar keris di Jawa Timur pergi ke lain daerah untuk merawat keris mereka. ”Padahal, di Jombang juga ada,” katanya.
Sudahri berasal dari desa produsen keris di Madura, yaitu di daerah Aengtongtong, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Ia mendalami kerajinan membuat warangka dan merawat keris di Aengtongtong. Ia tidak membuat keris karena keterampilan itu (membuat keris) bukanlah hal yang mudah.
Pada saat perayaan 1 Suro saat ini, yang jatuh pada Kamis (21/9) atau tanggal 1 Suro atau tahun baru dalam sistem penanggalan Jawa, ia mengaku mendapat permintaan merawat keris hingga 25 bilah sehari. ”Hari biasa, saya menerima antara enam atau tujuh bilah sehari,” katanya.
Untuk perawatan lengkap keris, mencuci dan praktik yang disebut njamas (bahasa Jawa untuk keramas), ia meminta tarif Rp 40.000 setiap bilah. Pekerjaannya meliputi membersihkan karat dengan campuran jeruk nipis dan sabun cuci piring, kemudian digosok dengan sikat. Keris akan tampak logamnya dan hilang karatnya setelah dicuci.
Kemudian kegiatan yang disebut diwarang, yakni pembilasan keris dengan ramuan khusus sehingga kontur garis artistik di permukaan keris akan tampak kontras. Sudahri hanya menyatakan bahan cairan untuk kegiatan diwarang itu didapat dari warisan turun-temurun keluarganya.
Cairan tersebut tampaknya sejenis cairan senyawa asam sehingga bilah yang tadinya tampak suram kemudian bisa tampak cemerlang.
Sudahri mengerjakan pembersihan keris di kiosnya yang sederhana di Pasar Mojotrisno, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang.