Mencintai Indonesia
Sebelumnya keduanya telah memproduksi film dokumenter selama total 180 hari di Papua dan Papua Barat dalam Alenia’s Journey Uncover Papua dan Alenia’s Journey Uncover Papua 2. Setelah Papua, Alenia’s Journey dilanjutkan ke Nusa Tenggara Timur.
Sejak memproduksi film Denias, Senandung di Atas Awan (2006), Ale dan Nia setia pada film-film yang menggugah rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air, terutama dari kacamata keluarga dan anak-anak. Mereka membawa ke hadapan masyarakat Indonesia wajah tempat-tempat yang sebelumnya tidak ada dalam radar sebagian besar orang. Masih ada bermacam persepsi, bahkan stigma, tentang sejumlah daerah di Indonesia, terutama Indonesia bagian timur. Dengan melihat melalui film atau dokumenter, Ale dan Nia berharap semakin banyak orang percaya bahwa daerah itu tidak seperti yang mereka bayangkan.
Mau keliling Papua lagi?
Nia: Dari pengalaman kami keliling 160 hari, Papua itu luas sekali. Sampai 3,5 kali Pulau Jawa. Kami saja sudah 160 hari, saat lihat peta, masih banyak daerah yang belum kami datangi. Yang sekarang 45 hari. Kami ingin mengangkat berbagai hal positif, khususnya kemajuan Papua. Kami ingin memperlihatkan kepada saudara-saudara di seluruh Indonesia bahwa Papua sudah banyak kemajuan dan pembangunan. Memang ada juga beberapa tempat yang masih dalam tahap pembangunan.
Ale: Khusus untuk program Gerbang Mas Hasrat Papua, kami memang ke tempat-tempat yang mendapatkan dana dari pemerintah daerah sebagai percontohan pembangunan pendidikan, kesehatan, infrastruktur. Untuk Alenia’s Journey, kami harus ke semua titik. Bukan apa-apa. Ada semacam ganjalan, kita selalu menginginkan saudara-saudara di Papua cinta pada Tanah Air Indonesia. Tetapi, banyak yang saya dapatkan di lapangan, saudara-saudara di daerah Indonesia lainnya belum bisa menerima dan mencintai saudara-suadara di Papua sepenuh hati.
Misalnya ketika ada uang kertas baru bergambar salah satu pahlawan dari Papua. Banyak yang masih bilang, ”Siapa sih itu?”. Maksud saya, jangan mengharapkan mereka mencintai kita kalau kita tidak mencintai mereka.
Dengan program ini, kami ingin agar kita lebih mengenal dan menyayangi saudara-saudara di daerah lain supaya betul-betul Indonesia.
Nia: Kami masih berharap setelah yang pertama dan kedua, ada Alenia’s Journey di Papua yang ketiga supaya tuntas seluruh Papua kami datangi.
Apa yang mendorong untuk terus menyuarakan kecintaan terhadap daerah-daerah yang belum dikenal di Indonesia?
Ale: Kalau saya, bicara mewakili orang timur. Saya lahir di timur. Selama ini kami di timur masih selalu dianggap terbelakang. Diremehkan. Selalu orang masih melihat secara fisik. Itu yang kami ingin, melalui film dan dokumenter, agar orang tidak melihat fisik saja. Di baliknya ada sosok-sosok luar biasa. Papua itu tidak hanya tanahnya yang kaya, orang-orangnya juga luar biasa. Ketika kami bikin film Denias, kami dicela. Kenapa bikin film....
Nia: hitam-hitam keriting. Siapa mau nonton. Itu bahasa yang orang sampaikan kepada kami. Saat mencari sponsor Denias perlu waktu tiga tahun sampai bisa shooting. Kami berdua bahkan sudah merelakan mimpi dan menghentikan produksi. Dari menangis saat ditolak, saya bisa bilang terima kasih dan tetap dengan kepala tegak. Maju terus, enggak boleh patah semangat.
Akhirnya setelah Denias, ada film-film lain, seperti Tanah Air Beta dari NTT, Di Timur Matahari juga dari Papua. Jadi, setelah memperkenalkan melalui film, Mas Ale bilang, kita harus bikin dokumenter. Dengan dokumenter, kita bisa ke semua daerah.
Intinya keprihatinan. Daerah-daerah itu juga akan maju jika diberi kesempatan yang sama. Sebetulnya hanya itu yang mereka minta.
Seperti apa dampak dari film dan dokumenter itu?
Ale: Ketika membuat film dan dokumenter, kami tidak pernah membuat set. Yang kami datangi selalu tempat asli. Bikin film King, ya, ke Kudus. Tanah Air Beta, ya, benar-benar ke perbatasan Indonesia di NTT. Di Timur Matahari benar-benar di Lanny Jaya. Yang saya dapatkan dari tempat-tempat itu, mereka tidak pernah menyerah walaupun sudah dan terbatas.
Waktu kami ke Lanny Jaya tahun 2012, listrik belum ada. Sekarang sudah luar biasa. Dari situ saya bisa menghargai betapa pentingnya air, listrik. Ketika kembali ke Jakarta jadi lebih bersyukur.
Nia: Dulu di Lanny Jaya, kabupaten baru, satu genset dipakai untuk menerangi satu kota. Listrik gantian. Air bersih susah. Ada sekolah, belum ada guru. Ada puskesmas, belum ada dokter. Setelah keadaan itu terpotret melalui film, akhirnya daerah itu diperhatikan. Pembangunan jadi lebih cepat.
Waktu kami datang lagi untuk Alenia’s Journey 2 tahun 2014, sekolah sudah ada guru. Puskesmas ada dokter. Air sudah ada, listrik ada, internet pun ada. Itu, kan, luar biasa.
Ale: Di samping bisa bersyukur, lewat film kami juga bisa membantu. Ketika pemutaran Tanah Air Beta, beberapa pejabat yang menonton bertanya, itu lokasi di-setting? Enggak, lokasi sebenarnya. Ketika tahun 2010, kondisi pengungsian di perbatasan masih serba kekurangan. Akhirnya, pemerintah setempat kirim bantuan.
Kondisi sebelum-sesudah membuat takjub, ya?
Nia: Itu suatu kebahagiaan tak ternilai untuk kami. Lewat Uncover Papua, kru film juga menyaksikan kondisi sebelum-sesudah. Ketika datang lagi, ”Wah, sudah maju ya.” Sudah ada bangunan sekolah baru, ada puskesmas baru.
Ale: Jalan sudah mulus. Pak Jokowi sudah tes pakai motor, kan? Ha-ha-ha.... Dulu, waduh.... Waktu shooting Denias tahun 2006, jalannya hancur.
Nia: Jalan dari Wamena ke Habema itu 38 kilometer. Waktu tempuhnya 3,5 jam. Jalan cuma cukup satu mobil. Kiri kanan jurang. Waktu itu belum ada four-wheel canggih. Sekarang jalan bisa dilewati dua mobil, lebar, mulus.
Ale: Sekarang orang bisa pulang pergi. Dulu kami harus berkemah.
Nia: Sekarang orang bisa foto-foto di atas batas batu yang indah. Dulu mau foto-foto di situ setengah mati.
Sulitkah membuat film dan dokumenter tentang daerah-daerah yang belum banyak dikenal ini?
Ale: Sebenarnya kami bikin film atau dokumenter tidak punya tujuan muluk-muluk. Tidak untuk menyadarkan orang atau mengkritik pemerintah. Tantangannya lebih pada susah mencari data, narasumber. Misalnya dapat cerita dari koran, itulah kenapa kami masih baca koran... ha-ha-ha.., selalu sulit menghubunginya. Yang ada hanya cerita, tidak ada kontaknya. Mau tidak mau harus jalan ke sana dan mencari.
Nia: Kebetulan sinyal ponsel belum ada. Tidak ada alamat.
Ale: Ketika membuat film Di Timur Matahari harus memboyong sekian banyak orang ke daerah baru. Harus sewa rumah karena tidak ada hotel. Beli water heater agar bisa mandi nyaman karena daerahnya dingin. Tapi, ternyata airnya tidak ada. Jadi percuma. Ha-ha-ha.
Hal lain, waktu awal bikin film masih sulit cari sponsor.
Nia: Kami belum sanggup bikin film penuh dengan dana sendiri. Masih butuh sponsor karena untuk membuat film berkualitas baik, digarap dengan baik, tidak murah. Apalagi lokasinya jauh. Setelah Denias, mulai banyak yang tertarik.
Ale: Tetapi, tetap masih susah dapat sponsor. Oke, untuk Papua, orang sudah mulai melirik ke sana. Tetapi, kami bikin film di perbatasan Kalimantan susah juga. Di situ orang malah bilang, Kalimantan mana? Itu bukan Kalimantan kami.
Nia: Saya sampai kaget.
Ale: Itu mungkin yang harus diungkapkan. Kita masih tetap mengotak-ngotakkan diri. Film ini bukan bercerita tentang Kalimantan semata, melainkan kecintaan anak yang tinggal di perbatasan Indonesia di Kalimantan Utara terhadap tanah airnya.
Nia: Kami ingin angkat saudara-saudara di perbatasan Kalimantan Utara. Waktu Uncover NTT, saat kami shooting di perbatasan, kondisinya belum bagus. Sekarang sudah keren. Banyak orang rela jauh-jauh datang untuk foto. Kita bangga dengan garda terdepan Indonesia.
Ale: Dulu kita malu, kan? Ha-ha-ha.
Optimistis atau pesimistis terhadap situasi kebangsaan ke depan?
Ale: Kalau tinggal di daerah, saya optimistis. Kalau di Jakarta, pesimistis. Ha-ha-ha....
Nia: Ada bahasa positif untuk menyampaikan sesuatu, tanpa harus provokasi dan marah-marah, sesuai bidangnya sendiri-sendiri. Anda lewat media. Kami lewat film.
Mau keliling ke mana lagi?
Ale: Mungkin program televisi dari timur akan terus ke barat. Kami coba angkat Indonesia seluruhnya. Setelah Papua, NTT, mungkin nanti Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan tentunya Sumatera.
Nia: Yang terdekat mungkin Maluku. Ada kerinduan untuk itu. Mudah-mudahan setelah Maluku bisa keliling seluruh Indonesia. Biar jangan hanya katanya, katanya.
Eh, ini kue lontarnya dimakan dulu. Khas Papua, lho....