Peran penting tanah sebagai aset produksi yang jumlahnya terbatas selalu menjadi komponen vital bagi perebutan kekuasaan, khususnya di Pulau Jawa. Perebutan penguasaan tanah sudah berlangsung sejak zaman kerajaan, masa kolonial, hingga saat ini. Dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa yang disunting oleh SMP Tjondro dan Gunawan Wiradi (Yayasan Pustaka Obor, 2008) tergambar bagaimana kalangan kelas penguasa berusaha menguasai tanah untuk mengokohkan pelbagai kepentingan mereka.
Bentuk tradisional penguasaan tanah pada zaman kerajaan umumnya bersifat komunal. Tanah garapan dibagi secara teratur dan periodik di antara warga desa. Pemindahtanganan tanah tidak diperkenankan karena ada hak ulayat. Tanah hanya diwarisi kepada keluarga atau diberikan berdasarkan kesepakatan warga desa. Pola penguasaan tanah pertanian mulai berubah pada era penjajahan Belanda. Kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) dan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) menjadikan petani kehilangan hak milik tanahnya. Tanah-tanah petani dikuasai pemerintah kolonial.
Berlakunya kebijakan baru tersebut turut menimbulkan konsekuensi perubahan terhadap masyarakat desa. Kebutuhan materiil mulai mengubah norma kebudayaan desa. Penggunaan monoteisme dan tekanan sistem liberalisme membuat banyak petani kecil menjual sawah mereka dan menjadi buruh. Terpusatnya penguasaan tanah oleh sejumlah kecil masyarakat juga membentuk dua polarisasi masyarakat desa, yaitu petani kaya dan petani tak bertanah yang miskin.
Jalan Panjang Reforma Agraria
Gagasan reforma agraria lahir dari keinginan mendistribusikan kembali tanah-tanah milik rakyat. Beberapa negara yang menjadi tonggak reforma agraria yaitu Yunani Kuno, Romawi Kuno, Inggris, Perancis, hingga Rusia.
Titik penting perkembangan reforma agraria adalah saat World Conference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARRD) yang diselenggarakan FAO-PBB di Roma. Konferensi ini merumuskan sebuah deklarasi prinsip-prinsip dan program kegiatan (Declaration of Principles and Program of Action) yang dikenal sebagai Piagam Petani (The Peasant’s Charter). Secara umum, piagam itu berupaya mengentaskan rakyat dari kemiskinan melalui reforma agraria.
Tonggak dasar reforma agraria di Indonesia dimulai pada era kolonial Belanda. Pada masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles dilakukan penanganan dalam bidang agraria, seperti sistem sewa tanah dan pajak. Komersialisasi tanah kepada modal asing melahirkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet 1870). Pada era kemerdekaan, semangat mengganti kebijakan Belanda diwujudkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan UU No 56/1960 yang terkenal dengan UU Landreform.
Dalam buku Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2009) Gunawan Wiradi mengkaji reforma agraria sejak disahkan hingga era reformasi. UUPA dinilai memiliki kekurangan secara hukum dan politik. Liberalisme juga menghambat gerakan reforma agraria. Untuk itu, penulis mengajak masyarakat agar menjadikan reforma agraria sebagai gerakan sosial. Menurut dia, gerakan agraria harus menjadi upaya kolektif meningkatkan kesejahteraan rakyat. (AFN/Litbang Kompas)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.