Industri Kulit Ikut Terpukul akibat Kelangkaan Garam
Oleh
TATANG M SINAGA/ DWI RADIUS BAYU/ ABDULLAH FIKRI ASHRI/ BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
GARUT, KOMPAS — Industri penyamakan kulit di Kabupaten Garut, Jawa Barat, ikut terpukul akibat melonjaknya harga dan kelangkaan garam. Kondisi itu menurunkan kapasitas produksi penyamakan kulit hingga 50 persen.
”Sebulan terakhir, produksi kulit hasil penyamakan di Garut turun drastis. Apabila sebelumnya bisa menghasilkan 120 ton per bulan, sekarang paling banyak hanya 60 ton per bulan. Banyak stok kulit mentah yang sudah dibeli terancam busuk tak bisa digunakan,” kata Wakil Ketua Bidang Pemerintahan Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia Garut Sukandar, Kamis (27/7), di Garut.
Garam adalah salah satu komponen vital dalam usaha penyamakan kulit. Sebelum diolah, kulit mentah direndam air garam untuk memudahkan perontokan bulu domba, sapi, dan kambing. Saat ini terdapat 60 usaha penyamakan dan 260 usaha pengolahan kulit rumahan. Kedua sektor usaha ini menjadi tumpuan hidup sekitar 1.200 orang di Garut.
Sukandar mengatakan, sebelumnya industri penyamakan kulit di Garut rutin dipasok garam hingga 25 ton per bulan. Namun, sebulan terakhir, pasokan dari Cirebon itu berkurang menjadi hanya 15 ton. Selain langka, menurut Sukandar, harganya pun tak masuk akal. Dengan alasan minim stok, distributor menaikkan harga garam dari Rp 1.200 per kilogram menjadi Rp 5.000 per kilogram.
“Tanpa garam, usaha kulit di Garut terancam. Banyak orang pasti akan kehilangan pekerjaannya,” ujar Sukandar.
Selain langka, menurut Sukandar, harganya pun tak masuk akal. Dengan alasan minim stok, distributor menaikan harga garam dari Rp 1.200 per kilogram menjadi Rp 5.000 per kilogram.
Hamdan (38), pelaku usaha kulit rumahan di kawasan Sukaregang, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut, merasakan dampaknya. Kulit yang dipesan dari perusahaan penyamakan sejak dua minggu lalu tak kunjung tiba. ”Bulan ini saya terancam tak berpenghasilan,” ujar perajin dengan omzet Rp 15 juta per bulan ini.
Impor
Hal serupa juga memukul usaha pengolahan ikan asin di Serang, Banten. Karena itu, Ketua Bidang Nelayan Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Serang Suflani meminta pemerintah mengimpor garam untuk mengatasi hal ini.
”Bukan bermaksud mengganggu usaha pembuatan garam di dalam negeri, tetapi impor perlu untuk menstabilkan harga. Banyak usaha pengolahan ikan kini terancam bangkrut. Harga garam melonjak dari Rp 1.500 per kilogram menjadi Rp 6.000 per kilogram,” kata Suflani.
Sulfani mengatakan, di Kabupaten Serang terdapat sekitar 10 usaha pengolahan ikan. Apabila tidak diatasi, kelangkaan dan tingginya harga garam rentan meningkatkan harga jual ikan asin.
”Saat ini, sebagian produsen ikan asin sudah pasang harga tinggi. Jika sebelumnya Rp 110.000 per kilogram, kini harganya menjadi Rp 150.000 per kilogram,” katanya.
Terkait kelangkaan dan desakan impor ini, petani garam di Cirebon meminta semua pihak bersabar. Setelah berulang kali gagal akibat hujan, petani garam Cirebon sudah mulai panen sejak beberapa hari terakhir.
”Sekarang sudah panen meski masih sedikit. Jangan impor, kami masih sanggup memenuhi kebutuhan garam konsumsi,” ujar Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia Jawa Barat Mohammad Taufik.
Dengan luas lahan 3.010 hektar, Kabupaten Cirebon adalah salah satu sentra garam nasional. Tahun 2015, petani garam mampu memproduksi 440.503 ton. Jumlah itu hampir sepertiga dari kebutuhan garam konsumsi nasional sekitar 1,5 juta ton.
Menurut Taufik, jika impor garam konsumsi dibuka, petani tidak akan menikmati harga tinggi saat panen. Harga garam krosok di tingkat petani saat ini mencapai Rp 3.000 per kilogram. Harga itu melonjak tinggi dibandingkan harga normal sekitar Rp 500 per kilogram. ”Produksi garam benar-benar sangat bergantung pada cuaca,” katanya.
Teknologi
Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Buchari mengatakan, pola pembuatan garam di Indonesia harus diperbarui. Hanya bergantung cuaca, produksi garam sangat rentan terganggu.
Ia menjelaskan, petani garam beberapa negara produsen garam lain, seperti Australia dan China, tak lagi bergantung cuaca. Mereka sudah menggunakan mesin evaporizer untuk memanaskan air laut menjadi garam.
”Permasalahannya mesin ini perlu dibeli dan perawatan. Barangkali di sini peran pemerintah diperlukan untuk membantu agar masalah kelangkaan ini tak terjadi lagi,” ujar Buchari.