Makan kuaci bunga matahari di pinggir jalan seolah jadi salah satu gaya hidup warga Vietnam. Suasana tongkrongan jadi lebih hangat karena mereka bisa lebih lama berbincang tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
Bila Anda berjalan di trotoar jalan di Vietnam, jangan kaget melihat sisa kulit kuaci berserakan. Kian banyak kulit kuaci, bisa jadi itu tempat ternyaman anak-anak muda Vietnam nongkrong dan menghabiskan waktu dengan kawan-kawan mereka.
Pemandangan seperti itu sangat jamak ditemukan saat berkeliling di jalanan di Hanoi, Vietnam. Remaja hingga pekerja muda, baik pria dan wanita, duduk di kursi pendek di pinggir jalan dengan busana yang necis. Kendati mereka mengenakan baju yang pantas untuk kerja, bahkan ke pesta, mereka tetap tampak nyaman
nongkrong
di pinggir jalan.
Mereka bergerombol antara tiga dan enam orang. Di depan mereka ada satu hingga dua meja kecil dengan sejumlah gelas minuman dan piring-piring plastik di atasnya. Di dalam piring plastik itulah tersaji ”kunci” persahabatan kaum muda urban Vietnam.
Orang Vietnam biasa menyebutnya hat huong duong (kuaci biji matahari). Ukurannya lebih besar ketimbang kuaci biji semangka yang bayak ditemukan di Indonesia.
Hat huong duong berwarna coklat kehitaman dengan garis coklat muda memanjang. Dari segi rasa, isi kuaci bunga matahari nyaris tidak meninggalkan kesan di lidah. Hanya ada rasa manis tipis.
Padahal, memakan kuaci membutuhkan keterampilan tangan dan gigi. Bagi saya, yang tidak terbiasa makan kuaci, bijinya harus dibuka satu per satu secara perlahan. Ambil satu biji kuaci, posisikan secara vertikal sehingga sudut sempit yang memanjang ada di atas dan bawah. Lalu, gigit perlahan hingga kuaci pecah.
Pilin sedikit kulit kuaci yang sudah terbuka agar isi kuaci terlepas dari kulit. Lalu, gunakan lidah untuk membantu mengambil biji kuaci. Biji kuaci pun tersaji.
Harus diakui, orang Vietnam sangat lihai dalam menikmati kuaci. Dalam kurun waktu yang sama, mereka bisa menikmati kuaci tiga kali lipat lebih banyak daripada saya.
Makan pho dan banh mi maksimal 30 menit sudah habis. Kalau makan kuaci, kita bisa tetap ngemil berjam-jam sambil cerita banyak hal. (Le Anh Tu)
Jika bibir dan kerongkongan mulai kering, teguklah minuman. Anak muda Vietnam biasanya meminum bir, jus, kopi, atau tra chanh (es teh dengan irisan lemon) sebagai pendamping makan kuaci.
Saat menikmati camilan itu, hampir tidak ada kaum muda yang merokok atau memainkan telepon genggamnya. Jika pun ada yang memegang gawai, itu dilakukan untuk berfoto sebentar. Mereka kemudian kembali larut dalam percakapan hangat.
”Bagimu, makan kuaci mungkin tidak terlalu enak karena tidak ada rasanya dan membuat gigi Anda lelah. Namun, kami di sini senang melakukannya karena artinya bisa nongkrong lebih lama,” ujar Le Anh Thu, salah seorang pemudi asli Vietnam, yang ditemui di Hanoi.
Anh mengatakan, banyak tema pembicaraan yang muncul ketika nongkrong sambil menikmati kuaci bunga matahari. Obrolan itu mulai dari yang santai hingga serius.
Lebih hangat dan irit
Memakan kuaci bunga matahari memang membuat suasana nongkrong jadi lebih hangat karena mereka bisa lebih santai dan berlama-lama. Selain itu, mereka juga tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam alias lebih irit.
”Bandingkan ngobrol sambil makan banh mi (roti lapis khas Vietnam) atau pho (mi beras kuah kaldu ayam khas Vietnam). Makan pho dan banh mi maksimal 30 menit sudah habis. Kalau makan kuaci, kita bisa tetap ngemil berjam-jam sambil cerita banyak hal,” ujar Anh kemudian.
Dari segi harga, kuaci memang jauh lebih murah. Kuaci seberat 280 gram dijual 18.000 dong Vietnam atau setara Rp 11.000. Adapun harga minuman sangat bervariasi, yaitu antara 10.000-25.000 dong atau setara Rp 6.500-Rp 15.000.
Sementara harga semangkuk pho adalah 40.000 dong atau Rp 25.000. Lalu, setangkup banh mi biasa dijual 35.000-40.000 dong atau setara Rp 22.000–Rp 25.000.
Maka, wajar kuaci jadi kunci persahabatan kaum muda urban Vietnam. Selain murah, juga meriah dan merakyat.