Menikmati Hidangan, Mencecap Kenangan
Roti In Tjwan Bo yang sudah dibuat sejak tahun 1935 senantiasa ada di hati sebagian warga Surabaya. Kenangan yang terpatri dalam benak konsumen Kedai Nyonya Rumah dan Warung Nasi Bu Eha di Bandung pun tak kalah berkesan.
Tujuan-tujuan bersantap dengan histori yang panjang tentunya menganyam memori kolektif. Anak-anak diajak orangtua, bahkan kakeknya untuk menyantap nasi dan lauk favorit mereka. Keramahtamahan, kedekatan jarak, dan cita rasa membuat hubungan itu semakin awet.
Adrianus Kadharusman (65) mencicipi sus, pastel, dan risoles dengan nikmat. Sekitar pukul 09.00, ia menyelingi dengan menghirup teh panas manis lambat-lambat lantaran sakit mag yang memicu perutnya sedikit nyeri. Di Kedai Nyonya Rumah, Bandung, Jawa Barat, pemilik kantor hukum itu bercengkerama dengan lima rekannya.
“Saya kalau datangnya pagi, masuk saja. Komputer saja belum nyala,” ujar Adri, sapaan akrabnya, sambil tertawa, Kamis (19/5/2022). Ia memang menganggap pemilik hingga karyawan restoran itu tetangga saking akrabnya. Tak heran, kantor warga Dago, Bandung, itu dekat dengan Kedai Nyonya Rumah. Adri bisa datang pukul 06.30 meski Kedai Nyonya Rumah baru buka 30 menit kemudian.
Gemericik air dari kolam, lenggak-lenggok ikan koi, dan hawa sejuk mengendurkan urat saraf Adri. Ia terlihat sangat rileks. “Enak sekali. Kerja jadi semangat lagi. Kadang, kepingin duduk saja sendiri sambil makan. Favorit saya, nasi garang asam iga. Kuahnya kental. Bumbunya juga terasa banget,” katanya.
Sekonyong-konyong, pikiran Adri menerawang. Ia teringat saat bersantap dengan ayahnya yang menyukai nasi soto ayam madura. Ayah Adri meninggal lima tahun lalu. Semasa hidupnya, sesama praktisi hukum itu acapkali membahas pekerjaan dengan Adri. Ketegangan berangsur-angsur memudar yang diakhiri solusi dan obrolan santai. Adri senantiasa teringat ayahnya saat makan di Kedai Nyonya Rumah.
“Makanya, saya sering datang. Kalau Papa makan daging, enggak takut nyangkut di gigi karena empuknya. Saya juga bisa nyenengin orangtua,” katanya. Pramusaji pun sudah fasih menyebutkan pesanan Adri hingga mengatur agar permintaan-permintaan tambahannya terpenuhi.
Adri sesekali juga makan bersama anak-anaknya di Kedai Nyonya Rumah. Ia sudah rutin berkunjung sejak restoran itu berdiri pada tahun 1999 dengan asal-usul kesejarahan panjang. Julie Sutardjana, mendiang pendiri restoran itu memenuhi order makanan, membuat resep, dan menulis buku memasak selama lebih dari 50 tahun.
Serupa dengan Adri, Elsini Febrianti (35) selalu teringat ayahnya, Chevy Ganda, saat makan di Warung Nasi Bu Eha, Bandung. Ia pertama kali dibawa saat umurnya sekitar 10 tahun. “Saya paling suka pepes usus, gepuk, dan ayam goreng. Pepesnya unik karena bisa minta untuk digoreng lagi” ujarnya.
Begitu akrabnya dengan Djulaeha alias Eha (92), Chevy dengan lenggang kangkung terbiasa langsung menuju dapur untuk menggoreng pepes hingga menguarkan aroma khas yang disukai Elsini. “Bau kemangi ditambah daun pisangnya jadi keluar. Ciri khas yang bikin tambah enak,” katanya.
Elsini sudah mencicipi berbagai pepes, termasuk di Jakarta namun lauk yang dihidangkan Eha tetap dirasakan sangat meresap. Makanan kenangan lain, sambal dadak yang ditawari Eha untuk langsung dibuat. Warung itu didirikan Nok, ibu Eha, pada tahun 1947. Chevy telah meninggal pada tahun 2011.
Elsini pun memahami jika makan enak tak selalu mahal. Warga Ujungberung, Bandung, itu berniat mengajak anak-anaknya suatu hari ke Warung Nasi Bu Eha. “Nanti, saya ceritakan anak-anak kalau dulu makan bareng kakek mereka. Jadi, selain menikmati makanan juga mencecap kenangan,” katanya.
Dikasih hadiah
Sementara, kakak beradik Jessica (31) dan Andrew Jonathan Than (25), keduanya besar di Surabaya, Jawa Timur, punya cerita mengesankan tentang keramahan pemilik Boncafe. Sejak masih SD, Andrew sering diajak orangtuanya makan di Boncafe setiap Sabtu malam. Hari biasa, pengasuhnya mengajak Andrew dan kakaknya makan es krim.
“Beberapa kali, Opa pemilik kafe (almarhum Sugita) selalu ngajakngobol lalu kasih tebak-tebakan. Jika menjawab benar, Opa kasih hadiah mainan,” ujar Andrew. Jessica juga masih ingat, si adik acapkali mendapat pertanyaan penambahan, pengurangan, dan pengetahuan umum. Meski sepele, sapaan ramah Sugita terus membekas.
“Aku merasa sama kakak, mama, dan papaku jadi keluarga,” kata Andrew yang awalnya paling suka makan nasi goreng Hongkong tetapi kemudian suka steik Boncafe. Bisa dikata, Jessica dan Andrew tumbuh besar bersama Boncafe sebab setelah mengenal aneka steik, lidah kakak beradik itu langsung cocok.
Layanan baik dan makanan lezat juga membuat Imam (84) dan istrinya menjadi pelanggan tetap Boncafe selama 30 tahun. Saat ditemui, Imam sekeluarga sedang asyik menikmati steik di Boncafe Galaxy Mal Surabaya. Alasan Imam setia kepada Boncafe, terutama karena steiknya lezat. Harganya pun tak termasuk mahal. Ia merasakan kehangatan dan kenyamanan. “Nih, lihat badan saya sehat karena makan steik ha-ha-ha,” tambah Imam bercanda.
Kesan rasa saus steik yang unik dan lezat juga datang dari Titik Nilasari (70) yang pernah tinggal sekitar 20 tahun di Surabaya. Setiap berlibur ke Surabaya, ia selalu mampir ke Boncafe untuk menyantap steak white fish. “Rasa saus steik, daging dan makanan lainnya memang lezat, tempatnya nyaman, dan layanannya baik,” tutur Titik sambil mengangkat jempolnya.
Tergila-gila
Boncafe bukan satu-satunya kuliner legenda Surabaya yang diburu penggemar. Roti In Tjwan Bo yang sudah dibuat sejak tahun 1935 juga senantiasa ada di hati sebagian warga Surabaya. Keistimewaan roti karya keluarga Tjwan Bo itu, rasa yang khas dan harganya terjangkau, berkisar Rp 10 ribu hingga Rp 17 ribu per buah.
Roti paling favorit adalah ontbijtkoek dengan gula merah dan kayu manis yang kental di lidah, saucisijis brood (roti isi daging cacah), roti tawar, dan aneka donat.
Fabiola (45) sejak kecil sudah kenal lalu menjadi pelanggan tetap roti In. Fabiola mengingat, sejak SD, hampir selalu ada stok roti tawar Tjwan Bo yang sekarang menjadi Roti In. Kebetulan pula pabrik roti itu di Jalan Mawar, dekat rumah orangtuanya di Embong Blimbing, Surabaya. “Waktu itu kami sering ke toko Roti In di Jalan Basuki Rahmat. Pilih-pilih roti sendiri. Roti tawar jadi menu wajib,” tutur Fabiola.
Ia paling merindukan, bau roti keluar dari oven. Aromanya khas. Selain roti tawar, ia, kakak, dan adiknya juga tergila-gila dengan donat. “Ada dua macam, gula salju dan muisjes. Tekstur donatnya beda,” Urainya soal donat kesukaannya. Kegemarannya menyantap roti Tjwan Bo sekarang menular ke anaknya, Nanda, murid kelas tiga SD yang suka roti tawar dan musijes.
Lebih sehat
Sejarawan Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran, Bandung, Fadly Rahman, mengungkapkan ingatan mengenai masakan yang dianggapnya berkesan. “Sejak kecil, ibu saya biasa memepes ikan misalnya, daripada digoreng. Teknik memasak macam itu selain lebih sehat dan nikmat juga punya jejak sejarah cukup lama,” ujarnya.
Teknik memasak dengan cara memepes ada disebut dalam naskah Sunda kuno Sanghyang Siksakandang Karesian di abad ke-15. Dengan demikian, selain memunculkan memori, sejumlah makanan yang telah diwariskan leluhur secara turun-temurun sebenarnya juga memberikan faedah.
“Beberapa jenis kuliner, baik dari segi bahan baku maupun cara memasaknya, terbilang jauh lebih sehat,” ucap Fadly yang mendalami pengutamaan studi sejarah makanan itu. Gempuran industri makanan instan dan cepat saji, yang membuat masyarakat terutama di kalangan lebih muda, mengubah perilaku mereka. Orang menjadi lebih suka mengolah dan mengonsumsi makanan secara lebih cepat dan instan, salah satunya dengan digoreng.
Menurut Fadly, kebiasaan memasak pelan (slow cook) dengan beragam kekayaan bumbu dan rempah semakin tersingkirkan. Dari sanalah kemudian muncul masyarakat yang sangat bergantung pada industri-industri makanan besar seperti industri minyak goreng.
Hal seperti itu dinilai berpotensi memunculkan ancaman serius pada keberlanjutan kuliner tradisional. Dalam kasus tertentu, usaha kuliner tradisional tak lagi berlanjut atau menghilang, dengan berbagai alasan dan latar belakang setelah memasuki generasi ketiga atau keempat.